Membeli Barang Sitaan Gadai, Bagaimana Hukumnya?

Pertama yang harus diperhatikan dalam jual beli ialah rukun jual beli itu sendiri, karena jika salah satu rukun jual beli itu rusak atau tidak terpenuhi, maka rusak juga akadnya.

Kalau sudah rusak akadnya, maka kepemilikannya pun tidak diakui dalam syariah. Dengan bahasa lain, bisa dikatakan bahwa ia menggunakan barang yang haram digunakan, karena itu bukan miliknya. Karena bagaimanapun seorang muslim tidak bisa memanfaatkan suatu barang yang bukan miliknya kecuali dengan izin si pemilik aslinya yang sah.

Dan salah satu rukun jual beli itu ialah Al-Mabii' [المبيع] (Barang dagangan), namun tak selesai sampai situ. Al-Mabii' pun harus memenuhi syarat yang kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka jual belinya tidak sah. Ya tidak sah karena kerusakan ada pada akad.

Salah satu syarat Mabii' yang berkaitan dengan masalah ini ialah mabii' itu adalah milik si penjual secara sah. Maka tidak sah jual beli dengan barang yang bukan milik penjual, kecuali ia adalah wakil atau wali dari si pemilik barang itu.

Setelah ini kita lihat status barang gadai yang disita itu, siapa pemiliknya dan siapa penjualnya?

Biasanya barang sitaan gadai itu ialah barang yang dijadikan jaminan oleh si peminjam untuk berhutang, namun sudah sampai tempo untuk melunasi hutang, si peminjam atau penghutang tidak mampu membayarnya. Maka konsekuensinya ialah barangnya menjadi sitaan. Dan untuk mendapatkan untung, si penerima gadai atau pemberi hutang ini menjual barang sitaan itu tanpa sepengetahuan si peminjam atau yang mengadaikan barang itu.

Jadi dalam hal ini yang menjual ialah si penerima gadai. Yang jadi pertanyaan, apakah barang itu memang benar miliknya, sehingga ia seenaknya bisa menjualnya?

Pegadaian Tidak Merubah Status Kepemilikan Barang

Ini jelas keliru, padahal dalam syariah kepemilikan barang itu tidak pernah berpindah dari tangan ke tangan yang lain kecuali dengan 4 sebab:
[1] Jual Beli,
[2] Hibah,
[3] Wasiat,
[4] Waris.
Tidak ada yang namanya pegadaian itu menjadikan si pemberi hutang atau penerima gadai menjadi pemilik barang yang digadaikan.  

Dalam gadai, status kepemilikan barang ialah tetap pada si pihak yang mneggadaikan barang, yaitu pihak peminjam hutang. Apapun bentuknya, gadai tidak merubah status kepelikan barang.

Ya syariah memang membolehkan barang tersebut dimanfaatkan oleh si penerima gadai. Misalnya orang berhutang dan menggadaikan mobil, maka si penerima gadai boleh memanfaatkan itu untuk kegiataan sehari-harinya, namun ia juga punya kewajiban merawat barang itu, seperti membiayai bensinnya. Tapi tetap status barang itu ialah milik si peminjam atau yang memberikan gadai.

Maka jika sudah datang tempo pembayaran, si peminjam berhak mendapatkan kembali barang gadainya itu lalu membayar atau melunasi hutang yang telah ia ambil dari si penerima gadai.

Lalu Kalau Si Peminjam Tidak Bisa Melunasi Hutang?

Kalau si peminjam tidak bisa melunasi hutang, itu bukan sebab yang menjadikan status kepemilikannya pindah. Akan tetapi yang harus dilakukan ialah melapor kepada hakim bahwa si peminjam tidak bisa melunasi hutangnya padahal sudah jatuh tempo.

Maka si hakim yang akan memaksa si peminjam untuk menjual barang gadaiannya itu dan melunasi hutangnya dari hasil penjualannya itu. Kalau tetap tak terpenuhi dengan hasil penjualannya, si peminjam tetap punya tanggunan kepada si pemberi pinjaman.

Kalau si peminjam tidak mau menjualnya, maka hakim yang akan menjual itu dan hasilnya akan dibayarkan kepada si pemberi pinjaman dengan jumlah yang telah dipinjam. Kalau ada sisa, maka itu dikembalikan kepada pemilik barang, yaitu si peminjam.

Atau bisa juga, si hakim memerintahkan si pemberi pinjaman yaitu orang yang menerima gadai tersebut untuk menjual barang tersebut dan hasilnya diambil sebagai pelunasan hutang itu. Dan tentu ini sepengetahuan si peminjam atau yang menghutang itu.

Adanya Perjanjian di Awal Akad

Lalu bagaimana jika kedua belah pihak telah melakukan perjanjian, dan masing-masing sepakat untuk menjual barang gadainya jika si peminjam tidak bisa melunasi hutang di saat jatuh tempo?

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' (13/214) mengatakan:

إذا اشترط المتراهنان شرطا نظرت، فإن كان يقتضيه كأن شرطا أن يباع المرهون في الدين عند حلول الدين أو أن يباع بثمن المثل أو على أن منفعته للراهن صح الشرط والرهن، لان العقد يقتضى ذلك
"Jika kedua pelaku gadai (pemberi gadai dan penerima gadai) memberikan syarat, maka syarat itu harus ditinjau lebih dulu. Kalau syarat itu memang sejalan dengan akad gadai dan tidak merusaknya, seperti menjual barang gadai ketika jatuh tempo atau menjualnya dengan harga semisal (setimpal) atau manfaatnya untuk si pemberi gadai, maka syarat dan gadainya sah. Karena akad gadai menuntut itu (sejalan dengan akad gadai)."

Jadi yang harus diperhatikan dalam jual beli barang sitaan gadai ialah, bahwa si pemilik barang itu ialah tetap si pemberi gadai. Dan ketika barang itu dijual, itu mesti:
[-] Sudah Jatuh tempo
[-] Dengan sepengetahuan si pemilik barang, yaitu pemberi gadai (peminjam).

Jadi si pemberi hutang, atau penerima gadai tidak bisa seenaknya menjual tanpa ada pengetahuan dari si pemilik barang, yaitu si peminjam. Karena kalau ia menjualnya tanpa sepengetahun si peminjam yang itu ialah pemilik barang, jual belinya tidak sah, karena ia menjual barang yang bukan miliknya.

Wallahu A'lam    

Comments

  1. Ust klo sy beli barang2 di rentenir gmn?? Sedangkan pemilik barang sdh menyadari/merelakan/memaklumi bahwa barang mereka akan berpindah milik dan dijual.. Sy niat sbg pembeli krn murah.. Gmn yah??

    ReplyDelete
  2. Klo aku tebus mobil milik kk ipar dengan uang saya, apakah barang trsbt jadi milik saya? Dan apakah kk ipar saya berhak meminta selisih kepada saya jikalo mobil tersebut saya yang pakai

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya