Posts

Showing posts from July, 2014

Masih Punya Hutang Ramadhan, Bolehkah Puasa Sunnah?

Image
Bagi orang Indonesia kebanyakan yang memang sudah terbiasa dengan puasa 6 hari bulan syawal, sering muncul pertanyaan apakah boleh melakukan puasa sunnah 6 hari syawal sedang masih punya hutang Ramadhan yang belu dibayar? Memang dalam hal ini ulama 4 madzhab tidak pada satu suara; ada yang membolehkannya, ada juga yang membolehkannya namun makruh, dan ada juga yang melarangnya secara mutlak bahkan puasa sunnahnya tidak sah. Boleh Pendapat pertama yang mengatakan bahwa boleh-boleh saja berpuasa sunnah walapun masih punya hutang Ramadhan yang belum terbayar atau terganti. Ini adalah pendapatnya madzhab al-Hanafiyah dan al-Syafi'iiyah termasuk juga salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini didasarkan bahwa yang namanya qadha' Ramadhan itu hukumnya memang wajib, akan tetapi kewajiban qadha' Ramadhan itu sifatnya 'ala al-tarakhi [ على التراخي ] yang artinya boleh menunda. Kenapa boleh menunda? Karena waktu qadha' ramad

Puasa Syawal Hukumnya Makruh?

Image
Orang muslim Indonesia sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan puasa sunnah 6 hari syawal setelah berlebaran. Sudah bukan menjadi sesuatu yang asing di telinga para muslim Indonesia tentang sunnahnya puasa 6 hari syawal. Tapi, kalau nanti ada yang mengatakan bahwa puasa 6 hari syawal itu bukanlah sebuah kesunahan, dan malah hukumnya itu makruh , tidak perlu kaget dan tidak usah marah. Pendapat seperti itu bukan sesuatu yang baru, bukan juga pendapat yang baru lahir kemarin sore. Justru pendapat tersebut sudah ada sejak 13 abad tahun lalu. Ya! Pendapat yang mengatakan bahwa puasa 6 hari syawal itu adalah sebuah ke- makruh- an adalah pendapat yang dipegang oleh madzhab Imam Malik di madinah. Yang jelas memang berbed dengan pendapat jumhur (al-Hanafiyah, al-Syafiiyah dan al-Hanabila) yang memang berpendapat bahwa puasa 6 hari syawal itu puasa sunnah. Puasa Syawal Sunnah Jumhur ulama, selain madzhab al-Malikiyah, menyandarkan pendapat mereka bahwa puasa 6 har

Panitia Zakat Fithr, Dapat Jatah atau Tidak?

Image
Sering jadi pertanyaan beberapa orang tentang status panitia zakat fitrah ini, apakah ia termasuk golongan penerima zakat fitrah itu sendiri atau tidak. karena yang masyhur terdengar itu adalah zakat fitrah hanya diperuntukkan untuk orang fakir miskin saja. Apakah demikian? Kalau dilihat dari pekerjaannya tiap kali Ramadhan, panitia zakat musiman ini memang bukan hanya bekerja penerima pembayaran zakat, tapi mereka juga bekerja mendata dan menyalurkan zakat-zakat tersebut kepada orang fakir serta miskin di daerah tempat tinggalnya. Jadi, status panitia zakat itu adalah sebagai Amil, walaupun sifatnya insidentil; hanya sebatas Ramadhan guna mengurusi zakat fitrah dan setelah Ramadhan panitia tersebut dibubarkan, intinya memang panitia ini adalah berstatus sebagai Amil zakat. Pertanyaannya, apakah seorang Amil juga mnedapat jatah zakat fitrah? Bukankah zakat fitrah itu hanya diperuntukkan kepada orang miskin? Memang dalam hal ini, ulama tidak pada satu

Zakat Fitrah, Ukuran Volume (Lt) atau Berat (Kg)?

Image
Ulama sejagad raya ini sepakat bahwa kadar yang wajib dikeluarkan dari zakat al-Fithr atau zakat fitrah adalah satu sha', dan memang ini yang dicontohkan oleh Nabi saw. Dalam sebuah hadits disebutkan: كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُول اللَّهِ  صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلاَ أَزَال أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ "Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata,"Kami mengeluarkan zakat fithr ketika dahulu Rasulullah bersama kami sebanyak satu shaa' tha'aam (hinthah), atau satu shaa' kurma, atau satu shaa' sya'ir, atau satu shaa' zabib, atau satu shaa' aqith. Dan aku terus mengeluarkan zakat fithr sedemikian itu selama hidupku"." (HR Muslim) Dan satu sha' itu sama dengan 4 mud. Mud adalah takaran volume dengan menggunakan gaya konvensional pada zaman Nabi saw, yaitu dengan menggunakan kedua tela

Orang Besar Hidup antara Pujian dan Cacian

Image
Hampir tidak ada seorang pun yang tidak ada perbedaan persepsi dari orang-orang sekelilingnya, semua punya persepsi sendiri yang masing-masing berbeda dengan yang lainnya. Siapapun itu, pasti orang akan terpecah pada beberapa pandangan dalam menilai pribadinya. Yang satu katakan bahwa fulan itu baik, tapi tidak bagi yang lain, justru fulan itu orang jahat. Bahkan Allah swt, manusia pun berbeda pandangan tentang-Nya; dimana Allah swt berada? Di arsy- kah atau dimana? Berbeda apakah Allah swt punya tangan dan kaki atau tidak? dan banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan dalam forum ini. Musthafa Luthfi al-Manfaluthi (w. 1924 M), seorang sastrawan besar asal Mesir yang pernah kuliah di al-Azhar, punya makalah yang bagus sekali ketika membicarakan tentang seseorang yang dinilai dengan penilaian yang berbeda dari orang-orang sekelilingnya. Dalam kitabnya al-Majmu'ah al-Kamilah (hal. 253) , Musthafa mengatakan: "Kalau kalian melihat ada penyair, orang

Kenapa Para Sahabat Melakukan Dosa?

Image
Satu yang harus diketahui bahwa Allah swt menjadikan para sahabar ridhwanullah 'alaihim tidak dalam keadaan yang makshum (terjaga dari kesalahan). Justru Allah swt menjadikan mereka semua manusia yang bisa bersalah sebagai teladan bagi umat setelahnya, serta memperlihatkan kepada kita contoh terbaik dari lingkungan generasi terbaik. Kesalahan yang ada dan dilakukan oleh para sahabat ridhwanullah 'alaihim adalah bentuk kesempurnaan kebaikan yang Allah swt anugerahkan kepada mereka, dan bukan sebuah aib bagi mereka. Bagaimana? Seandainya Allah swt menjadikan para sahabat terjaga dari kesalahan, tidak ada dari mereka yang berbuat pelanggaran syariah, lalu dari mana kita belajar bagaimana caranya ber-muamalah dan berinteraksi dengan pelanggar syariah? Dengan pelaku maksiat? Kita adalah umat yang bisa salah bahkan sering melakukan kesalahan dan pelanggaran syariah. Lalu Bagaimana kita menyikapi ketika terjadi pelanggaran syariah lingkungan kita kalau

Merubah Niat Jumlah Rakaat di Tengah Shalat (Witir/Tarawih)

Image
Satu (lagi) masalah yang sering kali ditanyakan terkait shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan ialah perbedaan antara niat rakaat dan shalat itu sendiri. Kasusnya bahwa ada (bahkan banyak) beberapa masjid yang memang tidak mempunyai bilal dan sang Imam juga tidak bilang berapa rakaat shalat witir atau tarawih yang ia akan laksanakan. Mungkin bagi mereka penduduk setempat tidak masalah, karena sudah terbiasa. Tapi ada di antara makmum itu orang-orang baru atau orang yang sedang singgah di masjid. Karena tidak tahu, ia berniat shalat tarawih sebagaimana biasa yang ia lakukan.; ia berniat 2 rakaat ternyata imam shalat 4 rakaat. Begitu juga dalam shalat witir, biasanya ia shalat dengan format 2 rakaat + 1 Rakaat. Akan tetapi setelah berniat 2 rakaat, ternyata imam malah meneruskan shalatnya sampai rakaat ketiga dan tidak salam di rakaat kedua. Ini sering terjadi. **Lalu bagaimana nasib shalat makmum? Kasusnya bersumbu pada masalah boleh atau tidak sese