Hukum Istimna'

Bebapa waktu yang lalu, seorang kawan mengirim satu link dari website portal berita yang isinya bahwa banyak perempuan-perempuan Palestina yang bisa hamil dan melahirkan padahal suami-suami mereka berada dalam penjara Zionis Israel.

Mereka mengeluarkan mani mereka kemudian disimpan dalam sebuah wadah, dan entah bagaiaman ceritanya, wadah tersebut bisa diselundupkan dan masuk ke daerah Palestina. Kemudian seorang relawan dokter menyuntikkan mani-mani tersebut ke istri-istri mereka.

Dari berita ini, kawan saya bertanya mengenai hukum "Istimna'". Yaitu mengeluarkan mani bukan dalam keadaan Jima'. Artinya bukan dalam hubungan intim. Karena begitulah cara yang dilakukan oleh para pahlawan-pahlawan Palestina untuk membuahi istri mereka.

Sebenarnya pembahasan tentang istimna' bukanlah pembahasan baru, ini masalah yang sudah lama dibahas oleh Ulama dari lintas madzhab. Walaupun memang kondisi dan caranya saja yang berbeda dari waktu ke waktu, tapi tetap saja intinya sama.

PENGERTIAN
Secara bahasa, Istimna' [استمناء] berarti [طلب إخراج المني]upaya mengeluarkan mani. Bagaimanapun caranya, usaha seseorang untuk mengeluarkan air hina itu disebut Istimna' dalam makna bahasa.

Namun secara Istilah Syara', pengertian istimna' menjadi lebih spesifik lagi. Yaitu:
إخْرَاجُ الْمَنِيِّ بِغَيْرِ جِمَاعٍ ، مُحَرَّمًا كَانَ ، كَإِخْرَاجِهِ بِيَدِهِ اسْتِدْعَاءً لِلشَّهْوَةِ ، أَوْ غَيْرَ مُحَرَّمٍ كَإِخْرَاجِهِ بِيَدِ زَوْجَتِهِ
"mengeluarkan air mani tidak dalam keadaan (untuk) Jima'. Baik itu yang diharamkan seperti istimna' dengan tangannya sendiri karena Syahwat, atau yang tidak diharamkan seperti istimna' dengan tangan istrinya."  (Mughni Al-Muhtaj 1/430)

Para Ulama fiqih menjelaskan bahwa istimna' itu bisa dilakukan dengan media lain selain dengan tangan. Namun para Fuqoha' tidak terlalu jauh membahsa dengan media apa istimna' itu dilakukan. Karena hukumnya tetap sama saja dengan apa yang dilakukan dengan tangan. Hanya saja nantinya yang membedakan itu semua ialah motivasi yang mendasari istimna' itu.

HUKUM ISTIMNA'
Secara garis besar, Ulama tidak ada yang berselih bahwa Istimna' itu jika dilakukan atas dasar Syahwat semata dan tidak ada alasan syari'I lainnya, maka itu haram hukumnya. Seperti orang yang melihat sesuatu yang menggairahkannya, kemudian membayangkannya dan akhirnya ia melakukan prkatek itu.

Dan karena haram, maka pelakunya berdosa. Namun jika tidak karena Syahwat, para Ulama dari 4 madzhab punya perincian masing-masing yang berbeda.

Dan para Ulama juga sepakat bahwa jika itu dilakukan dengan istri atau budaknya, maka tidak ada keharaman atasnya. Karena keharaman Istimta' (merasakan kenikmatan nikah) hanya jika dilakukan kepada selain istri dan budak, seperti yang akan dijelaskan kemudian.

Dasar pengharaman Istimna' yang hanya karena syahwat ialah:
Pertama:
وَاَلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنْ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas". (Al-Mukminun 5-7)

Dalam ayat ini secara jelas Allah swt mengharam Istimta' kepada selain istri dan budak. Dan Istimna' adalah bagian dari pada Istimta', merasakan kenikmatan itu. maka Istimna' menjadi haram dengan catatan bahwa Istimna' itu dilakukan bukan karena atau dengan Istri dan budak.

Kedua:
Hadits Nabi saw yang memerintahkan para pemuda yang sudah mempun untuk mencari nafkah serta kebutuhan sebuah pasutri untuk segera menikah. Kemudia Nabi saw memberikan jalan keluar bagi yang belum bisa untuk itu semua dengan jalan puasa

"barang siapa yang tidak mampu untuk itu, maka berpuasalah. Karena itu bisa jadi penjaga dirinya"

Dalam hadist ini, Nabi saw memberikan jalan keluar bagi mereka yang sudah ingin dan tidak kuat menahan nafsu untuk berpuasa walaupun berat. Karena puasa bisa jadi tameng yang kuat untuknya. Tapi Nabi saw tidak memberikan celah sedikit pun untuk membolehkan Istimna', padahal prkatek itu lebih mudah dibanding harus puasa.

Dari Hadits ini, para Ulama berkesimpulan bahwa memang istimna' yang didasari syahwat semata diharamkan.

Pengecualian
Jumhur Ulama sepakat bahwa jika istimna' itu dilakukan atas dasar syahwat semata maka itu jelas keharamannya. Namun jika kondisinya berbeda dan bukan karena syahwat semata, Ulama punya penjelasan yang berbeda:

4 Madzhab Fiqih ini punya tinjauan yang hampir serupa, yaitu Kalau Istimna' itu dilakukan karena memang dorongan syahwat yang besar sekali, yang kalau tidak dituruti akan menyebabkan dia melakukan perzinahan. Maka melakukan praktek istimna' itu dibolehkan, karena melakukan Istimna' jauh lebih kecil dosanya dibanding ia harus berzina.

Kekhawatiran ini yang membuatnya boleh melakukan Istimna', bahkan diwajibkan seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Aabdin dalam hasyiyah-nya. Namun madzhab Maliki punya sedikit penjelasan, yaitu jika memang ia mampu untuk berpuasa maka istimna' tetap haram hukumnya.
(Hasyiyah Ibnu Aabdin 2/399, Al-Majmu' 20/32, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Kuwait 4/98)

PEJUANG PALESTINA
Terkait dengan berita para pejuang Palestina yang disebutkan dalam portal berita diatas, dan dikaitkan dengan apa yang sudah dijelaskan dalam artikel ini. Para pejuang itu termasuk dalam kategori yang memang dibolehkan untuk melakukan prkatek itu. karena beberapa sebab:

Pertama:
Ayat diatas yang menjelaskan tentang keharaman istimta' itu dikaitkan dengan sebuah syarat, yaitu kepada selain Istri dan budak. Dan apa yang dilakukan oleh para pejuang Palestina itu memang karena dan untuk istri-istri mereka, bukan yang lain.

Dalam kitabnya Al-Um, Imam Syafi'I menjelaskan bahwa keharaman istimta' dan yang didalamnya istimna' itu ada jika dilakukan untuk selain Istri dan budak. Jadi tidak masalah jika itu dikerjakan untuk Istri dan budaknya. (Al-Um 5/94)

Ini juga dikuatkan oleh pendapatnya Imam Ibnu Aabdin dalam Hasyiyah-nya, beliau mengatakan:
إن أراد بذلك تسكين الشهوة المفرطة الشاغلة للقلب وكان عزبا لا زوجة له ولا أمة أو كان إلا أنه لا يقدر على الوصول إليها لعذر قال أبو الليث أرجو أن لا وبال عليه وأما إذا فعله لاستحلاب الشهوة فهو آثم
"kalau itu dilakukan karena memang untuk meredam syahwat yang sangat besar, yang sangat menggangu ketenangan, dan dia adalah orang yang belum beristri dan juga tidak punya budak, Atau Dia Adalah Orang Yang Beristri Namun Tidak Bisa Menggauli Istrinya Karena Sebab Tertentu, faqih Abu Laits mengatakan: aku harap tidak ada dosa baginya, namun jika bukan karena itu semua maka ia berdosa."
(Hasyiyah Ibnu Aabdin 2/399)

Kedua:
Ada Kaidah Fiqih yang mengatakan:
إذا ضاق الأمر اتسع
"kalau keadaannya sempit, maka (hukum) menjadi luwes"

Para pejuang Palestina yang dipenjara oleh Zionis Israel bukanlah seseorang yang dalam keadaan normal dan bisa melakukan apa saja. Mereka orang yang terkukung dalam sebuah bui yang pastinya tidak bisa melakukan pelarian begitu saja.

Dan melihat bahwa salah satu tujuan pernikahan dalam syariah ialah "melahirkan keturunan", maka upaya untuk itu haruslah dilakukan. Dan dalam keadaan ini, melakukan hubungan suami istri untuk tujuan melahirkan keturunan itu sama sekali tidak memungkinkan.

Dan cara yang paling realistis ialah dengan melakukan praktek itu lalu disimpan dalam wadah dan dikrimkan untuk para istri mereka. Pada dasarnya memang praktek Istimna' itu diharamkan, tapi keadaan para pejuang itu menjadikannya boleh untuk melakukan praktek istimna' itu.

Jadi aslinya haram, namun karena keadaan yang "sempit", maka yang awalnya haram menjadi halal. Tapi kehalalan ini tentu saja tidak terbuka sedemikian bebas. Ada batasan dan aturannya.

Toh para Pejuang ini memang melakukannya bukan karena syahwat semata, tapi karena tujuan yang mulia. Toh kalaupun memang karena syahwat, syahwat dengan jalan ini dibolehkan karena memang dilakukan untuk istri sendiri sebagaiman yang dijelaskan oleh Nabi saw tentang orang yang mendatangi istrinya karena syahwat. Dan rasul saw menjawab bahwa itu justru berpahal.

Ketiga:
Melahirkan keturunan memang tujuan pernikahan. Tapi ada tujuan yang lebih tinggi dalam sebuah pernikahan dalam syariah, yaitu "menegakkan syariat Allah swt". Karena dengan melahirkan, akhirnya membuat populasi muslim bertambah.

Dengan populasi muslim yang bertambah, impian penegakkan syariah terbuka lebar dimuka  bumi ini, karena memang yang lahir dari Rahim seorang muslim akan menjadi muslim juga. Karena muslim, ia pastinya akan berjuang meneggakkan syariat agamanya.

Terlebih bahwa daerah Gaza Palestina ialah daerah yang memang sedang membutuhkan amunisi pejuang yang berjiwa militant tinggi. Dan sangat sulit melahirkan generasi muslim militant seperti itu kecuali dari benih seorang muslim yang militant juga.

Dan para pejuang palestina itu telah membuktikan diri mereka sebagai muslim dengan militansi tinggi dalam menegakkan syariat di bumi palestina. Maka sulit dibayangkan jadinya kalau mereka berdiam diri saja, karena itu bisa jadi membuat populasi muslim di tanah palestina makin berkurang.

Wallahu A'lam  

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya