Tasyabbuh Yang Dibolehkan

Praktek tasyabbuh, yang merupakan menyerupai orang non-Islam dengan memakai pakaian khas mereka atau juga memakai simbol-simbol agama/theology mereka jelas keharamannya.

Tidak ada satu ulama pun yang memandangnya sebagai hal yang boleh-boleh saja. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut"

KAFIR ATAU TIDAK?

Perbedaannya pada status si pemakai symbol itu, apakah ia menjadi Kafir atau tidak? Ulama terbagi menjasi 2 pendapat:

Pertama: Kafir
Ini pendapat yang banyak dipegang oleh jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i. Alasannya sesuai dengan apa yang dimaksud oleh hadits nabi Muhammad saw sebelumnya tadi itu, bahwa siapa yang menyerupai suatu kaum makau dia bagisn dari kaum itu.

Dan symbol-simbol tersebut ialah symbol khas yang menjadi identitas agama tersebut. Jadi tidak akan seseorang memakai dan mengenakan symbol tersebut kecuali memang ia meyakini itu. dan keyakinan yang menyimpang itu yang membuatnya keluar dari Islam.
(Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah 12/6)

Kedua: Haram
Ini pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal beserta pengikutnya dari madzhab Hanbali. Jadi hukumnya sama seperti maksiat pada umumnya, yaitu haram dan berdosa tapi tidak sampai kafir.

Imam Al-Buhuti dari kalangan Hanabilah mengatakan bahwa: "memakai salib di dada atau memakai pakaian khas orang Ahli Dzimmah, itu tidak kafir. Tapi itu diharamkan sama seperti maksiat yang lainnya. Dan hadits yang dimaksud itu bukanlah untuk pengkafiran akan tetapi untuk peringatan saja agar tidak melakukannya.
(Kisyaf Al-Qina' 3/128)

ADA KEBOLEHAN TASYABBUH

Initinya memang tasyabbuh jelas diharamkan. Namun keharamannya itu tidak mutlak begitu saja, para ulama memberikan semacam syarat, ketentuan dan kalsifikasi, tasyabbuh yang memang haram dan tasyabbuh yang bagaimana yang dibolehkan.

1.      Tasyabbuh Dalam Komunitas atau Negara Islam

Tasyabbuh menjadi haram hukumnya bahkan sampai kepada sebuah kekafiran jika itu dilakukan dalam komunitas Islam. Artinya ia melakukan tasyabbuh dinegara Islam yang aman-aman saja sebenarnya.

Berbeda dengan mereka yang hidup minoritas di Negara atau komunitas non-muslim. Atau juga mereka yang sedang dalam peperangan. Mereka dihalalkan ber-tasyabbuh sebagai tipu muslihat dalam perang, dan itu dibolehkan.

Begitu juga mereka yang hidup di negara atau komunitas non-muslim, ia tidak mendapatkan pakaian yang cukup untuk memberikan identitasnya sebagai muslim. Pakaian yang tersedia hanyalah pakaian yang memang biasa dikenakan oleh mereka para non-muslim, bahkan menjadi identitas mereka.

Atau juga karena takut, yang akan mengakibatkan kemudhorotan. Misalnya ia hidup di komunitas non-muslim yang memang radikal. Kalau ada salah seorang dari komunitas itu tertangkap tidak berpakaian seperti mereka maka ia akan dibunuh.

Nah pada kondisi inilah seseorang menjadi boleh untuk ber-tasaybbuh.sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqthidho' Al-Shiroth Al-Mustaqim.  
(Iqthidho' Al-Shiroth Al-Mustaqim 1/177)

2.      Tasyabbuh Dengan Sesuatu Yang Masih Menjadi Identitas Non-Muslim

Salah satu keadaan dimana tasyabbuh itu memang benar diharamkan, yaitu ketika seorang muslim berpakaian atau memakai aksesoris yang memang itu merupakan symbol agama lain dan merupakan identitas khas mereka di "waktu itu".

Jadi ketika symbol itu menjadi identitas suatu agama tertentu itu, dan di suatu waktu kemudian identitas itu berubah, dalam arti sesuatu yang awalnya symbol itu tidak menjadi identitas lagi, maka hilangnya keharaman untuk memakainya.

