Belajar Dari Guru-nya Guru (Ibnu Hurmuz)
Sebelum ya
kita telah mendengar cerita tentang ke-tawadhuan Imam Malik yang dengan “pede”
mengatakan “Laa Adriy” (saya tidak tahu) atas pertanyaan yang diajukan kepada
beliau dan memang beliau tidak mengetahui jawabannya. Tanpa malu dan tanpa
takut dikatakan tidak berilmu, sang Imam dengan santai mengatakan, pernyataan
yang masyhurnya tersebut.
Dan kali ini
kita akan dikejutkan pula dengan sikap yang sangat mirip tapi lebih wah yang
dilakukan oleh guru dari sang guru, Imam Malik, yaitu Ibnu Hurmuz (Wafat 117H).
Al-hafidz
Ibnu Abdil-Bar dalam kitabnya yang masyhur “Jami Bayan Al-Ilmi Wa Fadhlih”,
menyebutkan sebuah riwayat yang meceritakan Imam Malik berteman dengan Abdul
Aziz bin Abi Salamah yang selalu “mondar-mandir” ke rumah Imam Ibnu hurmuz
untuk menuntut ilmu dari beliau.
Selain kedua
muridnya ini, ada tokoh lain yaitu Muhammad bin Ibrohim bin Dinar beserta
kawan-kawannya yang juga selalu datang menemui Imam Ibnu Hurmuz untuk meminta
ilmu. Namun setiap kali Muhammad dan segerobolan temannya ini datang ke Imam
Ibnu Hurmuz, beliau selalu menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama
yang diajukan dari mereka.
Sampai
akhirnya, Muhammad bin Ibrohim sudah kehilangan kesabaran dan mendatangi Imam
Ibnu Hurmuz dengan muka kesal sambil berkata: “saya sangat tidak senang dengan
perlakuan guru kepada kami. Kenapa guru tidak pernah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kami, sedangkan jika Malik bin Anas dan Abdul Aziz yang
datang, guru selalu saja menjawab semua pertanyaan mereka. Ini tidak adil!”
Imam ibnu
hurmuz dengan santai menjawab, “apakah ini yang membuat kesal hatimu?”
“ya”
Kemudian
Imam meneruskan jawabannya tersebut dengan jawabannya yang dahsyat menurut
saya. Beliau berkata:
“wahai
Muhammad! Aku ini orang tua yang sudah berumur, ke-tua-an ku sudah menggrogoti
tubuhku. Aku takut ke-tua-an ku ini juga mengrogoti otakku sebagaimana ia telah
menggroroti tubuhku. Sehingga aku sangat mungkin lupa dan salah
Malik dan
Abdul Aziz adalah 2 orang pintar di kota ini, kalau aku katakana sesuatu yang
benar mereka berdua akan menerimanya. Kalau aku katakana sesuatu yang salah,
pastilah mereka menolak dan tidak mengamalkan itu.
Nah kamu
beserta rombonganmu itu adalah orang yang tidak berilmu. Aku taku (karena umur
tua ku) aku katakana sesuatu yang salah, kamu terima itu begitu saja dan
kemudian kau sebarkan. Itu akan menambah dosa bagi ku.”
(Jami’
Bayan-Ilmi Wa Fadhlih 2/234)
Begini harusnya
sikap seseorang yang dikatakan sebagai Ulama, selalu hati-hati dengan kata-kata
dan kalimat yang ia keluarkan dari mulutnya sekecil apapun itu. Karena bagaimanapun,
berbicara syariah bukan berbicara teori manusia, tapi sumbernya ialah AL-quran
dan Sunnah Nabi saw. Yang kalau tidak hati-hati ya bisa-bisa malah ngasal bikin
syariat sendiri.
Zaman sekarang
justru yang terjadi malah berbeda jauh dengan apa yang dilakukan sang guru Ibnu
Hurmuz. Seorang Menyandang gelar Ulama tapi berkata seenaknya, malah justru “mengumbar”
fatwa hanya ingin dibilang sebagai ornag yang cerdas, orang yang paling
mengerti tentang syariah.
Malu kalau
harus menjawab tidak tahu, takut gelar ke-ustadz-annya dicopot atau tercederai
dengan ketidak tahuannya itu. Padahal yaaa begitu itu ajaran agama, katakana tahu
untuk yang diketahui, dan jangan berani-berani masuk laut tanpa bisa berenang. Sok
sok ngomong ini itu padahal Cuma kira-kira saja tanpa tahu hakikat perkara.
Bukan ulama
yang selalu ingin kata-katanya dijadikan sabda dan pegangan hidup, bukan ulama
yang yang selalu ingin perkataan ditinggikan dan dimuliakan lebih dari
Al-quran!
Wallahu A’lam
Ini lebih diperparah lagi dengan ustadz "sableng" yang sering menjawab pertanyaan2 dengan cerita2 Israiliyyat yang tidak jelas asal muasalnya, dan bahkan disiarkan di televisi. Contohnya, ustadz "sableng" tersebut berkata bahwa orang yang sudah meninggal itu ruhnya tiap hari duduk2 diatas kuburnya menunggu kiriman do'a dari keluarganya. Yang dapat kiriman do'a akan bergembira dan yang tidak, akan sangat sedih. Demikian katanya berlangsung selama satu tahun dan setelah itu ruhnya akan terbang ke langit. Saya curiga orang ini dulu bukannya belajar sama ulama tapi sama jin ifrit. Kalau memang begitu kenyataannya, berarti adanya malaikat Munkar dan Nakir hanyalah bualan dan cerita kosong belaka. Begitulah nasibnya kalau tujuan dakwah bukan lagi agar umat menjadi lebih baik, tapi lebih cenderung ke arah komersialisasi dakwah dan agama. Jazaakallahu khoirol jazaa'. Wallahu a'lamu bishshowaab.
ReplyDelete