Posts

Showing posts from March, 2014

Professor Harfu Jarr

Image
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal istilah Kata Depan, yaitu ke, dari, di, dalam, pada, atas, dan beberapa kata lainnya . Kata depan atau yang juga disebut dengan istilah preposisi ialah kata yang menunjukkan hubungan arah atau tempat antara bagian kalimat. Kata depan termasuk dalam unsur pembentuk kalimat. Tanpa kata depan kadang–kadang (atau pasti) suatu rangkaian kata tidak dapat menjadi kalimat dan maknanya menjadi kabur. Contoh: "Surabaya ayahnya bekerja sebuah perusahaan" Menjadi jelas jika menggunakan kata depan: "Di Surabaya ayahnya bekerja di sebuah perusahaan" . Kata Preposisi = Harfu Jarr [ حرف جر ] Dalam bahasa Arab pun ada kata-kata sejenis yang mempunyai manfaat dan fungsi yang sama, yaitu kata yang menunjukkan hubungan arah, tempat, permulaan dan seterusnya. Dan ketidakadaan kata tersebut, bisa berbuah rancunya kalimat yang ada itu. Dan sangat sulit untuk dipahami. Jangankan tidak ada, keberadaannya pun t

Yang Baik Agamanya

Image
Menikahlah dengan yang “baik agamanya”! Kalimat ini selalu dan pasti sudah sering didengar oleh hampir seluruh muslim sejagad raya. Tapi yang menarik adalah kalimat “baik agamanya”-nya ini masih terlalu sempit atau disempitkan maknanya. Dan kadang juga salah arti. Kebanyakan orang selalu menganggap bahwa yang “baik agamanya” itu adalah mereka yang paham agama, mengerti dalil-dalil syariah, pintar mengaji, selalu berpakaian koko (padahal koko dari CINA), pelajar difakultas syariah, aktif di kajian-kajian dan seterusnya. Padahal tidak begitu juga. Kalau kita mau fair mengartikan dan memahami “baik agamanya” itu, kita bisa bilang bahwa tukang bangunan, kuli panggul di pasar itu juga “baik agamanya”, bahkan jauh lebih baik dari mereka yang setiap hari berbicara dalil syariah. Karena agama ini bukan hanya masjid dan pengajian. Agama ini kehidupan! Yang “baik agamanya” itu adalah mereka yang bisa mengemplementasikan ajaran agama dalam kehidupannya sehari

Sudah Talak di Rumah, Talak Lagi di Pengadilan. Bagaimana Hukumnya?

Image
Di Indonesia ini, dalam masalah perkawinan, ada hukum positif yang berlaku dan itu menjadi buku ‘suci’ yang digunakan oleh seluruh hakim agama di setiap pengadilan agama di Indonesia, yaitu KHI (Kompilasi Hukum Islam). Jadi, apa yang ada di KHI itu berlaku dan dijalankan di setiap keputusan Hakim yang dibuat di pengadilan agama atas perkara-perkara yang masuk ke meja hakim. termasuk urusan perceraian dan pernikahan. Karena pernikahan kita butuh legalisasi Negara agar dapat perlindungan, maka kita harus melaporkan ke KUA yang mana ia adalah subunit pelayana dari pengadilan agama. Karena ini pengadian agama, maka hukum yang dipakai itu ialah KHI. Cerai Harus di Depan Hakim Pengadilan Dalam KHI, pada buku pernikahan dijelaskan di pasal 117, bahwa talak itu adalah ikrar suami untuk pemutusan pernikahan yang dilakukan di depan sidang pengadilan agama. Jadi, catatan perceraian itu baru di sah kan ketika si suami mengatakan itu di depan hakim pengadilan.

Talak Dengan Redaksi Yang Berbeda-beda

Image
Salah satu rukun talak itu adalah shighoh [ صيغة ], yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan redaksi. Jadi suami yang ingin mentalak istrinya tidak sah dan belum jatuh talaknya sampai ada redaksi talak yang diucapkan. Itu artinya, talak tidak cukup dengan niat, tapi harus ada redaksi/kata talak yang disebutkan sehingga talak itu benar-benar terpenuhi rukun dan syaratnya. jadi, niat saja tidak cukup, harus ada redaksi yang diucapkan. Ulama membagi redaksi talak ini menjadi 2 jenis; [1] shighoh Shorih [ صيغة صريحة ], redaksi yang jelas [2] Shighoh kinayah [ صيغة كناية ], Redaksi Kiasan/sindiran Dari 2 jenis redaksi ini, ulama juga berbeda pendapat mana yang disebut dengan redaksi jelas, dan mana yang redaksi kiasan atau sindiran. Dibagi 2 jenis seperti ini, karena memang msing-masing redaksi mempunyai konsekuesi hukum yang berbeda. Dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid (hal. 425), Imam Ibnu Rusyd menjelaskan perbedaan pandangan tentang redaksi talak

Jama' Sholat Tanpa Udzur, Boleh kah?

Image
Ulama 4 madzhab sepakat bahwa menjama' sholat terlarang kecuali karena sebab-sebab yang memang mebolehkan jama' seperti; safar, pun safar tidak asal boleh jama' melainkan jika memang syarat-syarat safar itu terpenuhi. Bolehnya jama' : Madzhab hanafi: -       hanya ketika di Arafah dan Muzdalifah Jumhur: -       Safar -       Haji -       Sakit (Hanbali) -       Hujan (masih diperdebatkan) -       Kebutuhan mendesak (Ibnu Sirin, Madzhab Al-Zohiri, Asyhab dari kalangan Malikiyah, dan juga Ibnu Al-Mundzir dari kalangan syafi'iyyah) dengan syarat, tidak terulang-ulang. Jama' Tanpa Udzur Terkait sholat jama' yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw yang mana jama' itu dilakukan tanpa sebab, memang ada riwayat yang menyebutkan itu, dan riwayatnya shahih dari Imam Muslim: جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غ

Janji Hibah Tapi Tidak Diserahkan, Bagaimana?

Image
Beberapa yang sering diributkan dalam masalah waris ialah adanya seseorang, baik dari ahli waris atau bukan mengaku bahwa si mayit (Pewaris) pernah menghibahkan sejumlah harta ketika masih hidup, akan tetapi belum diserahkan. Seperti orang yang berjanji akan memberikan (hibah) sesuatu pada orang lain, namun ucapannya tidak langsung disusul dengan pemberian. Jadi si A mengatakan kepada si B: "nih, hape ane buat ente aja!", atau juga dengan redaksi: "laptop ane buat ente, nanti ambil ya di rumah!". Di sini sering jadi sumbu permasalahan, apalagi ketika si pemberi (wahib) belum sempat menyerahkan, tapi terlanjur dijemput ajal dahulu. Maka yang jadi masalah, status harta yang dijanjikan diberi itu, apakah itu tetap milik si mayit, atau itu sudah jadi milik orang yang dijanjikan diberi (Mauhub Lahu). Kalau itu tetap milik mayit, maka itu jadi harta peninggalan ( tarikah ) yang harus dibagikan kepada ahli waris. Tapi kalau hanya dengan janji

Pertemuan Imam Abu Hanifah dan Imam Zaid bin Ali

Image
Imam Abu Hanifah (150 H) ternyata sempat bertemu, bahkan berdialog dengan Imam Zaid bin Ali Zainal-‘Abidin (122 H), yang merupakan imam madzhab Fiqih Zaidiyah. Ketika itu Imam Abu Hanifah memang sudah dikenal sebagai salah satu dari Fuqaha’ Al-‘Iraq (ahli fiqih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih Al-Kufah yang terkenal banyak menggunakan qiyas dalam mengistinbath sebuah hukum syariah. Sayangnya, kabar penggunaan qiyas dan juga ra’yun (Istihsan) sering dinegatifkan oleh sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama fiqih Iraq sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak meninggalkan atsar /hadits dalam menentukan sebuah hukum syariah. Padahal sejatinya tidak demikian. Kabar itu sangat membuat Imam Zaid bin Ali marah, akhirnya ketika bertemu dalam salah satu perjalanan hajinya, Imam Abu Hanifah yang memang sudah tahu kebesaran dan keluasan ilmu Imam Zaid bin Ali langsung mendatangi beliau dan mempekenalkan diri. Kemudian