Belajar Menerapkan Syariah Dari Bupati Garut, Aceng!
Belakangan ramai dibicarakan
soal bupati Garut, Aceng yang menjadi buah bibir media soal perceraiannya denga
mantan istri sirri-nya yang masih berumur 18 tahun. Bukan Cuma di garut, tapi
bahkan berita ini sudah menjadi santapan Nasional. Satu Indonesia tahu semua
itu.
Secara syariah
tidak ada yang salah dengan itu semua, perceraiannya sah. Semua pakar hukum
Islam pasti sepakat, bahwa perceraiannya itu sesuai syariah dan tidak menjadi
masalah, tanpa melihat berapa usia pernikahan itu. Tidak ada masalah syariah
yang dilanggar secuilpun oleh sang Bupati.
Yang menjadi
masalah ialah pesonal beliau yang seorang tokoh masyarakat, yang tentu gerak
geriknya selalu diawasi oleh semua orang seantero Garut, bahkan se-Indonesia. Bagaimanapun,
Indonesia tetaplah Indonesia yang ketimuran dan selalu mengedepankan “perasaan”
dalam setiap masalahnya.
Bercerai di
hari pertama dari pernikahan yang sah dibenarkan oleh syariah. Jangankan usia
sehari, pagi melakukan akad dan siangnya langsung bercerai pun itu tidak
menjadi masalah dalam syariah, dan perkara seperti ini biasa terjadi. Tapi dimana
kejadian itu dinilai “biasa”?
Di indonesia,
bercerai di usia pernikahan yang baru sehari, 2 hari hari atau semingggu
termasuk perbuatan yang “Tidak biasa” dan masih dipandang “aneh”. Pandangan masyarakat
yang seperti ini juga harus diperhatiakn dalam-dalam.
Bagaimana perasaan
si perempuan? Perasaan keluarganya? Lalu pandangan masyarakat sekitar? Terlebih
posisi si pelaku sebagai tokoh yang banyak jadi panutan?
Harusnya kita
juga tidak lupa, menerapkan syariah tidak seperti makan sosis harga seribuan,
yang tinggal dibuka bungkunya kemudian langsung “lepp”. Beberapa aspek harus
diperhatikan, tidak Cuma melaksanakan teks syara’ secara bulat-bulat.
Ulama-ulama
terdahulu telah mencontohkan itu semua, sejak 14 abad yang lalu. Kalau kita
telisik fatwa-fatwa beliau semua dalam kitab-kitab klasik, kita akan memdapati
bagaimana perhatian beliau akan budaya dan adat istiadat serta kebiasaan yang banyak dilakukan oleh
masyarakat setempat.
Kita mendapati
bagaimana Imam Malik menaruh besar perhatiannya terhadap kebiasaan penduduk
Madinah, sampai-sampai “’Amalu Ahli Madinah” (pekerjaan penduduk Madinah)
menjadi sumber hukum bagi mazhab Maliki.
Imam syafi’i,
dalam kitab mazhabnya ada qoul jadid (baru) dan qoul qodim (lama), karena
memang Imam syafi’i pernah hidup dalam 2 penduduk yang mempunyai kondisi dan
kebiasaan yang berbeda. Bukan Imam Syafi’i yang plan-plin, Na’udzu billah.
Ketika mendengar
berita Bupati Aceng ini, pikiran saya terbang mengingat ada seorang pemuda yang
masuk masjid dengan sendal masih menepel di kaki, padahal masjidnya terbuat
dari marmer beton yang sudah pasti bersih. Dia berdalih bahwa Nabi saw sholat
dengan memakai sendal, hadeeuuhh. Akhrinya jadilah ai santapan sendlanya
sendiri yang dipakai para jemaah untuk memukulinya.
Ada juga
cerita dari Juha, seorang Sufi. Yang menceritakan seorang pendakwah yang
tiba-tiba datang berceramah keIslaman didepan penduduk yang sedang kelaparan. Penduduk
yang lapar itu tidak butuh dakwah, tapi butuh makan. Beri dulu makanan barulah
dakwahnya bisa diterima.
Syariah itu
baik, bagaimanapun bentuknya, syariah itu tetap baik. Tapi syariah ini menjadi
tidak baik dan bisa menimbulkan fitnah jika dikerjakan di waktu dan tempat yang
tidak sesuai. Beberapa artikel sebelumnya sudah menerapkan ini.
Mudah-mudahn
dari cerita Buptai Aceng ini, bisa menjadi bahan pelajaran dan perenungan bagi
para penggiat dakwah. Bahwa Penerapan syariah yang amburadul bisa membuat
syariah menjadi bahan ejekan.
Ingat bagaimana
Nabi saw memerintahkan Mu’adz pergi ke yaman untuk berdakwah, beliau saw
berwasiat: “mudahkanlah, berilah kabar gembira, ajarilah, dan jangan kau
membuat mereka ketakutan dengan agama ini!” (HR Ibnu Hibban)
Wallahu A’lam
saya nggk liat si bupati "melaksanakan" syariat... klo istilahnya, si pak aceng ini sedang ber-hilah, berkilah dalam bahasa indonesianya hehe...
ReplyDeleteklo mau nikah siri, cerai semena2, dia pake syariat.. plek sesuai teks.
giliran yang lain.. anti syariat hehe
nice point of view yaa akhiyy, tapi usul aja, penjelasan ttg unusr 'urf yg juga bagian dari tbuh syariat bisa lebih dieksplor biar makin 'ngena' artikelnya
istilahnya mah, kita memang kudu paham dengan fiqh waqi'iyah...
ReplyDeleteYang paling penting adalah bagaimana kita mau mempelajari agama Islam ini secara utuh (tidak sepotong-potong), beserta semua pendapat imam-imam mazhab yang berbeda-beda. Jangan karena kita merasa pengikut satu pendapat, misalnya Imam Syafi'i, terus tidak mau lagi mengikuti pendapat imam-imam mazhab yang lain. Contoh sederhana, kita menganggap kalau tersentuh kulit dengan wanita bukan muhrim, maka wudhu kita batal dan harus wudhu lagi (saya yakin ini pendapat yang paling banyak dipegang oleh kaum muslimin yang awam tentang agama Islam di Indonesia). Apakah pendapat ini akan tetap dipegang disaat menunaikan ibadah haji (didalam Masjidil Haram), dimana saat itu kita pasti berulang kali bersentuhan kulit dengan wanita bukan muhrim ? Apakah kita akan bolak-balik pergi wudhu dan wudhu lagi ? TERLALU FANATIK dengan satu pendapat, apalagi itu hanya pendapat manusia biasa adalah kesalahan FATAL DAN TOTAL. Jazaakallahu khoirol jazaa'. Wallahu a'lamu bishshowaab
ReplyDelete