KHI (Kompilasi Hukum Islam), Kitab Suci Yang Kotor

Di peradilan Islam negeri Indonesia ini ada istilah dengan sebutan "Hukum Positif". Maksudnya ialah hukum yang sah dan berlaku dalam peradilan Islam untuk seluruh penduduk Indonesia. Selain hukum positif, itu tidak berlaku.

Hukum positif yang dipakai di pengadilan-pengadilan Agama negeri ini, tercakup semua dalam sebuah susunan undang-undang yang disebut dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Buku suci ini yang digunaka oleh para hakim pengadilan agama dalam menentukan hukum dan menghakimi suatu masalah.

Untung!
Negara dengan mayoritas penduduknya Islam ini, tapi anehnya hukum yang digunakan bukanlah hukum murni syariah Islam yang banyak dibicarakan oleh para Ulama dari madzhab Fiqih. Hukum syariah yang berlaku dinegara ini Cuma dalam urusan Perkawinan saja.

Nah makanya bisa dibilang "untung", adanya KHI menambah daftar undang-undang syariah islam dinegara. Karena susunan yang ada di KHI ini membahasa 3 aspek, yaitu [1] Perkawinan, [2] Per-warisan, [3] Per-wakafan.

Ya setidaknya walaupun tidak semua aspek memakai hukum syariah, masih adalah sedikit.

RUGI BESAR!
Rugi besar-nya karena undang-undang yang ada dalam susunan KHI itu hampir semua ber-masalah dari segi tinjauan syariahnya. Isinya memang undang-undang positif yang (katanya) berdasarkan syariah. Tapi menjadi tidak positif karena justru isinya malah menabrak syariah.

Banyak pasal-pasal KHI yang sama sekali ngga jelas asal-usulnya. Landasannya membingungkan. Akhirnya produk hukumnya pun amburadul. KHI ini disucikan ya karena memang hukum ini yang berlaku, tapi sayangnya isi susunan hukum KHI sama sekali tidak mencerminkan kesucian.

Hukum yang awalnya disusun untuk memberikan kemaslahatan kepada umat, justru malah berbalik menjadi biang masalah umat. Diperparah lagi, para pengak yang bekerja di pengadilan agama itu semua ora ngudeng syariah. Ini kan aneh, mereka ngga ngerti syariah tapi bisa-bisanya menjadi hakim masalah syariah. Lucu.

Dalam masalah Perkawinan yang pasal-pasalnya itu mengambil hapir 2/3 susunan KHI ini juga bermasalah. Contoh kecil yang banyak kita jumpai itu ya masalaha Redaksi Ta'liq Talak yang dibacakan oleh si mempelai pria setelah melakukan akad.

Ini kan aneh, baru saja selesai menjadi suami, eh tiba-tiba dia malah men-talak istrinya yang baru aja ijab qobul. Kalau benar-benar terjadi apa yang disebutkan, ya talaknya jatuh. Jadi boomerang juga akhirnya. Parahnya lagi si pegai KUA yang bawa surat-surat itu juga ngga ngerti soal Ta'liq Talak itu dan apa konsekuensi berikutnya dalam syariat.

Si mempelai pria pun mau aja disuruh baca. Kaga make mikir panjang, dibaca aja. Ketika redaksi itu sibaca, konsekuensi syariahnya pun muncul. Pasal 46 yang menjelaskan Ta'liq talak pun terkesan tidak konsisten isinya, malah membingungkan.

Ada lagi pada pasal-pasal yang menjelaskan tentang perceraian, yaitu pasal 129 sampai beberapa pasal berikutnya. Aneh juga disini, karena talak tidak akan terjadi kecuali itu diikrarkan didepan pengadilan, didepan muka si hakim.

Padahal seorang suami yang sudah mengatakan "Talak" kepada istrinya dengan jelas dalam syariah si istri berarti telah resmi ditalak, maka mulai saai itu juga jalan waktu Iddah-nya. Tanpa perlu ada saksi dan sebagainya.

Lucunya lagi, surat cerai yang diajukan suami itu belum diresmikan kecuali setelah dilakuakn pengkajian oleh pihak pengadilan selambat-lambatnya 30 HARI. Nah loh! Bingung kan jadinya, padahal dirumahnya, sang suami telah mentalak istrinya dengan jelas.

Masih banyak lagi pasal-pasal yang bermasalah. Termasuk yang paling heboh itu ya masalah waris. Intinya pada pasal 185 yang mengadakan istilah "Ahli Waris Pengganti". Sampai sekarang, saya masih bingung, madzhab Fiqih mana yang punya istilah seperti ini.

Redaksi susunan hukum-nya pun aneh dan membingungkan. Dijelasin: "Ahli Waris yang meninggal lebih dulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya…."

Ya kalau dia udah meninggal lebih dulu bukan Ahli waris namanya, kok Ahli waris meninggal, mao dikasi apa! Pdahal jelas dalam syriah hukum dan rukun-rukun waris. Syarat utamanya itu ialah ia hidup ketika si pewaris meninggal.

Dalam KHI justru menjadi bias dan rancu, siapa pewaris dan siapa yang ahli wari mendapat warisan. Masalah pasal 185 ini sudah saya tulis di sini: PASAL 185 KHI BERMASALAH!

Praktek Asal "Catut Nama" 

Akhirnya saya menjadi ragu dengan nama-nama Ulama yang ada dibelakang susunan KHI itu. karena dibelakang itu tertulis sederatan nama besar dalam bidang akademi syariah. Saya mendiga ada praktek "Asal Catut" nama disini.

Karena bebepa dari beliau pernah bertemu dan sempat mengobrol soal pasal-pasal aneh itu. dan mereka juga mengatakan ketidaksetujuannya. Apalagi kalau dilihat dari sejarah pembuatan KHI ini yang dilakukan antara tahun 1985 sampai akhirnya diresmikan oleh Presiden tahun 1991.

Tahu 1985, Menteri Agama resmi mengeluarkan surat putusan yang berisi perintah untu menyusun sebuah susunan hukum syariah. Lalu tahun 1989, Draf KHI resmi masuk DPR dan disidangkan. Baru diresmikan oleh Presiden tahun 1991.

Awal tahun 80an, pergerakan dan pergolakan pemikiran Islam ketika juga sedang hangat-hangatnya. Banyak peebincangan baik resmi atau tidak resmi yang tengan mengemuka soal isu ketidak adilan Islam yang digemborkan oleh aktifis syariah "kiri" dan sejenisnya.

Dan bukan rahasia lagi, kalau sejak tahun 80an awal itu kalangan aktifis "kiri" telah banyak menduduki posisi krusial dalam jajaran kementrian Agama, baik di birokrasi atau pekerja lapangan si universitas dan kampus-kampus Islam.

Ayo Mulai Bergerak!
 
Jadi rasanya, sudah saat memang KHI mulai di-"gerayangi", ditinjau ulang, toh sekarang sudah banyak partai Islam dan para aktifis dakwah yang punya jiwa militansi kuat dalam memperjuangkan syariah, dan ini menjadi kewajiban para Ulama yang memang mumpuni dalam syariah untuk memberitahukan umat mana informasi yang benar.

Karena seorang yang tahu ilmu-nya, pundaknya masih akan terus terbebani dengan kewajiban menyampaikan sampai informasi itu sampai kepada objek dakwah dengan baik dan benar, serta tidak asal.

Kalau MMI (Majlis Mujahidin Indonesia) saja yang hanya sebuah Jemaah kecil dari besarnya Muslim Indonesia ini bisa mengajukan protes kepada Kementrian Agama soal Terjemah Al-Qur'an. Kenapa kita tidak bisa?

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya