Cinta Yang Karena "Karena"

Kalau ada orang yang mencintai kekasihnya masih karena "karena"; karena dia ini, karena dia itu, karena cantik, karena tampan, dan karena yang lainnya. Itu bukan cinta namanya, tapi hanya sekedar kagum.

Kalaupun dia mengatakan itu cinta, ya pasti cintanya tak bertahan lama dan kemungkinan besar pasti berkahir. Karena cinta bergantung pada "karena" itu tadi. Ketika "karena"-nya itu hilang maka hilang juga cintanya.

Cinta "karena" tampan, cantik, berwibaya, berharta, berpagkat. Ketika semua yang di-"karena"-kan itu hilang, maka inti cinta pun entah kemana. Karena sudah tidak ada tempat lagi bagi cinta untuk bergantung ketika yang digantungkannya itu sudah tak ada. "Karena" tak ada, cinta pun tak ada.

Sama dengan model cinta "karena" tersebut itu juga teks-teks syariah. Beberapa nash-nash syariah baik dari Al-Quran dan Hadits Nabi saw ada yang mempunyai "karena" untuk hukum yang dihasilkan.

Jadi hukum yang ada dalam nash tersebut bergantung pada "karena"-nya. Dalam bahasa ulama fiqih, "karena" itu disebut dengan istilah "Illat" atau sebab hukum.
Cinta = Hukum, "karena" = Illat (sebab)

Artinya bahwa hukum tersebut keberadaannya bergantung atas "illat" (sebab) tersebut. Kalau "illat" (sebab)-nya tidak ada maka hilang juga hukumnya, sama seperti cinta yang hilang ketika "karena"-nya lenyap.  

Ini yang mendasari kaidah ushul fiqih:
الحكم يدور مع العلة المأثورة وجودا وعدما
 "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'Illati Wujudan wa 'Adaman" keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "illat" (sebab)-nya. Ada "illat" ada hukum, tak ada "illat" tak ada hukum.

"Illat" (sebab) dalam teks syariah ada 2 macam; ada yang [1] Manshushoh (tertulis), dan ada yang [2] Mustanbanthoh (Teristimbat/Ter/Disimpulkan).  

Illat Manshushoh ialah Illat (sebab) yang memang tersebut bersama hukumny dalam satu susunan redaksi teks syariah itu sendiri. Contohnya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
"Allah swt tidak melihat kepada siapa yang menjulurkan pakaian-nya dengan sombong" (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini jelas menerangkan tentang kemurkaan Allah terhadap mereka yang memakain pakaian dengan menjulurkan atau memanjangkannya dengan nada sombong dan sejenisnya. Atau biasa yang dikenal degan istilah "Isbal". Dan hadits semacam ini banyak redaksinya bukan hanya ini saja.

Karena ini kemurkaan, maka hal ini (menjulurkan panjang kain) itu menjadi haram hukumnya. Akan tetapi Ulama menyimpulakn bahwa "ancaman" kemurkaan Allah itu hanya kepada mereka yang melukannay karena "sombong".

Ulama berpendapat bahwa keharamannya itu bergantung kepada illat-nya yaitu "khuyala'" (sombong). Jadi ketika Illat-nya itu hilang maka hilang juga keharamannya.
(Syarhu An-Nawawi Lil-Muslim 14/62)

Sedangkan Illat Mustanbathoh itu ialah Illat yang tidak tersebut dalam nash syariah namun, keberadaannya bisa disimpulkan dari redaksi nash syariah itu. Karena nash syariah-nya sangat menjurus ke arah itu.

Dan mereka yang menyimpulkan pun bukan sembarang orang, akan tetapi para Ulama yang memang mujtahid dan sudah ekspert dalam masalah syariah.

Contohnya: hadit nabi saw:
لَا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
"Tidaklah seorang Hakim Memberikan putusan hukum ketika ia sedang dalam keadaan marah" (HR Ibnu Majah)

Dalam hadits terdapat larangan bagi seorang hakim untuk memberikan putusan hakim ketika ia sedang marah. Artinya seorang hakim harus netral baik fisik atau pun psikis dalam memberikan putusan.

Ulama dalah hal ini berpendapat bahwa larangan tersebut bukan karena semata-mata "Marah". Illat larangannya bukan karena marah saja, akan tetapi illat larangannya tersebut ialah karena marah itu bisa menggangu konsentrasi seorang hakim dalam menentukan putusan, dan bukan hanya marah.

Jadi segala sesutau yang Bisa menganggu pikiran Hakim ketika menentukan putusan itu yang mejadi Illat larangannya. Bisa jadi karena lapar, mengantuk dan sebagainya.

Dengan kesimpulan tersebut, maka dilarang bagi hakim untuk menentukan putusan ketika ia sedang dalam keadaan lapar, atau sedang mengantuk karena itu bisa menganggu pikirannya.

Jadi "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'Illati Wujudan wa 'Adaman" keberadaan hukum itu berkutat pada keberadaan "illat" (sebab)-nya. Ada "illat" ada hukum, tak ada "illat" tak ada hukum.

Dan.... Jangan pernah Cinta seseorag karena "karena", karena bisa jadi "karena itu hilang. :)

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya