Kritikus Madzhab Fiqih (Bag. 1)

Seperti memakaikan sepatu dengan ukuran kaki sendiri untuk kaki orang lain. Atau juga memaksa orang lain yang berbeda bentuk tubuh dan besarnya untuk memakai baju dengan ukuran badannya sendiri. Ya seperti itu kiranya para pengkritik madzhab fiqih belakangan ini.

Mereka sering kali mengkritik pendapat-pendapat madzhab fiqih yang berbeda dengan pendapatnya, bahkan sampai mengatakan bahwa Imam A salah dalam mengambil hadits sebagai dalil, karena berdalil dengan hadits dhoif. Dhoif menurut versinya.

Padahal sejatinya, masalah perbedaan dalam ranah hukum fiqih bukanlah sesuatu yang berbahaya, karena memang perbedaan itu ada dan bukan diada-adakan. Jadi keberadaan sebuah perbedaan dalam ranah fiqih adalah sebuah keniscayaan.

Sayangnya para pengkritik itu tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu dengan apa yang menjadi dasar manhaj (metode) pengambilan hukum (Istinbath) yang dipakai oleh para ulama mazdhab. Yang mereka tahu hanya satu metode saja dalam pengambilan sebuah hukum, yaitu asal ada hadits yang shahih, maka begitulah hukumnya. Yang tidak sejalan dengan hadits shahih ini, maka itu telah menyalahi sunnah. Padahal tidak sesimple itu!

Parahnya lagi mereka mengklaim, hanya metode mereka yang benar dan yang lain masih diragukan bahkan salah. Jelas ini keliru.

Modal Pengkritik

Seseorang yang ingin mengkritik, apapun ranah keilmuannya, ia (kritikus) mestinya mengerti dulu kenapa lawan bicara bisa menyimpulkan itu, apa dsarnya? Dan bagaimana konsepnya?

Jadi, seorang kritikus tidak hanya mengenal metodenya sendiri, tapi ia juga dituntut (kalau benar-benar mau jadi kritikus) untuk benar-benar paham metode dan konsep yang dipakai oleh lawan bicara yang menjadi objek kritiknya tersebut.

Kalau seorang kritikus hanya mengerti konse pribadinya saja tanpa tahu apa yang dipakai oleh lawan bicaranya, itu bukan kritikus namanya. Itu hanya penyimak yang salah masuk kamar. Mestinya hanya menyimak, tapi ia sok berlaga sebagai kritikus. Salah kamar dan salah sadar juga.

-dalam masalah hukum fiqih khususnya- sebelum ia mengkritik pendapat salah satu madzhab tertentu, mestinya ia pahami dulu apa metode yang dipakai oleh madzhab tersebut dalam pengambilan hukum. Tahu, pahami, pelajari dan teliti konsep penganmbilan hukumnya.

Jangan hanya karena belajarnya satu metode, dan mengira bahwa hanya metode itu yang shahih dan yang lain yang tidak bermetode seperti itu dikritik dan dianggap keliru dalam mengambil hukum. Tidak seperti itu.

Melihat ada ayat yang jelas-jelas mengandung makna bla bla bla, menurutnya, lalu ada madzhab yang mengambil hukum berbeda dengan kandungan ayat yang ia pahami. Jangan dulu kritik, lihat dulu bagaimana konsep pengambilan hukum madzhab tersebut terhadap ayat Al-Quran.

Menganggap hadits ini shahih, tapi ada madzhab yang pendapatnya bertentangan dengan hadits tersebut, malah dikatakan sebagai mukhalif Al-hadits (menyelisih Hadits). Lihat dulu apa konsep madzhab tersebut dalam mengambil hukum dari sebuah hadits. Apa hanya sanadnya yang shahih, atau punya perhitungan lain?

Pengambilan Hukum dari Ayat

Dalam pengambilan ayat misalnya, ternyata kedua madzhab ushul-Fiqh Ahlu-Sunnah berbeda masing-masing. Madzhab Mutakallimun, yang merupakan madzhab Ushul-nya jumhur madzhab fiqih (Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah) itu punya konsep yang berbeda dengan madzhab Al-Fuqaha’, madzhab ushul-nya Al-hanafiyah.

Dalam hal Al-‘Aam wa Al-Khosh (ayat umum dan ayat khusus) contohnya. Jumhur pada posisi bahwa segala ayat yang turun dalam Al-Quran dan itu mengandung makna ‘Aam (umum) itu selalu ditangguhkan terlebih dahulu dan dicari apakah ada ayat Khosh (khusus) dalam masalah ini?

Kalau ada ayat Khosh-nya, maka ayat ‘Aam itu tadi, hukum yang terjakandung dalam ayat umum itu dibawa atau digirim makna ke dalam ayat khusus. Jadi ayat khusus yang dijadikan pengambilan hukum.

Berbeda dengan madzhab Al-Fuqaha’ (Al-Hanafiyah), mereka tidak melihat apakah ayat itu umum atau khusus. Mereka melihat waktu turunnya ayat tersebut, mana yang turun duluan dan mana yang belakangan.

Jadi konsepnya, ayat yang turun terakhir itulah yang menjadi hujjah dan ayat yang turun lebih awal, kandungan hukumnya digiring ke ayat yang turun terakhir itu, seperti ditutup oleh ayat yang turun terakhit itu, walaupun ayatnya umum.   

Belum lagi ada yang disebut dengan istilah Nasikh wa Al-Mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus). Dan tidak sedikit dalam litelatur fiqih kita temukan par ulama berselisih paham dalam menentukan mana yang nasikh (menghapus) dan mana yang di-mansukh (dihapus).

Konsep pengambilan hukum dari Al-Quran saja sudah berbeda, ya wajar kalau terus kemudian muncul perbedaan pendapat. Ini contoh kecil saja. Ternyata kalau kita teliti lebih dalam, konsep pengambilan hukum dari Al-Quran yang dipakai oleh para Ahli ushul itu sangat luas pembahasannya. Seperti menentukan mana yang disebut nash? Lalu bagaimana dengan istilah Dzohir Al-Nash? Apa pula yang dikatakan ihtimal?

bersambung ke bagian 2

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya