Kritikus Madzhab Fiqih (Bag. 2)

Pengambilan Hukum dari Hadits

Ini yang lebih rumit lagi! Bukan hanya madzhab mutakalimun dan madzhab Al-Fuqaha yang berselisih konsep dalam mengambil hukum dari hadits, akan tetapi masing-masing madzhab fiqih; Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, dan Al-Hanabilah punya konsep yang berbeda-beda dalam hadits untuk dijadikan sandaran dalil hukum.

Al-Hanafiyah, dalam prakteknya tidak mengambil hukum kecuali itu hadits mutawatir. Sedangkan hadits Ahad, itu diperlakukan berbeda oleh madzhab ini. sebelum menerima hadits ahad, mereka teliti dulu, bagaimana perawi haditsnya? Kalau perawi haditsnya ternyata menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits ini tidak lolos fit and proper test dalam madzhab Al-hanafiyah untuk dijadikan dalil hukum. 

Bukan hanya itu, kalau perawinya tidak menyelisih, hadits Ahad ini tidak langsung diterima, ada tes lagi yang diujikan untuk hadits ber-perawi tunggal ini, yaitu apakah kandungannya menyelisih kandungan nash qath’iy (ayat Quran dan hadits Mutawatir) atau tidak?

Kalau itu menyelisih, maka –ma’dzirotan wa afwan-, hadits itu tidak diterima, walaupun shahih menurut kalangan lain. Nash-nash Qath’iy yang dipakai jika begitu ceritanya. Begitu strick-nya Al-hanafiyah dalam hadits Ahad.

Jadi hadits ahad yang bisa diterima oleh madzhab Al-Hanfiyah ialah hadits yang perawinya tidak menyelisih dan hadits itu tidak bententangan dengan nash-nash yang qath’iy.

Al-Malikiyah, beda lagi! Yang paling menonjol dalam madzhab Imam Malik bin Anas ini ialah pengaruh ‘Amal Ahli Madinah (Pekerjaan Penduduk Madinah). Hadits Ahad dalam madzhab ini tidak asal langsung diterima, walaupun derajatnya shahih menurut para ulama hadits. Hadits ahad itu mesti melewati tes terlebih dahulu.

Yaitu dikomparasi dengan ‘Amal Ahli Madinah, kalau kandungan hadits ahad ini bertentangan dengan pekerjaan penduduk madinah. Maka yang dipakai dan diakui dalam madzhab ini ialah pekerjaan penduduk madinah, bukan hadits ahad.

Karena menurut madzhab ini, periwayatan ‘Amal Ahli Madinah itu diriwayatkan oleh penduduk satu negeri, Madinah. Sedangkan hadits ahad hanya diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatan sanad. Lalu mana yang lebih kuat, satu atau satu negeri?

Al-Syafi’iyyah, ini madzhab yang sering sekali ‘dituduh’ selalu menggunakan hadits dhoif dalam pengambilan hukumnya. Yang jadi pertanyaan balik untuk pengkritik madzhab ini ialah; Dhoif menurut siapa?

Kalau kita teliti memang hadits yang dipakai oleh madzhab ini terkesan dhoif, tapi ke-dhoif-an hadits tersebut dilihat hanya dari satu jalur (hadits mempunyai banyak jalur periwayatn). Sedangkan jika meniliti dari jalur berbeda yang digunakan oleh madzhab Imam Syafi’i ini ternyata haditsnya dalam derajat yang shahih.

Lihat saja kepada musnad Imam Syafi’i, jalurnya sanadnya banyak yang meyakinkan, bahkan sangat amat meyakinkan sekali shahihnya. Tapi kalau melihat dari jalur imam Hdits lain ya berbeda lagi statusnya. Dan jalur riwayat Imam Syafi’i ini yang dijadikan sebagai hujjah-hujjah-nya Al-Syafi’iyyah.

Diakui atau tidak, label status shahih menurut para ahli hadits pun berbeda, mereka masih berselisih dengan kriteria hadits shahih. Satu hadits bisa saja punya 3 status sekaligus; shahih, Hasan, dhoif! Tinggal kita lihat siapa yang memberi status itu, imam hadits yang mana?

Al-Hanabilah, ada juga beberapa kalangan yang mengkritik madzhab Imam Ahmad ini dengan sebutan madzhab yang plin-plan, karena banyaknya riwayat qaul yang muncul dalam satu masalah. bahkan dalam satu masalah, Imam Ahmad bisa punya riwayat 8 sampai 10 fatwa.

Perlu dipahami, ini bukan karena Imam Ahmad tidak punya konsep dalam hadits, bagaimana bisa dikatakan tidak punya konsep hadits padahal beliau Imam Ahlu Hadits?

Ternyata memang Imam Ahmad semasa hidupnya tidak menulis fatwa-fatwa fiqih, beliau lebih concern dengan periwayatan hadits. Dan beliau pun melarang muridnya untuk menulis fatwanya ketika beliau hidup. Barulah ketika beliau meninggal, murid-muridnya merasa penting untuk menuliskan fatwa-fatwa Imam Ahmad.

Dan kita tahu dalam satu majlis, murid-murid itu tidak berada satu pemahaman yang sama; karena perbedaan pemahaman itulah akhirnya banyak riwayat Imam Ahmad yang berbeda-beda dalam satu masalah. terlebih lagi para muridnya itu tidak menulis ketika Imam Ahmad hidup, karena memang dilarang, mereka menulis setelah wafatnya sang Imam denagn kekuatan ingatan mereka ketika duduk di majlis Imam Ahmad. Akhirnya munculah banyak riwayat yang dinisbatkan kepada sang Imam dari murid-muridnya yang berbeda.

Kesimpulan

Sebenarnya masih banyak konsep-konsep pengambilan hukum oleh para Imam madzhab fiqih, bukan hanya dari Al-Quran dan Sunnah/Hadits. Hanya saja kedua konsep yang disebutkan di atas itu yang sering menjadi bahan dan objek kritikan terhadap para imam-imam mulia itu. Dan sepertinya menjadi penting untuk diluruskan.

Jadi, kalau memang ingin menjadi pengkritik madzhab fiqih, maka pahami dulu konsep pengambilan hukum masing-masing madzhab, sebelum mengkritik. bukan hanya paham konsep sendiri yang belum tentu diakui oleh ulama ushul.

Jangan paksakan sepatu anda untuk kaki orang lain yang beda ukuran!

Jadi, itu pentingnya belajar Ushul Al-Madzahib.

Wallahu a’lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya