"Perasaan" kok Jadi Hukum?

Masih Soal Perasaan. Fenomena menyedihkan yang terjadi belakangan atau mungkin sudah terjadi sejak beberapa waktu yang lalu dan sampai sekarang.

Yaitu ada beberapa orang yang memang di-ustadz-kan dan di-ulama-kan, artinya mesyarakat memandagnya sebagai Ustadz dan Ulama yang menjadi rujukan masalah syariah oleh para jemaaahnya.

Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya muncul di layar kaca sebagai seorang da'I dan memberikan ceramah-ceramah agama dengan gaya dan aksen yang khas.

Kita tidak meragukan ke-ilmuan belaiu-beliau dalam masalah syariah dan sejenis. Toh bagaimana bisa mereka tampil sebagai da'I dan di-ustadz-kan oleh banyak orang kecuali memang beliau memang layak untuk itu.

Atau kalaupun tidak mempunyai kafaah syar'iyyah yang cukup, setidaknya beliau tahu mana halal mana haram, mana sunnah mana bidah, mana iman mana syirik, dan kemudian beliau sampaikan kepada jemaah.

Masalah SERIUS terjadi ketika beliau-beliau itu ditanya tentang masalah syariah yang sama sekali ia tidak ketahui jawabannya.

(Karena walapun namanya Ustadz, bisa saja beliau tidak tahu atau lupa sehinggal blank ketika ditanya suatu masalah)

Karena MALU atau memang TAKUT tidak di-ustadz-kan lagi, akhirnya beliau mulai mencari-cari atau dengan kata yang lebih merakyat, beliau mengarang jawaban dengan "perasaan". Nah "perasaan" bermain disini.

Takut dibilang "kurang ilmu", atau malu dengan gelar "ustadz"-nya, beliau mengarang jawaban dengan: "saya rasa,,,,,," atau biasanya dengan kalimat, "saya kira,,,,,,,,,," dan sejenisnya.

Akhirnya syariah ini menjadi tidak punya pegangan, karena bisa diatur denga "saya kira" dan "saya rasa", yang seharusnya diatur dan dikendalikan olah dalil-dalil syariah dari Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Ini musibah "perasaan".

Didasari atau tidak, jawaban "perasaan" dan "perkiraan" ini justru telah merubah hukum yang memang sudah ada ketetapannya dalam syariah. Kenapa tidak dengan lapang dada sang ustadz mengatakan "maaf, saya tidak tahu jawaban masalah ini", itu lebih mudah dan lebih selamat.

Justru dengan terus mengatakan "saya rasa,," ,, "saya kira,,,", langsung atau tidak langsung, beliau telah menjatuhkan dirinya sendiri kedalam kubangan hina yang lebih dalam. Yang lebih parah lagi, beliau telah menghinakan syariah itu sendiri dengan karangan-karangan perasaannya. "Hukum kok make perasaan?" Na'udzu billah.

Dan sebaliknya, dengan mengatakan "tidak tahu" dengan perkara yang memang ia tidak mengetahui ilmunya, belaiu telah menghormat-kan dirinya dan telah meninggikan syariat yang ia pegang karena dengan begitu ia telah mensucikannya dari karangan-karangan hawa nafsu.

Tidak ingat-kah kita bagaimana bangganya Imam Malik menjawab 36 pertanyaan dari 40 pertanyaan yang disampaikan kepadanya dengan kata "tidak tahu". Tanpa malu.

Atau Imam Ibnu Hurmuz, gurunya Imam Malik yang dengan rendah hati meminta maaf kepada muridnya karena tidak berani menjawab karena alesan umur beliau yang sudah menua dan melemahkan otaknya.

Lebih pintarkan kita dari Imam Malik? Atau setara-kan ke-ilmuan kita dengan Imam Ibnu Hurmuz?

Wallahu A'lam

Comments

  1. Apakah ini disebabkan karena sekarang ini sudah terlalu banyak ustadz (yang benar2 ustadz, yang benar2 diakui keustadzannya, atau yang sekedar mencari pekerjaan sebagai ustadz karena tidak tahu lagi mau mencari pekerjaan apa selain sebagai ustadz yang dengan modal ilmu agama dari buiku2 khutbah dan ceramah sudah berani berkoar-koar kiri kanan salahkan sini salahkan situ) ? Sehingga terjadi persaingan diantara mereka, bagaimana kalau bisa setiap hari mengisi 4-5 majelis pengajian, Akhirnya menyebabkan mereka takut kalau dirasa "terlalu keras" isi pengajiannya atau selalu mengatakan "tidak tahu" nanti tidak dipakai lagi diberbagai pengajian. Bahkan pernah ada yang digelari ustadz "simatupang", siang malam tunggu panggilan untuk ceramah. Yang lebih parah lagi, pernah didepan saya seorang ustadz berbicara ditelepon dengan temannya yang bagian mengurus jadwal disebuah lembaga dakwah agar diaturkan supaya jadwal ceramah Ramadhannya dimasjid-masjid yang "shohih" amplopnya (yang tebal atau yang isinya kertasnya warna merah maksudnya).
    Komentar saya ini bukan bermaksud mendiskreditkan para asatidz yang memang merasa bahwa dakwah itu salah satu bentuknya adalah khutbah dan ceramah. Tapi saya khususkan bagi para "asatidz" yang selama ini sudah kehilangan arah, kehilangan INTEGRITAS, kehilangan ETOS, dan salah niat dalam berdakwah, agar mau merenungkan kembali tujuan utama dari dakwah itu sendiri, menjaga agar selalu memiliki integritas dan memegang teguh etos kerja.
    Bagi saya pribadi, dakwah adalah salah satu hal yang wajib hukumnya dilaksanakan oleh setiap muslim dan bukan semata-mata dengan cara khutbah dan ceramah. Membersihkan halaman rumah dan lingkungan, mengajak orang kerja bakti, mengajar orang2 miskin cara sholat dan berdoa yang benar, bersedekah kiepada pengemis dan kebetulan ditempat yang ramai bagi saya juga adalah salah satu bentuk dakwah.
    Para asatidz sudah begitu banyak, yang dianggap kiyai juga tidak sedikit. Tapi kenapa kondisi keagamaan ummat Islam bukannya bertambah baik tapi malah bertambah parah? Apakah ini disebabkan karena sudah pudarnya rasa keikhlasan dan hilangnya etos kerja dalam diri mereka ketika berdakwah ? Mudah-mudahan saya salah. Jazaakallaahu khoirol jazaa'. Wallahu a'lamu bishshowaab.

    ReplyDelete
  2. semua apa yang dikhawatirkan mas isnan, itu juga yang menjadi khawatir bagi saya pribadi atau mungkin semua mayoritas uamta Islam. dan saya yakin semua setuju akan itu.

    itu kendala zaman sekarang, bahkan asatidz pun tidak bisa bergerak ketika dihadapkan antara "perut" dan idealisme. Na'udzubillah billah,

    saya mau mgnutip kata2 yang terakhi:
    "Para asatidz sudah begitu banyak, yang dianggap kiyai juga tidak sedikit. Tapi kenapa kondisi keagamaan ummat Islam bukannya bertambah baik tapi malah bertambah parah? Apakah ini disebabkan karena sudah pudarnya rasa keikhlasan dan hilangnya etos kerja dalam diri mereka ketika berdakwah ? Mudah-mudahan saya salah."

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Anak Tidak Berhijab, Ayah Masuk Neraka! Hadits Palsu