" Subhaanallah " bukan " Sbanaloh "
Tentu semua pembaca pernah sholat di masjid berjama'ah atau di musholla dengan Jemaah yang lain. Bahkan ada yang setiap hari, dan setiap sholat lima waktunya dikerjakan dimasjid atau mushola secara berjamaah selalu. Atau malah ada yang ngga pernah sholat berjamaah di masjid ??? hmm..(musibah,, he). Tapi setidaknya pernah kan sholat berjamaah dimasjid walaupun Cuma sekali. Tulisan kali ini bukan membahas tentang sholatnya melainkan wirid/zikir setelah sholat itu.
Bukan juga membahas tentang hukumnya, apakah boleh ata tidak? Karena masalah yang demikian itu masalah khilafiyah yang dari dulu ulama sudah memperdebatkannya. Dan masih saja diperdebatkan oleh ulama komtemporer saat ini dan bukan jaminan bahwa ulama di masa yang akan datang tidak berselisih lagi. Dan dari awal pembuatannya, blog ini bukan dibuat untuk mempertajam masalah furu'iyyah yang "ngga ada ujungnya" tersebut. Penulis lebih suka memberikan apa yang sekiranya manfaat dari apa yang penulis punya. bukan hal-hal yang ngjelimet macem perdebatan itu.
Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan di masjid-masjid atau musholla-musholla, kalau setelah sholat berjamaah, mereka langsung wirid bersama. Khususnya sholat yang jahr, seperti sholat maghrib, isya, dan subuh. Wiridnya semua udah apal di luar kepala karena setiap hari diulang-ulang terus.
Biasanya
wirid setelah salam itu dibuka dengan istigfar 3 kali, kemudian tahlil (bacaan laa ilaaha illaLLAH), lalu diteruskan dengan membaca ayat kursi dan zikir Subhaanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar yang masing-masing 33 kali. Kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Imam sholat dan di amini oleh para ma'mum. Sampai disini tentu para pembaca sudah paham apa maksud judul diatas kan? Yaa itu yang terjadi di masayarakat kita sekarang. Mereka setelah sholat terbiasa wirid (dan ini amal yang mulia), namun pelaksanaannya itu sendiri out of control. Maaf, keluar dari syariat!
Wirid "Subhaanallah" karena terburu-buru atau mungkin karena pertimbangan lain yang saya dan kita tidak tahu, menjadi "Sbanalloh". "Alhamdulillah" jadi "Lhamdulah". "Allahu Akbar" jadi "Lohekbar". Saya jadi bingung tentang ini. Nabi mana yang ngjarain wirid macam gini? Sahabat mana yang nganjurin wirid dengan redaksi "ngaco" kaya gini? Ulama mana yang nyuruh wirid beginian?
Ya ini sudah menjadi tradisi yang turun menurun, sudah melekat dalam diri setiap masyarakat awam tentuny. Dan sulit sekali untuk dirubah, walaupun saya selalu berharap bahwa ini bisa berubah.
Sabda Nabi SAW:
مَنْ سَبَّحَ الله في دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِينَ ، وحَمِدَ اللهَ ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وَكَبَّرَ الله ثَلاثاً وَثَلاَثِينَ ، وقال تَمَامَ المِئَةِ : لاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ وَحدَهُ لا شَريكَ لَهُ ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ
"Barang siapa yang bertasbih (Subhaanallah) setiap selesai sholat 33 kali, kemudian berthamid (Alhamdulillah) 33 kali, kemudian bertakbir (Allahu Akbar) 33 kali. Dan digenapkan 100 kali dengan Laa Ilaaha IllaLLah Wahdahu Laa Syariika Lahu Lahul-mulku Wa Lahul-Hamdu Wa huwa 'Ala Kulli Sya'in Qodir, ia akan diampuni dosa-dosanya walaupun banyaknya seperti buih dilautan." (HR Muslim)
lihat, bagaimana besarnya pahala orang yang berzikir dengan zikir-zikir tersebut setelah sholat. Dosanya diampuni, walaupun dosa-dosanya itu banyak seperti buih dilautan. Bayangkan berapa banyak buih dilautan? Tidak terhitung! Berarti seberapapun dosa seorang hamba besarnya, pasti Allah mengampuninya. Betapa sayangnya Allah terdahap hambanya.
Mari kita lihat lagi lebih teliti, dari hadits tersebut. Wirid yang yang anjurkan oleh Rasul SAW ialah "Subhaanallah" yang terdiri dari huruf Sin-Ba'-Ha-Nun-Lafzul-jalalah(Allah), yang arti bahasa indonesianya adalah "Maha Suci Allah".
"Alhamdulillah" = Alif-Lam-Ha'-Mim-Dal- Lafzul-jalalah(Allah) yang artinya "Segala Puji Bagi Allah".
"Allahu Akbar" = Lafzul-jalalah(Allah)-Alif-Kaf-Ba'-Ro'. Artinya "Allahu Maha Besar".
Lalu muncul pertanyaan. Apakah orang bertasbih dengan redaksi ngaco seperti itu bisa dibilang ia telah bertasbih (mensucikan Allah)? Apakah orang yang bertahmid dengan redaksi salah itu disebut ia telah bertahmid. Apakah orang yang bertakbir ngga jelas seperti itu bisa dibilang ia telah bertakbir?
Apakah "Sbanalloh" artinya maha suci Allah? Apakah "Lhamdulah" artinya segala puji bagi Allah? Apakah "Lohekbar" artinya Allah maha besar?
Pertanyaan yang lebih besar. Apakah wiridnya itu berpahala? Apakah ia mendapatkan fadhilah zikir seperti apa yang dijelaskan dalam hadits diatas? Jawabannya satu, tentu TIDAK!
Lalu kalau di bilang "Tapi kan mereka niatnya wirid!" ya niat saja tidak cukup dan menjadi percuma kalau dibarengi dengan amal yang salah.
Apakah orang yang niat sholat maghrib, lalu dia sholat 2 rokaat saja, bisa disebut ia telah sholat maghrib?
Apakah orang yang berniat makan nasi, lalu ia makan roti, ia bisa disebut telah makan roti?
Apakah orang yang niat membaca qur'an tapi kemudian ia baca Koran, ia bisa disebut telah membaca qur'an?
Maaf! Apakah orang yang berniat menggauli istrinya, tapi hanya tidur disampingnya saja, apakah ia bisa mengharapkan punya anak?
Tentu tidak. Jelas tidak. Tidak ada fadhilah yang didapat dari kata-kata "ngga jelas" seperti itu. Ya ngga jelas apa yang dibaca, ngga jelas apa artinya, ngga jelas juga apa maksud dan tujuannya. Jadi tidak cukup perkara ibadah hanya dengan niat. Walaupun memang niat untuk malakukan suatu amal ibadah saja itu sudah mendapatkan satu pahala, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shohih.
Dan wirid dengan model seperti in terkesan "menyepelekan" apa yang sudah digariskan oleh syariat. Dan penyepelean ini sangat dilarang dalam agama. Apalagi ini ritual yang sudah ada aturannya.
Kalau memang alasannya waktu yang sempit, karena para Jemaah harus langsung ke tempat kerjanya dengan segera seteah sholat dan juga karena wiridnya terlalu banyak jumlahnya. Ya kurangi saja kalau gitu wiridnya! Gitu aja kok repot!
Dari 33 kali menjadi 10 kali saja atau 3 kali, tentu dengan redaksi yang benar. Toh wirid 33 kali itu bukan suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap orang yang mau wirid setelah sholat fardhu. Itu hanya kesunnahan. Adapun orang yang ketika setelah sholat ia wirid hanya 3 kali saja, yaa ngga maslah. Siapa yang melarang?
Dan penulis yakin, sangat yakin sekali. Orang yang wirid dengan zikir-zikir tersebut 3 kali saja dengan pengucapan yang benar. Itu lebih baik dan lebih mulia dihadapan Allah disbanding mereka yang wirid 33 kali dengan redaksi yang ngaco. Bahkan ia lebih baik walaupun mereka wirid ratusan kali dengan kata-kata yang ngga jelas seperi itu.
Karena dalam syariat, Allah tidak melihat sebarapa banyak amal yang kita perbuat. Bukan kuantitas yang jadi utama. Tapi yang ditekankan ialah "kualitas" amal tersebut.
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Maha Suci Allah yang Menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk Menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun" (QS Al-Mulk 1-2)
Lihat dalam ayat diatas, kalimat yang digunakan ialah kata "Ahsan" = "lebih baik". Allah tidal menggunakan kaliat "Aktsar" yang artinya "lebih banyak". Karena amal yan baik ialalh bukan dilihat dari kuantitasnya, melainkan kualitasnya.
Orang dengan penghasilan 30 ribu perharinya, kemudian ia bersedekah dengan uangnya itu sebanyak 15 ribu, yang berarti itu setengah dari penghasilannya. Ia lebih baik dan lebih besar pahala di banding orang kaya yang bersedekah jutaan, tapi penghasilannya ratusan juta.
Orang Muslim di Negara Eropa, ketika ia melaksakan sholat Tahajjud, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya di banding sholat Tahajudnya santri di pesantren Indonesia. Karena kondisi cuaca dan lingkungan yang berbeda.
Sabda Nabi SAW :
إنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ
"sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya cobaan" (HR Tirmidzi)
Jadi, mari para pembaca, kita luruskan kembali apa yang memang tidak lurus. Kita kembalikan semua pada tempat asanya yang benar. Kita kembali ke ibadah-ibadah yang memnag sudah digariskan oleh syariat, dan bukan merubahnya apalagi mengada-ngada.
Tidak penting seberapa besar amal itu, yang penting ialah kualitas amal tersebut, walaupun kecil. Percuma amal banyak namun sia-sia.
Rasul SAW bersabda :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا
"janganlah kalian sekali-kali menghina suatu kebaikan, walaupun itu kecil" (HR Muslim)
Wallahu A'lam.
Comments
Post a Comment