Mut'ah Talak (Bag. 2)
BESARAN MUT’AH
Dalam nash-nash syariah, tidak pernah disebutkan berapa besaran atau kisaran yang harus dibayarkan oleh seorang mantan sami kepapa mantan istrinya sebagai mut’ah. Semua tergantung atas kemampuan si suami.
وَمَتِّعُوهُنَّ
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
“Dan hendaklah kalian memberikan mut’ah, bagi yang mempu sesuai
kemampuannya, dan bagi yang tidak mampu sesuai kesanggupannya; yaitu pemberian
yang baik.” (Al-Baqoroh 236)
Artinya semua bergantung atas kemampuan dan kesanggupan si mantan
suami itu sendiri. Namun yang dipermasalahkan ialah ukuran apakah yang dipakai
untuk menentukan si orang ini termasuk dalam kategori mampu atau tidak.
Para Ulama beranggapan bahwa ketegori mampu itu tidak dalam satu level
yang sama, maksudnya ialah setiap daerah, setiap Negara, setiap kampung punya
takaran sendiri, dan punya standarisasi sendiri kapan seseorang disebut mampu
dan kapan seseorang itu disebut tidak mampu. Artinya sesuai kondisi daerah
masing-masing.
Dan karena ini pula, para Ulama menyerahkan urusan ini semua kepada
Hakim setempat. Hakim inilah yang menentukan apakah ia termasuk yang mampu atau
bukan. Karena yang paling tahu kondisi daerah setempat ialah si hakim tersebut.
Tidak bisa kita menanyakan standarisasi “mampu” untuk orang Indonesia kepada
Hakim yang ada di Saudi sana, tentu kondisi dan situasi masyarakatnya jauh
berbeda. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Kuwait 36/97)
HUKUM MUT’AH DI INDONESIA
Di Negara kita yang kita cintai ini, hukum yang berhubungan dengan pernikahan dan perceraian itu diatur semua oleh Undang-Undang. Dan UU itu menetapkan bahwa segala urusan pernikahan serta seluruh variannya yang bersangkutan denga nikah itu diatur dan diurusi oleh KUA (Kantor Urusan Agama).
Dan KUA yang mengurusi segala macam permasalahan nikah itu memakai hukum
dan Qanun yang tertera dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang mana segala hukum
yang tertulis didalam buku saku kecil ini dikeluarkan oleh Kementrian Agama RI.
Dan hukum-hukum tersebut telah dirumuskan oleh rapat dan sidang yang dihadiri
oleh Ulama-ulama se-Indonesia ini.
Mau tidak mau, kita harus tahu dan mengerti isi hukum yang terdapat
dalam buku saku kecil tersebut. Untuk masalah mut’ah ini sendiri sudah tertera
pada KHI berbunyi seperti ini:
Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah
wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a. belum
ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b.
perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah
sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami.
Pasal A mirip dengan pendapatnya Mazhab Imam Hanafi, sedangkan pasal B
mengadopsi pendapatnya Mazhab Imam Syafi’i. kenapa harus tahu ini? Ya harus
tahu, karena hukum yang akan digunakan ketika seorang suami ingin menceraikan
istrinya ialah hukum KHI ini, karena semuanya diurus dan dilayani oleh KUA. Kecuali
jika kita berpindah kewarganegaraan dan bukan lagi warga Indonesia. Kalau sudah
begitu, pendapat Imam manapun yang kita ambil yaa tidak jadi masalah.
Dan kalau nantinya, seorang mantan suami yang seharusnya memberikan mut’ah
kepada mantan istrinya, namun ia tidak memberikan mut’ah. Si mantan istri bisa saja
melaporkan mantan suaminya tersebut kepada pengadilan. Dan bukan suatu yang
mustahil kalau si mantan suami itu akan dikenakan pidana karena melanggar hukum
yang telah ditetapkan di KUA tersebut.
Wallahu A’lam.
Ahmad Zarkasih, S.Sy
Rumah Fiqih Indonesia
Comments
Post a Comment