Cerita Thoyalisah-Nya Orang Yahudi
Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu hajar Al-'Asqolani dalam  kitabnya Fathul-Baari tentang "Thoyaalisah". "Thoyalisah" adalah sejenis penutup kepala yang "sempat" menjadi identitas kaum Yahudi.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, bahwa sahabat Anas bin Malik pernah mendengar Nabi mengatakan: "Thoyalisah adalah penutup kepalanya orang Yahudi". Diriwayatkan pula bahwa Anas bin Malik mencela sahabat yang memakai Thoyalisah.

Karena Atsar inilah, para ulama termasuk Imam Ibnu Qoyyim mengharamkan memakai Thoyalisah karena itu termasuk Tasyabbuh  dengan orang Yahudi, dan itu sangat dilarang oleh syariah. (Zaad Al-Ma'aad 1/142)

Namun Imam Ibnu Hajar membantah keharaman ber-Tasyabbuh dengan orang non-Muslim dengan cerita Thoyalisah, beliau mengatakan:

وإنما يصلح الاستدلال بقصة اليهود في الوقت الذي تكون الطيالسة من شعارهم وقد ارتفع ذلك في هذه الأزمنة فصار داخلا في عموم المباح
"berhujjah dengan cerita Thoyalisah itu menjadi sah dan benar ketika thoyalisah itu masih sebagai symbol dan identitas orang Yahudi. Dan sekarang itu sudah tidak lagi menjadi identitas. Maka thoyalisah masuk kedalam hal-hal umum yang boleh memakainya"  
(Fathul-Baari 10/275)

3.      Tasyabbuh Pada Sesuatu yang Dicela

Para ulama mengkhususkan adanya tasyabbauh yang memang dibolehkan, salah satunya ialah pada bagian ini, yaitu tasyabbuh pada sesuatu yang bermanfaat dan memberikan maslahat untuk ummat.

Dan memang tidak sama sekali diniatkan untuk meniru "buta" kepada mereka, akan tetapi mengambil manfaat yang bisa diambil, dan membuang apa yang memang harus dibuang dan dinilai tercela oleh syariah.

Contohnya seperti dalam hal keilmuan. Diakui atau tidak, zaman sekarang Negara Eropa dan semisalnya telah jauh meninggal beberapa Negara muslim dalam hal kelimuan serta teknologi. Walaupun memang aselinya, keilmuan tersebut berawal dari komunitas Muslim beberapa abad yang lalu kemudian dikembangkan oleh mereka.

Karena kemajuan itulah, beberapa Negara muslim mengutus anak bangsa untuk "meniru" apa yang telah dilakukan oleh non-muslim itu dan mengambil ilmu untuk kemudian dibawa pulang ke negaranya kembali guna memberikan kemaslahatan unutk orang banyak.

Seperti mempelajari teknologi, astronomi, kedokteran bahkan, atau juga ilmu bahasa Asing, dan sejenisnya.

Imam Muhammad bin Ali Al-Hashkafi dari kalangan petinggi madzhab Hanafi yang juga pengarang kitab Al-Dur Al-Mukhtar  mengatakan:

إِنَّ التَّشَبُّهَ ( بِأَهْل الْكِتَابِ ) لاَ يُكْرَهُ فِي كُل شَيْءٍ ، بَل فِي الْمَذْمُومِ وَفِيمَا يُقْصَدُ بِهِ التَّشَبُّهُ
"tidak selamanya tasyabbuh (menyerupai orang non-muslim) itu negative dan dibenci. Kecuali tasyabbuh pada keburukan dan yang memang diniatkan untuk meniru gaya mereka."
(Al-Dur Al-Mukhtar 1/624)

Jadi memang apa yang datang dari barat (baca: non-muslim) tidak selamanya buruk, dan juga tidak selamanya baik. Hanya saja seorang muslim perlu filter untuk menyaring mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang bisa diambil manfaatnya mana yang tidak ada kemasalahatannya.

Tapi anehnya masih saja ada orang yang dilabeli sebagai "Ulama" tapi selalu saja memandang buta apa yang dihasilkan dari non-muslim dan menghukumi segalanya dengan haram tanpa tahu esensi dan hakikat sesuatu itu.

Padahal kalau ditinjau lebih jauh, aka nada manfaat yang bisa didapat dari barang / sesuatu tersebut jika disikapi dengan baik.

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya