Ulama Juga Harus Mengerti Sains
Ulama itu kerjanya persis sama dengan doktor, membrikan nasihat bagi mereka yang mengadu kepada mereka berdua. Yang berbeda hanya barang "dagangan" nya saja.
kalau dokter memang bukan ia yang manyembuhkan penyakit, tetapi nasihat dan masukannya benar-benar bermanfaat untuk mengatasi penyakit badan, karena memang semua yang diberikan berdadarkan ilmu dan
eksperimen yang tepat.
Pun demikian, sang Ulama memang bukan pemegang tiket ke surga, akan tetapi beliau-beliau inilah yang ahli dalam menjawab aduan-aduan syariah dari masyarakat, dan nasihat serta wejangannya sangat bermanfaat guna menjadi pegangan.
Karena tugasnya sama, maka proses yang diambil juga sama, tidak jauh berbeda. Ketika seorag dokter didatangi pasien yang mengadu soal salah satu anggota tubuhnya yang sakit. Si dokter tidak ujug-ujug langsung memberikan obat. Tetapi dia periksa dulu, apa penyebab sakitnya, dia diagnosis dulu, dia rongten dulu mungkin, atau dia ukur suhu badannya.
Setelah semua jalan periksa ditempuh, barulah si dokter tahu apa penyebab sakitnya ini. Karena tahu sebabnya maka si dokter pun mengerti, obat apa yang mesti dikonsumsi guna mengatasi penyakitnya
tersebut.
Kalau ada yang didatangi pasien, kemudian tanpa proses pemeriksaan dia langsung memberi obat dan wejangan, itu bukan dokter namanya, tapi DUKUN!
Nah Ulama yang baik pun akan melakukan hal sama seperti dokter ketika didatangkan suatu masalah atau aduan. Tidak ujug-ujug langsung memberi fatwa ini halal dan fatwa itu haram. Tapi sebagai ulama yang mengerti hukum syariah, ia akan periksa dulu beberapa sisi yang terkait dengan masalah. Apa latar belakangnya, bagaimana kondisi dan situasinya.
Masalah yang terjadi dewasa ini tentu bukanlah masalah yang terjadi dulu di zaman para Ulama masa keemasan yang banyak mereka tulis dikitab-kitab mereka. Jadi mau tidak mau, Ulama dewasa sekarang ini
harus mengerti juga masalah yang berkembang belakangan. Tidak hanya terpaku pada kitab-kitab klasik yang masalahnya cuma itu-itu saja. Tapi bukan berarti itu ditinggalkan, justru itu yang menjadi sandaran atas masalah-masalah yang terjadi dewasa ini.
Masalah jual beli saham, investasi, asuransi dan sejenis tidak pernah disebutkan oleh Ulama-ulama terdahulu. Ulama saat ini tidak bisa asal memfatwakan haram hanya karena praktek ekonomi itu tidak dikenal sebelumnya. Saat itulah si Ulama harus menggadeng para ekonom dan harus belajar dari mereka, apa hakikat sebenarnya praktek transaksi itu semua.
Setelah tau hakikatnya, barulah beliau cocok-kan dengan dalil-dalil syar'I untuk kemudian memberika fatwa tentang hukum tersebut. Lah bagaimana bisa beliau memfatwakan sesuatu yang hakikatnya saja beliau tidak tahu?
Begitupun, Ulama akan kesulitan menentuka hukum apa yang harus diterapkan untuk seorang khuntsa musykil, laki-laki kah dia atau perempuan kah? Dan bagaimana hukum orang yang seperti ini, apakah benar menyalahi kodrat yang telah ditetapkan Allah swt. Lalu siapakah orang yang benar-benar disebut khuntsa, apakah hanya karena sikapnya yang aneh atau bagaimana?
Tentu sang Ulama harus tahu dan merujuk kepada seorang dokter ahli tentang masalah ini. Kenapa ada manusia yang terlahir dengan 2 jenis kelamin? Kenapa pula ada begini dan begitu? Apa yang menyebabkan banyak laki-laki tapi bergaya seperti perempuan? Apakah harus melakukan operasi kelamin dan sebagainya?
Ulama harus tahu itu sebelum akhirnya memutusakan dan memberikan fatwa ini laki dan ini perempuan, maka wajib ini itu dan haram itu ini. Sama halnya seperti penentuan awal masuk bulan ramadhan atau syawal.
Seorang Ulama tidak bisa hanya berdiam di kamar dengan buku-buku falaknya dan menghitung tanggal. Mau tidak mau beliau harus memohon ilmu astronomi kepada ahlinya tentang perpuataran bulan dan bumi, karena itu yang mendasari pergantian bulan.
Kita tentu masih ingat kan, ada salah seorang Ulama yang memfatwakan tentang perputaran bumi, apakah bumi yang mengitari matahari, atau matahari yang mengitari bumi? Para ahli sains dengan segudang penelitian dan kajian serta gambar real dari luar angkasa mengatakan bahwa bumi lah yang mengitari bumi. Tapi justru sang Ulama Saudi itu berfatwa sebaliknya. Hmm..
Intinya memang Ulama juga harus melek sains! Tidak melulu berkutat pada urusan masjid, dan tempat tahlil. Karena syariah ini ialah kehidupan, karena kehidupan, orang yang mendalami syariah harus mengerti ilmu-ilmu kehidupan. Tak terkecuali! Tidak bisa asal berfatwa, apalagi hanya mengandalkan kata-kata "ini tidak ada di zaman Nabi" ...
Wallahu A'lam
kalau dokter memang bukan ia yang manyembuhkan penyakit, tetapi nasihat dan masukannya benar-benar bermanfaat untuk mengatasi penyakit badan, karena memang semua yang diberikan berdadarkan ilmu dan
eksperimen yang tepat.
Pun demikian, sang Ulama memang bukan pemegang tiket ke surga, akan tetapi beliau-beliau inilah yang ahli dalam menjawab aduan-aduan syariah dari masyarakat, dan nasihat serta wejangannya sangat bermanfaat guna menjadi pegangan.
Karena tugasnya sama, maka proses yang diambil juga sama, tidak jauh berbeda. Ketika seorag dokter didatangi pasien yang mengadu soal salah satu anggota tubuhnya yang sakit. Si dokter tidak ujug-ujug langsung memberikan obat. Tetapi dia periksa dulu, apa penyebab sakitnya, dia diagnosis dulu, dia rongten dulu mungkin, atau dia ukur suhu badannya.
Setelah semua jalan periksa ditempuh, barulah si dokter tahu apa penyebab sakitnya ini. Karena tahu sebabnya maka si dokter pun mengerti, obat apa yang mesti dikonsumsi guna mengatasi penyakitnya
tersebut.
Kalau ada yang didatangi pasien, kemudian tanpa proses pemeriksaan dia langsung memberi obat dan wejangan, itu bukan dokter namanya, tapi DUKUN!
Nah Ulama yang baik pun akan melakukan hal sama seperti dokter ketika didatangkan suatu masalah atau aduan. Tidak ujug-ujug langsung memberi fatwa ini halal dan fatwa itu haram. Tapi sebagai ulama yang mengerti hukum syariah, ia akan periksa dulu beberapa sisi yang terkait dengan masalah. Apa latar belakangnya, bagaimana kondisi dan situasinya.
Masalah yang terjadi dewasa ini tentu bukanlah masalah yang terjadi dulu di zaman para Ulama masa keemasan yang banyak mereka tulis dikitab-kitab mereka. Jadi mau tidak mau, Ulama dewasa sekarang ini
harus mengerti juga masalah yang berkembang belakangan. Tidak hanya terpaku pada kitab-kitab klasik yang masalahnya cuma itu-itu saja. Tapi bukan berarti itu ditinggalkan, justru itu yang menjadi sandaran atas masalah-masalah yang terjadi dewasa ini.
Masalah jual beli saham, investasi, asuransi dan sejenis tidak pernah disebutkan oleh Ulama-ulama terdahulu. Ulama saat ini tidak bisa asal memfatwakan haram hanya karena praktek ekonomi itu tidak dikenal sebelumnya. Saat itulah si Ulama harus menggadeng para ekonom dan harus belajar dari mereka, apa hakikat sebenarnya praktek transaksi itu semua.
Setelah tau hakikatnya, barulah beliau cocok-kan dengan dalil-dalil syar'I untuk kemudian memberika fatwa tentang hukum tersebut. Lah bagaimana bisa beliau memfatwakan sesuatu yang hakikatnya saja beliau tidak tahu?
Begitupun, Ulama akan kesulitan menentuka hukum apa yang harus diterapkan untuk seorang khuntsa musykil, laki-laki kah dia atau perempuan kah? Dan bagaimana hukum orang yang seperti ini, apakah benar menyalahi kodrat yang telah ditetapkan Allah swt. Lalu siapakah orang yang benar-benar disebut khuntsa, apakah hanya karena sikapnya yang aneh atau bagaimana?
Tentu sang Ulama harus tahu dan merujuk kepada seorang dokter ahli tentang masalah ini. Kenapa ada manusia yang terlahir dengan 2 jenis kelamin? Kenapa pula ada begini dan begitu? Apa yang menyebabkan banyak laki-laki tapi bergaya seperti perempuan? Apakah harus melakukan operasi kelamin dan sebagainya?
Ulama harus tahu itu sebelum akhirnya memutusakan dan memberikan fatwa ini laki dan ini perempuan, maka wajib ini itu dan haram itu ini. Sama halnya seperti penentuan awal masuk bulan ramadhan atau syawal.
Seorang Ulama tidak bisa hanya berdiam di kamar dengan buku-buku falaknya dan menghitung tanggal. Mau tidak mau beliau harus memohon ilmu astronomi kepada ahlinya tentang perpuataran bulan dan bumi, karena itu yang mendasari pergantian bulan.
Kita tentu masih ingat kan, ada salah seorang Ulama yang memfatwakan tentang perputaran bumi, apakah bumi yang mengitari matahari, atau matahari yang mengitari bumi? Para ahli sains dengan segudang penelitian dan kajian serta gambar real dari luar angkasa mengatakan bahwa bumi lah yang mengitari bumi. Tapi justru sang Ulama Saudi itu berfatwa sebaliknya. Hmm..
Intinya memang Ulama juga harus melek sains! Tidak melulu berkutat pada urusan masjid, dan tempat tahlil. Karena syariah ini ialah kehidupan, karena kehidupan, orang yang mendalami syariah harus mengerti ilmu-ilmu kehidupan. Tak terkecuali! Tidak bisa asal berfatwa, apalagi hanya mengandalkan kata-kata "ini tidak ada di zaman Nabi" ...
Wallahu A'lam
Comments
Post a Comment