Kerangka Artikel Fiqih

Dalam menulis artikel Fiqih yang menjelaskan tentang hukum sebuah masalah, baik masalah klasik ataupun maslah kontemporer, biasanya (dan memang seharusnya) menggunakan krangka penulisan seperti ini:

I.                    Ta'rif Lughotan wa istilahan (Pengertian, secara Bahasa dan Istilah Syar'i)
-          Shuroh Al-Masalah
II.                  Masyru'iyyah (Pensyariatan)
III.                Aqwaal Al-'Ulama beserta dalilnya
IV.                Asbaab Khilaf
V.                  Kesimpulan

I.                    Ta'rif Lughotan wa istilahan (Pengertian, secara Bahasa dan Istilah Syar'i)
Ini adalah hal yang mutlak dalam penulisan sebuah artikel syariah, penjelasana sebuha nama atau istilah dalam lotaltur fiqih adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Karena bagaimanapun, menjelaskan sebuah hukum masalah dalam kerangkeng ilmu fiqih bukanlah seperti menjelaskan sebuah opini biasa. Yang harus dilakukan terlebih dulu ialah menjelaskan nama atau topic masalah yang ingin dikemukakan hukumnya.

Penjelasan makna Ism juga haruslah seimbang, dan tidak mengacu hanya pada satu pengertian ala mazhab atau Ulama tertentu. Artinya jika satu mazahab dengan mazhab lain mempunyai pendangan berbeda dalam pengertia Ism tersebut, penulis mempunyai amanah ilmiah untuk menyampaikannya.

Dan tidak dilupakan juga, pengertian yang diungkapkan oleh para Ulama-Ulama komtemporer, karena bagaimanapun, masalah yang sedang dibahas pastilah sudah mengalami perubahan dan pergeseran makna seiring berjalannya waktu. Bisa jadi masalahnya yang sudah dijelaskan Ulama salaf dulu berbeda dengan masalah yang zaman sekarang walaupun namanya sama.

Kemudian, kalau memang yang dibahasa bukanlah sebuah masalah induk, atau bisa dikatakan ini adalah masalah yang beranak dari satu masalah induk, maka harus dijelaskan gambaran masalahnya (Shuroh Al-Masalah).

Contohnya masalah wanita yang haidh menyentuh Mushaf atau membaca Al-Quran. Semua Ulama sepakat bahwa wanita yang haidh ialah wanita yang dalam keadaan berhadats besar. Karena berhadats besar, maka hukum-hukum yang dikenakan terhadap orang yang berhadats besar dikenakan juga untuk wanita haidh.

Tapi muncul masalah, ternyata ada beberapa ulama dengan Aqwal-Aqwal mereka yang malah memberikan rukhshoh untuk wanita haidh, bahwasanya ia boleh membaca Quran dalam keadaan tertentu. Nah begitu kiranya.

II.                  Masyru'iyyah (Pensyariatan)
Nah ini juga sub judul yang mau tidak mau, harus ditulisakan oleh seorang penulis artikel Fiqih. Karena bagaimana mungkin sesuatu itu menjadi objek kajian fiqih, tapi tidak punya dasar dalil yang membuatnya disyariatkan.

Tapi penulisan masyruiyyah  ini juga tidak untuk semua jenis artikel fiqih. Untuk artikel yang membahasa masalah induk, sub judul ini jelas sangat harus ada. Tapi jika masa;ah yang ditulisan adalah masalah yang muncul dari sebuah masalah induk, artinya itu adalah masalah "anak", maka sub judul ini tidak perlu lagi ditulis.

III.                  Aqwaal Al-'Ulama beserta dalilnya
Setelah pengertian dan dalil pensyariatannya, barulah seorang penulis membeberkan apa pandangan-pandangan Ulama dari masing-masing mazhab, tentu dengan segala perbedaaan. Dan karena memang masalah itu diperdebatkan, sub judul ini menjadi harus. Kalau semua Ulama bersepakat dan ber-Ijam', maka tidak perlu adanya sub judul ini.

Nah penulisan sub judul ini juga bisa dalam bentuk yang bermacam-macam, tergantung variasi perbedaan pendapat Ulama dan masing-masing mazhabnya dalam masalah yang sedang dibahas tersebut.

Kalau dalam sebuah masalah, masing-masing dari 4 mazhab Fiqih (tidak tertutup kemungkinan untuk menuliskan pendapat dari selain 4 mazhab besar) itu mempunya perbedaan, maka sebaiknya setiap kelompok itu diberikan pointer masing-masing bagi pendapatnya.

Namun jika dalam satu masalah itu, diantara 4 mazhab fiqih (atau lebih) itu terdapat kesamaan antara 2 atau 3 mazhab, maka cukuplah dikelompokkan berdasarkan pendapatnya, bukan berdasarkan masing-masing mazhab. Artinya kelompok suaranya saja, misalnya:

Pendapat pertama: Membolehkan. Ini dianut oleh mazhab ,,,,,,,,,, dan juga mahab,,,,,,, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab ,,,,,,,,,
Pendapat kedua: mengharamkan. Pendapat ini dipegang oleh mayoritasUlama mzahba,.,,,,,

Itu utnuk Aqwal, sedangkan dalil dari masing-masing kelompok itu bisa dituliskan dalam 2 variasi; [1] langsung, setelah penjelasan Aqwal, [2] dipisahkan dalam sub judul tersendiri. Intinya sama saja, yang terpenting ialah menuliskan dalil dan argument dari masing-masing mazhab.

Tapi harus diperhatikan juga pasar pembaca artikel fiqih kita itu, menulis dimanakan kita sekarang ini? Di Internet-kah (Web, Blog, facebook, dst), atau menulis untuk dijadikan buku. Biasanya pembaca masing-masing lapangan bacaan itu punya kebiasaan dan kenyamanan membaca tersendiri.

Baiknya memang antara Aqwal dan Adillah-nya itu tidak dibedakan atau dipisahkan. Dutulisakan saja langsung setelah penjelasan Aqwal tersebut, agar pembaca tidak kebingungna mencari dalil. Atau juga para pembaca bisa mendapatkan alasan langsung dan bisa mengerti dengan mudah pesan kenapa mazhab ini berpendapat seperti ini.

Karena kalau harus dipisahkan dengan penjelasan Aqwal yang lainnya, biasanya itu membuyarkan kenyamanan pembaca, apalagi jika Aqwal-Aqwal itu berupa Tafshil yang panjang dan membingungkan. Dan tidak ada jaminan memang kalau pembaca mau merujuk kembali Aqwal jika Adillah itu dipisahkan.

IV.                Asbaab Khilaf
Biasanya ini sudah tidak penting lagi. Karena dengan menjelaskan pendapat masing-masing mazhab beserta dalilnya dengan penjelasan yang pas dan Syamil, Asbab Khilaf itu juga dengan sendirinya akan dipahami oleh pembaca.

Tapi tidak salah juga kalau memang mau dituliskan ASbab Khilaf itu sendiri. Namun tetap memperhatikan kolom muatan tulisan, apakah dengan menuliskan itu tidak memakan tempat yang banyak?

V.                  Kesimpulan
Disini barulah seorang penulis diberikan ruang untuk mengungkapkan pemikirannya atau pandangannya dalam masalah fiqih yang dituliskan sejak awal itu. karena sejak awal, penulis hanya memindahkan apa yang telah dipaparkan oleh Ulama dari masing-masing mazhab dalam kitab-kitab mereka dalam tulisan ini.

Dan Karena memang sub judul ini diberikan untuk penulis, maka penulis pun diberikan kebebasan untuk menuliskan "apa saja" dalam sub judul ini. Maka kolom Kesimpulan ini bisa berupa macam-macam.

Bisa berupa Tarjih, kalau memang mampu dan bisa (sebaiknya tidak :D). bisa juga berupa tanggapan dan Taujih serta pesan penulis untuk pembaca dalam menyikapi masalah yang dibahas. Atau bisa juga berupa pendapat Ulama, Baik salaf atau pun Kontemporer yang sekiranya punya nilai Wasath dalam masalah yang sedang dibahas itu.

Yang penting kesimpulan ini tidak meninggalkan pembaca dalam kebingungan.

PENULISAN HADITS
Dalam menuliskan dalil dan argument dari masing-masing pihak yang berselisih dalam masalah fiqih tersebut, pasti sebuah hadits itu dopakai menjadi argument, terlepas dari banyak atau sedikit hadits yang disampaikan.

Nah perlu diperhatikan, bahwa bukanlah sebuah tugas penulis artikel fiqih untuk menjelaskan derajat atau status hadits yang disampaikan. Entah itu dhoif, Shohih, Hasan, Matruk, majhul dan sebagainya. Cukuplah menuliskan siapa perwainya dan dari (kitab) mana hadits itu didapatkan.

Bukan menghilangkan karakter "Amanah Ilmiyah" yang diemban oleh seorang penulis. Justru meninggalka hadits-hadits tersebut tanpa status "menghakimi" dhoif atau Shohih, itulah bentuk Amana Ilmiyah seorang penulis artikel fiqih.

Karena yang dikerjakan seorang penulis artikel fiqih ialah hanya Menukil (memindahkan) apa yang sudah dijelaskanoleh para Ulama dari masing-masing mazhab dalam Kitab-kitab induk kedalam artikel fiqih tersebut. Adapun status derajat hadits itu bukanlah wilayah penulis.

Apapu alasannya, penulis artikel syariah tidak bisa menuliskan status derajat hadits tersebut. Kenapa? Karena ketika seorang Ulama/Mazhab Fiqih menggunakan sebuah hadits untuk menguatkan argument dan pendapat mereka, pastilah hadits tersebut adalah hadits yang shohih, dan memang layak untuk dijadikan argument menurut Ulama/mazhab tersebut.

Nah, karena bisa jadi hadits itu lemah (Dhoif) menurut "Kita", yang menilainya, tapi bisa jadi hadits itu statusnya ialah Shohih dengan sanad yang baik menurut si Pengguna Hadits tersebut untuk argument. Sanad yang "kita" gunakan untuk menilai hadist tersebut bisa jadi cacat, tapi mungkin saja Ulama tersebut mempunyai jalan (jalur sanad) lain yang derajatnya baik yang kita tidak ketahui itu.

Jadi biarkan saja hadits-hadits itu apa adanya sesuai dengan apa yang telah dituliskan oleh masing-masing mazhab. Karena seperti sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa masing-masing mazhab punya metode dan mekanisme sendiri-sendiri dalam menggunakan hadist untuk sebuah argument.

Wallahu A'lam      

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya