Menulis, Proses "Penyelamatan" Ilmu

Jalan Mendapatkan ilmu itu persis sama seperti jalan mendapatkan uang. Keduanya sama karena memang kedua-duanya sama-sama rezeki yang Allah swt anugerahkan kepada hamba-Nya.

Uang, jalan mendapatkannya beraneka ragam, bisa kerja sendiri kemudian digaji. Atau juga pemberian orang terdekat, seperti orang tua, guru dan sebagainya. Atau uang kaget yang sekali dapat langsung banyak, seperti warisan.

Cara mendapatkannya yang berbeda-beda ini yang membuat seseorang juga berbeda reaksi dalam mensikapi uang tersebut. Biasanya kalau mendapatkannya dengan cara mudah, memperlakukannya pun tidak terlalu special, bahkan terkesan mengecilkan serta menyepelekan.
 
Contohnya jika seorang anak mendapatkan uang dari orang tuanya, dia tidak pernah merasakan bagaimana keras dan susahnya mencari uang tersebut. Karena itu mudah saja ia menghamburkannya, toh ia pasti akan mendapatkannya lagi dari orang tuanya. Apalagi dalam bentuk warisan yang jumlah bisa jadi besar sekali, jauh diluar ekspektasinya.

Mahasiswa mendapat tunjangan uang dari kampus, karena mendapatkannya begitu saja, yang hanya dengan duduk mengisi absen kelas lalu tiba-tiba lembaran-lembaran uang "merah" itu masuk kedalam rekening perbulan dengan sendirinya, mahasiswa itu tidak akan terlalu berat untuk "membuang" uang itu. toh karena memang tidak ada "keringat" yang diperas untuk mendapatkannya.

Berbeda jika uang itu dihasilkan dari kerjanya sendiri dengan keringat dan jerih payah serta berdarah-darah. Semua upaya dikerahkan, waktu dihabiskan, dan tenaga disumbangkan demi mendapat uang tersebut.

Setelah uang dari "keringat"nya itu ditangan, pasti lah tindakannya berbeda. Tidak seperti uang-uang sebelumnya yang dihasilkan hanya dengan "lenggang kangkung" saja. Karena "susah", kemungkinan ia untuk menghamburkan uang tersebut pun "susah".

Akhirnya terkesan "pelit" dan "bakhil". Ketika harus mengeluarkan uan hasil keringatnya sendiri itu, perlu berpikir 2 sampai 5 kali untuk mau merogoh kantongnya. Kenapa? Karena sayang. "dapetnya udah susah banget, masa mau dihamburin asal aja".

Pun begitu juga dengan ilmu. Ilmu yang didapatkan dan dihasilkan dengan hanya duduk santai kemudian mendengarkan pengajar dan guru, kemungkinan untuk hilang sangat cepat. Karena meraihnya pun mudah sekali. Hanya masuk kelas, duduk kemudian mendengarkan.

Tidak ada upaya keras untuk meraihnya. Menulis ilmu yang didapatkannya itu pun tidak. Walhasil ilmu itu masuk kedalam otak ketika pemberian materi, setelah pemateri keluar, ilmu itu pun ikut keluar bersama sang pemateri.

Tapi berbeda jika ilmu yang didapatkan itu hasil kerja keras sendiri dengan masuk ke perpustakaan (minimal membuka "maktabah syamilah" yang menjelimetkan) kemudian bergelut dengan lautan buku dan buih-buih huruf serta titik koma.

Ilmu yang didapatkan dari hasil kerja keras seperti ini tentu akan bernilai mahal dan sangat special bagi seorang penuntut ilmu. Dan karena usaha "peluh"-nya inilah membuat ilmu tersebut menjadi melekat kuat dalam otak.  Bukan karena orang itu pintar, tapi karena memang usaha yang "susah" itu membuat otak merasa "perlu" untuk menyimpan ilmu itu lebih lama.

Mendapat Ilmu Setelah Mendapat Uang
 
Nah, salah satu upaya untuk membuat ilmu itu "menginap" lebih lama dalam otak ya dengan menulis. Karena menulis, seorang penuntut ilmu (mahasiswa/pelajar) dituntut untuk membuka buku lebih banyak, membuka buku lebih banyak membuatnya membaca lebih banyak, membaca lebih banyak membuatnya menjadi tahu lebih banyak daripada "mereka" yang hanya duduk dan mendengarkan.

Terlebih lagi jika yang ditulis itu ialah masalah syariah yang PASTI memerlukan sebuah kepastian rujukan dan tidak asal nukil. Karena bagaimanapun, seorang penulis HARUS menjadi seorang yang amanah dalam menyampaikan dan bertanggung jawab atas apa yang dia tulis.

Jangan pernah piker bahwa Ulama-ulama itu mempunyai porsi otak yang lebih banyak sehingga menjadikannya ulama cerdas dengan segudang ilmu dengan disiplin yang berbeda-beda. Allah swt maha Adil, salah satu keadilan Allah swt ialah memberika porsi otak yang sama untuk setiap hamba-Nya.

Tinggal bagaimana hamba-Nya itu memanfaatkan anugerah yang telah Allah swt berikan. Dan Ulama-Ulama pendahulu kita itu semua telah berhasil menjadikan anugerah Allah swt yang sedikit, berupa otak itu.

Ulama itu menulis, dan memang "menulis" itu ialah tradisi seorang Ulama, tidak disebut seorang ulama kalau ia belum menulis. Bagaimana bisa disebut Ulama toh karyanya saja tidak ada? Kita mengenal Ulama-Ulama besar sekals ghozali dan Imam nawawi serta IImam Ibnu Hajar itu kan bukan hasil kenala di facebook! Tapi kita mengenal mereka semua sebagai Ulama karena karya mereka yang selama hidupnya mereka tuliskan dalam sebuah buku.


karena saking banyaknya ia menulis, maka tidak dipungkiri lagi bahwa ilmu itu semua akan melekat erat dalam otak. Ingat perkataan Imam Syafi'i?

"Ilmu itu barang Buruan, dan menulis itu jadi pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Dan merupakan sebuah kebodohan ialah memburu se-ekor rusa lalu melepaskannya ditengah-tengah manusia begitu saja".

Lihat bagaimana Imam syafi'I mensifati orang yang tidak menulis. Beliau mengatakan itu sebuah "kebodohan", memburu hewan kemudian setelah dapat, ia dilepaskan begitu saja. Maka sebuah "kebodohan" juga kalau mendapatkan ilmu lalu membiarkan ilmu tersebut dalam awing-awang tanpa "mengekalkannya" dalam sebuah tulisan.

Jadi, mau jadi Ulama? Ya menulis. Itu kenapa ada kelas "Maharoh AL-Kitabah" di kampus Syariah Rumah Fiqih Indonesia. Mencetak Ulama!

Wallahu A'lam 

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya