Kenapa Calo Diharamkan?

Banyak pertanyaan yang masuk perihal calo secara umum (khususnya calo tiket), dan agen resmi atau sales. Masalahnya muncul karena adanya perbedaan hukum antara praktek kedua, padahal sejatinya apa yang dilakukan keduanya sama saja, yaitu sama-sama menjadi perantara antara penjual dan pembeli.

Namanya saja calo, sudah pasti itu perantara antara penjual (pemilik barang) dengan pembeli. Tapi kenapa calo diharamkan, dan agen resi serta sales atau yang semisalnya tidak diharamkan juga. Kenapa ada perbedaan padahal hakikat keduanya sama.

Jadi pembahasan ini masuk dalam pembahasan tentang prantara dalam jual beli.

Perantara [سمسرة] (Samsarah)

Dalam pembahasan fiqih Muamalah, praktek perantara antara penjual dan pembeli sering disebut dengan istilah Samsarah [سمسرة], sedangkan yang bekerja sebagai perantara disebut dengan istilah Simsaar [سمسار] atau Dallaal [دلال].

Secara bahasa, samsarah mempunyai arti sama dengan praktek dagang. Sedangkan secara istilah, samsarah mempunyai arti sama dengan apa yang dikenal sebagai calo dalam kamus bahasa Indonesia, yaitu; perantara antara penjual dan pembeli.

Imam Ibnu 'Abdin, ulama besar dari kalangan Hanafiyah dalam Hasyiyah-nya (5/39) mengatakan bahwa samsarah itu ialah:
الَّذِي يَدْخُلُ بَيْنَ البَائِعِ وَالمـُشْتَرِي مَتَوَسِّطاً لإِمْضَاءِ البَيْعِ
"Pihak yang masuk di tengah antara penjual dan pembeli agar terjadi jual-beli"

Maka siapapun orang yang berdiri sebagai perantara antara penjual dan pembeli, ia disebut dalam istilah muamalah sebagai Simsaar. Dan pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang diharamkan.

Ini juga pernah dipraktekkan oleh sahabat Úrwah Al-Bariqi yang menjadi perantara antara Nabi shallahu 'alayh wasallam, yang ketika itu ingin membeli kambing untuk kurban dan memeberikannya satu dinar. Namun dengan  kepintarannya, Urwah berhasil membeli 2 kambing dengna satu dinar lalu menjual satu kambing yang telah dibeli dengan seharga satu dinar. Akhirnya ia kembali kepada Nabi dengan membawa satu kambing dan satu dinar. (HR. Tirmidzi)

Calo = Perantara?

Kalau dilihat dari pengertian yang telah dibahas diatas, agen tiket, travel, sales atau semisalnya itu masuk dalam kategori samsarah, dan itu sah-sah saja, tidak ada yang melanggar syariah. Mereka hanya menjadi perantara penjualan antara penjual dan pembeli, bahkan mereka menjadi perantar resmi yang mendapat stempel resmi dari penjual asli.

Dan secara sekilas pun calo tiket itu juga masuk dalam kegiatan ini, yaitu kegiatan perantara. Lalu kenapa calo dihukumi haram?

Secara sekilas, iya! Tapi sejatinya calo yang ada itu bukanlah calo dalam arti perantara yang dibenarkan dalam syariah. Apa yang dilakukan selama ini oleh calo itu ialah kejahatan [dzulm] dalam jual beli, dan sama sekali tidak masuk dalam kategori samsarah atau perantara, karena memang bukan perantara.

Mereka bukanlah perantara, akan tetapi mereka sejatinya penjual namun dengan harga yang mencekik pembeli, bukan hanya itu, ia juga memborong dan menghabiskan semua tiket, sehingga orang yang butuh tidak punya cara lain kecuali membeli dari calo dan tentu dengan harga yang sudah dilipatgandakan.

Mereka awalnya berkedok sebagai pembeli, lalu menghabiskan semua tiket yang ada, lalu menjualnya dengan harga yang sudah dilipatgandakan. Jadi, sama sekali itu bukan praktel perantara, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh agen-agen travel atau juga sales. Mereka murni menjadi penengah antara penjual dengan pembeli dan tidak ada yang disembunyikan atau juga ditinggikan harganya.

Menimbun [احتكار] (Ihtikar)

Parahnya lagi, mereka ini bukan hanya mencekik pembeli dengan harga yang sangat tinggi melebihi harga normal, calo juga melakukan pelanggaran lainnya, yaitu menimbun barang yang sedang dibutuhkan. Dalam syariah praktek kotor ini disebut dengan istilah Iktikar [احتكار].

Imam Ibnu 'Abdiin dalam Hasyiyah-nya (3/161) memberikan definisi untuk ihtikar itu sendiri, dan defenisi inilah yang juga disepakati oleh ulama madzhab lain, hanya saja berbeda redaksi:

اشْتِرَاءُ طَعَامٍ وَنَحْوِهِ وَحَبْسُهُ إِلَى الْغَلاءِ
"membeli makanan atau sejenis (barang kebutuhan), dan menimbunnya sampai waktu (harga menjadi) mahal".

Ulama sepakat atas keharaman peminbunan komoditi yang memang dibutuhkan oleh orang banyak, karena memang praktek menimbun komoditi ini adalah praktek yang dzolim dan sudah barang tentu mempersulit orang banyak.

Dan yang dilakukan oleh calo itu ialah praktek menimbun, mereka memborong semua tiket yang mana status tiket ketika itu ialah komoditi yang urgent dan memang snagat dibutuhkan sekali oleh orang banyak. Dan orang sedang sangat sibuk sekali mencari tiket itu namun tidak ada, yang ada hanya tiket yang sudah diborong oleh para calo, dengan demikian calo menjadi rujukan utama bagi banyak orang dan seenaknya lah mereka menjual dengan harga yang mencekik.

Sebagaimana teori umum dalam ilmu ekonomi, bahwa permintaan yang melonjak tapi barang langka, akan menjadikan barang itu menjadi mahal sekali.

Jadi jelas, bahwa calo bukanlah perantara yang dibolehkan, melainkan ia adalah kejahatan dalam system jual beli. Banyak kerugian yang dihasilkan dari praktek ini, baik itu bagi si penjual asli dan juga pembeli. Karena banyaknya kedzaliman inilah, praktek percaloan itu dilarang.

Calo = Kartel Penjahat

Sejatinya, penamaan calo untuk mereka yang bekerka seperti ini juga tidak sepenuhnya benar. Karena kalau kita buka kamus bahasa Indonesi, kata calo itu berarti perantara antara penjual dan pembeli, yaitu perantara yang baik yang memang itu juga dibenarkan dalam syariah.

Tapi calo yang ada sekarang ini, bukanlah perantara, melainkan lebih dekat kepada prilaku kejahatan yang merugikan banyak orang. Dan system kerja mereka pun tidak individual, melainkan bekerja secara sistemik dan teratur.

Bahkan mereka sudah menjadi kartel dengan sekumpulan orang yang berpraktek sama dengan tujuan mencekik pembeli dan merauo keuntungan sebesar-besarnya.     

Wallahu a'lam  

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya