Mut'ah Talak (bag. 1)
Istilah mut’ah dalam masalah perkawinan ternyata tidak Cuma mempunyai
satu makna. Yang masyhur itu bermakna nikah mut’ah, yaitu menikah dengan
batasan waktu, atau sebutan yang lebih akrab dengan telinga kita ialah “kawin
kontrak”. Dan Ulama sejagad raya ini mengharamkan nikah dengan model semacam
ini kecuali para ulama syiah.
Tetapi istilah mut’ah sebenarnya juga ada dengan arti yang berbeda,
dan itu masih dalam masalah pernikahan juga tapi dalam bab yang berbeda. Kalau
nikah mut’ah itu jelas keharamannya, sedangkan mut’ah yang satu ini justru
sebaliknya, yaitu wajib hukumnya.
Mut’ah yang dimaksud ialah Mut’ah Talak, dinamakan mut’ah talak,
karena ia ada ketika ada talak, kalau tidak ada talak yaaa tidak ada mut’ah. Yang
dimaksud dengan mut’ah talak ialah sejumlah harta yang diberikan oleh si bekas
suami kepada bekas istri sebagai bekal sepeninggal si suami. Kalau secara bahasa,
mut’ah itu sendiri artinya “kesenangan”, yaa memang mut’ah itu sendiri
dibayarkan oleh bekas suami sebagai “penggembira” atau “penghibur” bagi si
bekas istri yang ditinggal suami karena perceraian.
Tidak ada bahasa atau istilah khusus yang dipakai oleh kebanyakan
masyarakat perihal mut’ah ini. Sebagian kampung dangan kampung lainnya berbeda
dalam menamakan mut’ah itu sendiri, tetapi yang pasti ialah uang itu dibayarkan
setelah terjadi perceraian. Dan dalam pandangan masayarakat yang saya ketahui,
seorang suami jika meninggalkan istrinya, cerai maksdunya, itu dinilai sebuah “aib”
kalau dia tidak meninggalkan uang mut’ah untuk bekas istrinya.
Jadi nantinya kalau seorang istri yang sudah diceraikan meminta
sejumlah harta sebagai mut’ah, itu tidak bisa dikatakan sebagai wanita matre! Yaaa
memang begitu aturan syar’i-nya. Senang atau tidak senang harus dituruti.
HUKUM MUT’AH TALAK
Nah kalau berbicara hukum, yaa seperti kebiasaan para Ahli fiqih (fuqoha’) dalam masalah-masalah fiqih yang lain, mereka berbeda pendapat tentang hukum mut’ah itu sendiri. Ada yang mewajibkan, ada juga yang mansunnahkan saja.
Dasar perintah Mut’ah itu sendiri ialah firman Allah swt dalam surat
Al-Baqoroh ayat 236:
لَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“dan tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan istri-istri
kalian yang belum kalian sentuh (gauli), atau belum kalian tentukan maharnya. Dan
hendaklah kalian memberikan mut’ah, bagi yang mempu sesuai kemampuannya, dan
bagi yang tidak mampu sesuai kesanggupannya; yaitu pemberian yang baik. Dan itu
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat baik (muhsin)”
Dan bukan hanya ayat tersebut, setidaknya ada 3 ayat yang menerangkan
tentang hukum mut’ah itu sendiri; pertama yaitu ayat 236 Al-Baqoroh (diatas),
kedua: ayat 241 Al-baqoroh dan ketiga yaitu ayat 49 Al-Ahzab.
Ulama terbagi dalam 2 kubu besar dalam masalah hukum mut’ah talak ini;
Pertama: Sunnah
Artinya bahwa hukum mut’ah ini sebenarnya tidak wajib dan boleh ditinggalkan. Mampu atau tidak mampu si bekas/mantan suami itu, ia boleh tidak memberikan mut’ah kepada bekas istrinya. Pendapat ini ialah pendapat Mazhab Imam Malik.
Mazhab ini berpendapat atas kesunnahan mut’ah itu berdasarkan ayat
yang telah disebutkan diatas tadi. Perintahnya memang jelas, yaitu perintah
untuk mut’ah, tetapi diakhir ayat Allah swt menerangkan kalau itu ialah “kewajiban
bagi mereka yang berbuat baik”, “Haqqon ‘Ala Al-Muhsinin”. Kata Al-Muhsinin
dalam bahasa Arab berarti “ia yang berbuat baik” atau ia yang melakukan
tambahan kebaikan.
Mazhab ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqihnya beranggapan
dengan ujung ayat tersebut, bahwa mut’ah itu hanya bagi mereka yang ingin
berbuat baik saja. Artinya kewajibannya tidak mencakup semua muslim, hanya bagi
yang ingin menambah kebaikannya (pahala). (Bidayatul Mujtahid 438)
Kedua: Wajib
Ini pendapat yang dianut oleh kebanyakan Mazhab fiqih; Hanafi, Sayafi’I dan hambali. Namun kewajibannya tidak mutlak. Ya ini wajib bagi beberapa orang yang termasuk dalam kategori yang sudah ditentukan. Artinya kalau ada lelaki yang menceraikan istrinya tetapi dia bukan termasuk dalam kategori orang yang wajib bayar mut’ah (menurut masing-masing mazhab) maka tidak ada kewajiban baginya.
Nah kriteria seseorang yang wajib bayar mut’ah menurut 3 mazhab fiqih
diatas juga berbeda-beda.
1.
Mazhab Hanafi
Manurut pendapat mazhab ini, yang wajib bayar mut’ah ialah hanya bagi
lelaki yang menceraikan istrinya dan mereka belum bersentuhan (berhubungan)
layaknya suami istri. Dan si bekas suami itu juga belum menentukan jumlah
maharnya selama pernikahannya itu.
Dalilnya ialah ayat 236 surat Al-baqoroh yang telah disebutkan tadi
sebagai dasar hukum mut’ah. Bahwasanya Al-Quran telah menjelaskan kondisi
masing-masing lelaki ketika ia menceraikan istri-istri mereka, laki-laki yang
menceraikan istrinya dan ia telah menggaulinya, dia harus membayar maharnya
secara full.
Yang menceraikan dan sudah menggauli namun belum menentukan maharnya,
maka ia wajib bayar maharnya itu sebesar mahar Mitsli (mahar yang sepadan). Yang
menceraikan namun belum pernah menggauli akan tetapi ia sudah menentukan
maharnya, maka ia wajib bayar setengah dari yang telah ditentukan itu.
Tinggallah si laki yang menceraikan istrinya itu sedang ia belum
menggaulinya dan belum juga menentukan maharnya. Maka hukumnya ialah ia wajib
membayar mut’ah.
“dan tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan istri-istri
kalian yang belum kalian sentuh (gauli), atau belum kalian tentukan maharnya. Dan
hendaklah kalian memberikan mut’ah, bagi yang mempu sesuai kemampuannya, dan
bagi yang tidak mampu sesuai kesanggupannya; yaitu pemberian yang baik. Dan itu
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat baik (muhsin)” (Al-Baqoroh 236)
(Al-Bahru Al-Ro’iq 3/157)
2.
Mazhab Syafi’I
Sebenarnya mazhab syafi’I mempunyai dua riwayat pendapat dalam hal
ini, pendapat pertama ialah sama seperti apa yang dikatakan oleh mazhab hanafi.
Sedang pendapat kedua inilah yang pendapat yang masyhur dan yang banyak
dipegang oleh Ulama mazhab ini.
Yaitu Mut’ah ini wajib bagi semua laki-laki yang menceraikan istrinya
dan perceraian itu berasal darinya laki-laki (bukan khulu’), kecuali ia yang
menceraikan istrinya sedang ia belum menggaulinya namun ia sudah menentukan
maharnya. Artinya siapapun laki-laki yang menceraikan istrinya selama ia bukan
dalam keadaan yang disebutkan tadi, maka ia wajib membayar mut’ah. Dan pendapat
ini, menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, ialah pendapat yang
banyak dipegang jumhur.
Dalil wajibnya ialah perintah yang telah tertera dalam ayat perintah mut’ah
itu sendiri. Ayat itu menunjukkan bahwa mut’ah itu wajib secara umum. dan
segala perintah dalam nash-nash syariah itu berarti suatu kewajiban, maka
jadilah mut’ah ini sebagai kewajiban.
Sedangkan kalimat “kewajiban bagi mereka yang berbuat baik”, “Haqqon
‘Ala Al-Muhsinin” [حقا على المحسنين], pada ayat tersbut yang menurut mazhab Maliki ini
adalah kalimat yang merubah hukum wajib menjadi sunnah, tidaklah demikian.
Justru kata “Haqqon” [حقا] itulah yang menjadikan mut’ah ini wajib,
dan kata “muhsinin” sebenarnya sama sekali bukanlah merubah kewajiban
menjadi sebuah kesunnahan, akan tetapi itu artinya memang orang yang melakukan
suatu kewajiban, ialah orang yang berbuat baik. (I’anah Al-Tholibin 3/356)
Kemudian kenapa ini tidak wajib bagi ia yang menceraikan istrinya
sedang ia belum menggaulinya akan tetapi sudah menentukan maharnya? Kita lihat
kembali ayat yang menjadi dasar hukum mut’ah tersebut! Disitu disebutkan: “jika
kalian menceraikan istri-istri kalian yang belum kalian sentuh (gauli), atau
belum kalian tentukan maharnya”. Kalau ia belum menggauli, dan belum
menentukan maharnya maka baginya mut’ah.
Sedang kalau yang sama-sama belum menggauli istrinya namun sudah
menentukan maharnya, hukumnya berbeda. Ia harus membayar maharnya setengah dari
yang telah ditentukan, dan mut’ah tidak lagi wajib baginya. Ini berdasarkan
firman Allah swt:
وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“dan jika kalian menceraikan istri-istri kalian sedang kalian belum
menggauli mereka, dan kalian telah menentukan mahar untuk mereka, maka atas
kalian setengah dari mahar yang telah ditentukan tersebut,..” (Al-Baqoroh
237)
(Al-Majmu’ 16/387)
3.
Mazhab Hambali
Agak berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, mazhab hambali justru
mengatakan bahwa dasar hukum mut’ah itu sunnah, sama seperti apa yang dikatakan
oleh mazhab Imam maliki dan dalilnya pun sama.
Sedangkan mut’ah ini menjadi wajib hanya bagi mereka yang menceraikan
istri-istri mereka tetapi mereka belum menentukan mahar untuk istri-istri
mereka tersebut. Karena menurut mazhab Hambali, perempuan yang diceraikan itu
terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama: kelompok perempuan yang maharnya sudah
ditentukan, dan yang kedua ialah kelompok perempuan yang maharnya belum
ditentukan.
Bagi yang sudah ditentukan, maka bagi mereka mahar-mahar yang sudah
ditentukan itu. Sedang bagi yang belum ditentukan, maka itulah jatah mut’ah
bagi mereka. (Kisyaful-Qina’ 5/158)
lanjut ke bag. 2 tentang Besaran Mut'ah dan Hukum Mut'ah Talak di Indonesia [KLIK DI SINI]
Comments
Post a Comment