Terbentur Perasaan (Syariah Vs Perasaan)

Orang-orang timur seperti Indonesia dan beberapa Negara Asia Tenggara lainnya memang terkenal sebagai penduduk yang jago perasaan. Yang selalu saja mengedepankan perasaan dalam segala hal yang ditemui. Mereka terkenal dengan penduduk yang pintar berperasaan dan merasakan serta memainkan perasaan.

Satu sisi menjadi kelebihan, karena dengan label "Jago Perasaan" itulah Indonesia dikenal sebagai Negara yang punya penduduk ramah. Tapi di lain isi, karekterisitik ini terkadang menjadi blunder, seperti menjadi senjata makan tuan yang sulit dihindari.

Dalam hal syariah contohnya. Perasaan tidak bisa dijadikan dasar argument dalam ber-syariah, karena syariah memang tidak didasarkan atas perasaan, hawa nafsu dan sejenis, melainkan Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

Dalam ber-syariah, kita dituntut untuk menanggalkan perasaan ketimuran kita bagaimanaun rasanya. Karena tetap saja, berpegang dengan perasaan sama saja mengingkari ketentuan syariah yang sudah jelas keharusan kita untuk mengikutinya.

Karena kalau selalu saja mengedepankan perasaan, ya syariah ini menjadi tidak bernilai. Karena semua diukur dengan perasaan, akhirnya syariah ini menjadi syariah "Alay" yang selalau saja tunduk dengan perasaan si pemeluknya.

Satu waktu syariah menjadi A karena dihukumi oleh perasaan si A, tapi di lain waktu syariah dengan hukum dan masalah yang sama menjadi B, karena didasarkan oleh perasaan si B. jadilah syariah ini aturan yang tidak ber-aturan. Semua menjadi fleksibel dan bisa diatur semaunya.

Padahal hakikatnya, perasaan-lah yang harusnya tunduk dibawah kendali syariah. Karena itu patut adanya pem-biasa-an dan adaptasi terhadap syariah. Dengan apa? Ya mempelajarinya dengan tetap mengimani bahwa setiap yang telah ditetapkan oleh syariah itu baik untuk pemeluknya.

Karena dilemma "perasaan" ini juga bukan hanya dirasakan oleh para kaum muslim yang memang tidak mengetahui dan tidak memahami syariah, lalu kemudian semuanya diukur dengan perasaan. Kalau dirasa baik ya dilakukan tapi kalau dirasa buruk ya ditinggalkan.

Tapi justru dilemma ini dialami sangat keras oleh kalangan Asatidz yang memang mengerti hukum syariah, dan berkewajiban menyampaikan kepada umat. Terkadang beliau-beliau terbentur "perasaan" ketika ditanya oleh jemaahnya tentang satu masalah.

Sholat dalam keadaan macet misalnya. Sang Jemaah bertanya dengan nada lirih sambil memasang muka iba, "Stadz, bagaimana ya. Saya kan harus mengejar bus jemputan/kantor yang keluarnya jem-jem macet itu. Tapi saya malah nyampe rumah setalah isya. Lalu bagaimana sholat maghrib saya? Tapi stadz, kalau harus sholat dulu, saya bakal ketinggalan bus dan harus menunggu makin lama, karena bus itu Cuma sekali jalan. Yaa saya harus keluarin duit lebih banyak, karena kan keandaraan umum menuju rumah saya mahal stadz. Bagaimana ya? Apa tidak ada keringanan untuk orang seperti saya?"

Hehe. Kalau terus menuruti perasaan, ya apapun bentuk pekerjaan menjadi sah den legal. Sang ustadz menjadi galau, antara mengatakan itu salah atau tetap mengikuti perasaan iba sang penanya? Mengatakan salah itu akan mengakibatkan kesan yang timbul menjadi sangat keras, dan tidak ber-pri-kemanusia-an melihat kondisi yang memang serba sulit.

Tapi kalau menuruti perasaan dan mencari-cari alasan untuk melegalkan perasaan, ya itu sama saja melegalkan kemaksiatan. Karena bagaimanapun sholat sama sekali tidak bisa ditinggalkan dengan kondisi se-sulit apapun.

"Loh dia dalam keadaan sulit, kan macet?"  apakah karena itu ia dibolehkan meninggalkan sholat SETIAP HARI, karena macet terjadi setiap hari. "tidak ada kah rukhshoh?" rukhshoh itu hanya berlaku ketika keadaan darurat, dan itu insidentil. Kalau rukhshoh terjadi setiap hari, bukan rukhshoh lagi namanya. Tetapi menjadi 'Azimah. Apakah kemaksiatan boleh manjadi 'Azimah.

Apakah "penduduk" bus jemputan kantor itu tidak bisa turun ketika waktu sholat maghrib datang dan sama-sama menunaikan perintah Allah swt. Sama-sama mensyiarkan syariah agama ini? Apa mereka lebih berani meninggalkan kewajiban hanya sekedar memenangkan perasaan yang sama sekali tidak akan pernah bisa menjadi dasar hukum. 

karena kalau terus memakai perasaan, kita tidak akan sampai pada inti masalah, karena perasaan seseorang pasti berbeda. dan masing-masing punya kadar iba yang tidak akan pernah sama. "Taat Syariah" itu inti masalahnya. :)

"bukan-kah kita diperintahkan untuk lunak, ramah dan tidak terlalu keras dalam berdakwah? Seperti yang Rasul saw contohkan?" . ya memang benar, harus berdakwah dengan ramah. Berdakwah tidak dengan menakut-nakuti. Berdakwah dengan senyum.

Tapi menjadi ramah bukan berarti menjadi permisif dengan kemaksiatan. Menjadi ramah tidak berarti melegalkan kemungkaran. Toh dulu juga Rasul saw berdakwah ramah, tapi sekali melihat kemungkaran, sama sekali Rasul saw tidak DIAM.

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya