Posts

Showing posts from September, 2013

Nitip Doa

Image
Kalau sudah masuk akhir bulan Dzulqo'dah seperti sekarang ini, sudah mulai banyak kloter-kloter Jemaah Indonesia yang sudah berangkat menuju tanah suci untuk ibadah haji. Dan biasanya, para Jemaah sering sekali membawa titipan dari keluarga atau kerabatnya di tanah air, yaitu titipan doa.  Orang Indonesia, atau lebih tepatnya beberapa kalangan di pinggiran kota atau daerah sering sekali titip-titipan doa dengan saudaranya yang mau berangkat haji. Nitip doa maksudnya itu meminta didoakan oleh saudarnya yang berhaji ke Tanah Haram sana, karena bagaimanapun keutamaan berdoa di Tanah Haram sangat besar dan termasuk dalam tempat-tempat istijabah . "Bang, ane nitip doa ya nanti. Kalo depan ka'bah, jangan lupa doain ane biar makin,……" "Nanti di raudhoh, ane nitip doa ye! Doain ane ama bini ane biar bisa nyusul kaya ente pegih haji!" Begitu kiranya redaksi kalimat yang sering kita dengar. Bahkan saking banyaknya permintaan titipan doa

Mendirikan Bangunan di Atas Kuburan, Boleh kah?

Image
Perihal meninggikan kuburan dengan memplesternya dengan semen kemudian membuatnya menjadi permanen, atau membangun sebuah bangunan, entah itu sebuah kamar, atau kubah diatasnya adalah perkara yang telah disepakati ke- Makruh- annya oleh ulama 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali). [1] Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakan bahwa itu sebuah keharaman, 4 madzhab fiqih menghukumi sebagai perkara yang makruh. Dalil kemakruhan yang dipakai oleh 4 madzhab tersebut ialah hadits riwayat Imam Muslim dan juga Imam Tirmidzi dari sahabat Jabir bin Abdullah: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ "Rasul saw melarang untuk meninggikan/memplester kuburan dan memabangun diatasnya sebuah bangunan" (HR Muslim) Dalam riwayat Imam Tirmidzi ada tambahan [ أن يكتب عليع ] "dan juga (dilarang) utuk menuliskan sesuatu diatasnya" (HR Tirmidzi)   Mungkin menjadi pertanyaan, dalam reda

Pilih Pendapat Yang Mana?

Image
Ketika seseorang membaca artikel fiqih atau juga mengikuti sebuah kajian fiqih yang didalamnya membahas perbedaan pendapat antara madzhab dan para ulama fiqih, satu pertanyaan yang sering muncul setelahnya ialah: "Jadi, harus pilih yang mana ya?" Pertanyaan yang hampir semua orang menanyakan ini. Dan tentu ini pertanyaan yang sangat maklum adanya, karena seriap orang berbeda-beda kamampuannya dalam memahami masalah syariah. Ada yang tahu harus memilih apa, tapi juga ada yang kebingungan harus memilih yang mana. Memang tidak ada ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah, kita dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru. Secara umum, perbedaan pendapangan dalam masalah fiqih selalu

Tidak Bersedih Dengan Wafatnya Ulama Berarti Munafiq?

Image
من لم يحزن بموت العالم فهو منافق "Siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang ulama maka ia termasuk munafiq" Kalau yang ditanya apakah ini hadits? Apa derajatnya? Jelas ini bukan hadits, - Wallahu A'lam - karena sepanjang pencarian, tidak ada kitab-kitab hadits yang meriwayatkan redaksi seperti ini. Lalu siapa yang pertama kali mempopulerkan hadits ini? Sepengetahuan penulis, qoul ini dipopulerkan oleh Imam Nawawi Al-Jawi (Tanara, Banten) dalam kitabnya " Maroqil-'ubudiyah " [ مراقي العبودية ]. Kitab ini adalah syarah (penjelasan) dari kitab " Bidayah Al-Hidayah " [ بداية الهداية ], karangan Imam Al-Ghozali. Kitab bidayah hidayah itu kecil, dan tipis, berisi tentang adab-adab seorang muslim dari mulai bangun tidur sampai meninggal dunia, yang ditinjau dari segi tasawwuf. Termasuk di dalamnya bab keutamaan ilmu dan ulama. Tentu kita mnegenal kitab fenomenal karangan Imam Ghozali; Ihya' Ulum Al-Diin

Menggugat Slogan "Kembali ke Al-Quran dan Sunnah"

Image
Slogan "Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah" sekarang ini memang sedang booming dimana-mana. Setiap kita bertemu dengan para punggawa-punggawa dakwah dari kalangan tertentu, pastilah kita dapati slogan ini. Dengan bantuan media social yang masiv membuat slogan ini makin banyak dikenal dan dikatakan terus berulang karena memang maksudnya bagus. Ya memang seorang muslim wajib hukumnya untuk dia kembali kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Quran dan juga tuntunan panutannya yaitu Hadits-hadits Nabi Muhammad saw.   Tapi saya pribadi agak riskan dan khawatir dengan slogan ini, bukan tidak setuju, tapi ada hal lain yang rasanya urgen sekali untuk diluruskan dari slogan nyunnah ini. Khawatir adanya kesalahpahaman dari slogan itu kalau memang dipahami begitu saja, karena memang perlu ada pembahasan beberapa poin penting dari slogan tersebut. Dalam beribadah memang kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-

Kawin Lari

Image
Menikah tanpa wali, wali si gadis tentunya, biasa disebut oleh kebanyakan orang dengan istilah kawin lari. Karena memang orang yang menikah tanpa wali si gadis berarti memang tidak mendapat persetujuan dari sang wali wanita. Agar tujuannya untuk menikah sang gadis bisa terwujud, satu-satunya cara ialah menikah diam-diam tanpa sepengatahuan si wali wanita, atau juga dengan membawa kabur si wanita dan menikah di tempat lain dengan wali hakim yang keabsahannya diragukan. Padahal kalau kita buka kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kawin lari punya makna yang lebih luas dan sedikit berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang yang mengatakan itu sebagai pernikahan tanpa wali. Kawin lari ialah " perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan persetujuan gadis itu untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap berlarut-larut dan memakan biaya yg terlalu mahal". Walaupun demikian, kawin lari tetap menjadi istilah popu