Nadzar (Bag. 2) Kekeliruan Pandangan Tentang Nadzar
Nadzar Mubah
Dari
penjelasan sebelumnya tentang syarat-syarat mandzur, Dengan demikian tidak
dibenarkan juga bernadzar dengan sesuatu yang mubah, sesuatu yang aslinya suatu
kebolehan, atau juga meninggalkan yang mubah. Dan ini yang banyak keliru
dikalangan masyarakat. Contohnya ialah seperti orang yang bernadzar untuk
mencukur rambutnya sampai pelontos jika ia bla bla bla..
Atau
juga bernadzar untuk meninggalkan makan daging, atau bernadzar untuk pindah
rumah, bernadzar untuk melepas cincin, dan sebagainya dan sebagainya yang itu
semua adalah suatu kebolehan dalam syariat.
Yang
demikian itu bukanlah suatu nadzar, karena nadzar itu haruslah suatu ibadah
atau qurbah. Sesuatu yang asal hukunya ialah 'boleh' atau biasa kita
menyebutnya dengan mubah, tidak bisa menjadi mandzur. Jika sudah
diucapkan, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menepatinya.
(I’anah At-Tholobin
2/360, Raudhoh Ath-Tholibin 3/303, Mughni Al-Muhtaj 6/258)
Ini
didasarkan oleh hadits Nabi saw:
لاَ نَذْرَ إِلاَّ فِيمَا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
“tidak
ada nadzar kecuali atas apa-apa yang dikerjakan karena mencari wajh Allah.” (HR
Abu Daud).
Artinya ialah nadzar harus sesuatu yang mendatangkan keridhoan Allah, yang akhirnya mendatangkan pahala bagi si pelakunya. Sedangkan pekerjaan mubah, itu adalah suatu yang boleh-boleh saja, dikerjakan atau tidak dikerjakan, pelaku tidak mendapatkan apa-apa.
Artinya ialah nadzar harus sesuatu yang mendatangkan keridhoan Allah, yang akhirnya mendatangkan pahala bagi si pelakunya. Sedangkan pekerjaan mubah, itu adalah suatu yang boleh-boleh saja, dikerjakan atau tidak dikerjakan, pelaku tidak mendapatkan apa-apa.
Dan
juga hadits yang Masyhur dari sahabat ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi
Muhammad saw ketika itu melihat seseorang yang berdiri dibawah terik matahari,
dan Rasul menanyakan tentang siapakah orang tersebut. Lalu para sahabat
menjawab: bahwa ia adalah Abu Isroil, ia sedang menjalankan nadzarnya untuk
berpuasa juga untuk tidak akan duduk, tidak berteduh dan tidak berbicara.
Kemudian
rasul saw berkata:
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِل وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ
صَوْمَهُ
“perintahkanlah
kepadanya untuk berbicara, berteduh dan duduk kembali, tapi tetap meneruskan
puasanya”. (HR
Bukhori)
Dalam
hadits ini Rasul membatalkan nadzar-nadzarnya yang besifat mubah, yaitu tidak
duduk, tidak berteduh, dan tidak berbicara, dan tidak menyuruh mereka untuk
membayar denda. Tetapi Rasul saw tetap menyuruhnya untuk meneruskan
puasanya yang sudah ia nadzarkan. Jadi jelas, Nadzar haruslan sebuah qurbah
atau ibadah.
**Jika Sudah Terucap,
Haruskah Bayar Denda?
Yang
jadi permasalahan ialah, jika nadzar untuk melakukan suatu yang mubah itu sudah
terucap, dan sudah jelas tidak harus dipenuhi, apakah kita harus menunaikan
kafarat (denda) karena tidak melakukan apa yang di nadzarkan tadi?
Kembali
kepada hukum nadzar dengan pekerjaan mubah tersebut, nadzar dengan pekerjaan
yang mubah ialah nadzar yang tidak diakui, artinya nadzar tersebut tidak sah.
Karena nadzar tersebut tidak sah maka tidak ada kewajiban kafarat bagi
sipalekau jika nadzarnya itu tidak dikerjakan.
Karena
bagaimanapun, kafarat itu dikerjakan jika suatu nadzar tidak dikerjakan atau
diingkari. Dan nadzar dengan perkara mubah tidak terhitung sebagai nadzar.
Bagaimana mungkin ada kafarat sedangkan nadzarnya sendiri tidak ada.
(Al-Majmu’ 8/455, I’anah Ath-Tholibin 2/360, Mughnil-Muhtaj 6/259)
(Al-Majmu’ 8/455, I’anah Ath-Tholibin 2/360, Mughnil-Muhtaj 6/259)
Selisih Pendapat
Namun
pendapat ini diselisih oleh pendapat dari kalangan ulama Hanbali yang memandang
sebaliknya. Para Ulama Hanbali menilai bahwa nadzar dengan perkara-perkara
mubah adalah suatu nadzar yang sah, hanya saja si pelakunya tidak dituntut
untuk menepati nadzarnya tersebut.
Ketika
nadzar tersebut sudah diucapkan, si pelaku mempunyai 2 pilihan, yaitu
menunaikan nadzrnya tersebut atau tidak menunaikannya. Dan kalau tidak
menunaikan nadzar tersebut, maka dia wajib melakukan kafarat (bayar
denda). Dan kafaratnya ialah seperti kafarat Yamin (Sumpah).
Karena
pada dasarnya, nadzar itu ialah sumpah. Hanya saja nadzar lebih spesifik dan
lebih sempit lingkupnya. Jadi jika seseorang telah bernadzar untuk
perkara-perkara yang mubah, pada hakikatnya ia telah bersumpah.
(Al-Inshof Li
Al-Mardawi/Bab An-Nadzr, Al-Syarhu Al-Kabir Li Ibni Qudamah 11/334, Al-Iqna’
4/357)
**Nadzar Maksiat
Sebagaimana
penjelasan di awal-awal artikel “Nadzar” ini, bahwa nadzar maksiat, atau
bernadzar untuk melakukan maksiat ialah nadzar yang tidak berlaku dan tidak
sah. Seperti orang yang mengatakan, “jika saya lulus ujian ini, saya
bernadzar akan minum minuman keras”. Atau “jika anak ku pulang ke tanah
air, nadzar ku akan kugunakan setengah dari hartaku untuk berjudi”. Nadzar
yang seperti ini tidak dibenarkan dalam syariat.
Pun
Ulama sejagad raya ini telah bersepakat bahwa tidak sah bernadzar untuk
melakukan maksiat, berdasarkan dali-dalil yang telah tersebut di artikel “syarat-syarat
mandzur”.
**Jika
Sudah Terucap
Namun
yang jadi persoalan kini ialah, jika nadzar maksiat itu sudah terucap dan sudah
barang tentu tidak mungkin untuk dilakukan, karena itu adalah suatu
kemaksiatan. Apakah si pelaku nadzar tersebut harus menggantinya denga kafarat?
atau tidak ada kewajiban apa-apa lagi untuknya karena nadzar itu tidak berlaku?
Dalam
masalah ini, seperti biasa Ulama kembali berbeda pendapat menjadi 2
kelompok;
[1] Tidak Ada Denda
Kelompok pertama mengatakan bahwa bagi siapa yang bernadzar maksiat maka ia tidak boleh untuk menunaikan nadzranya tersebut dan tidak ada kafarat baginya walaupun sudah tercap nadzar tersebut. Ini pendapat yang banyak dianut oleh Jumhur (mayoritas) Ulama dari al-Malikiyah dan al-Syafi’iyyah termasuk beberapa ulama Mazhab al-Hanafiyah.
[1] Tidak Ada Denda
Kelompok pertama mengatakan bahwa bagi siapa yang bernadzar maksiat maka ia tidak boleh untuk menunaikan nadzranya tersebut dan tidak ada kafarat baginya walaupun sudah tercap nadzar tersebut. Ini pendapat yang banyak dianut oleh Jumhur (mayoritas) Ulama dari al-Malikiyah dan al-Syafi’iyyah termasuk beberapa ulama Mazhab al-Hanafiyah.
[2] Bayar Denda
Kelompok
kedua mengatakan sebaliknya. Bahwa memang nadzar maksiat dilarang untuk
dikerjakan, tetapi jika sudah bernadzar maka ia wajib melakukan kafarat (denda)
karena nadzarnya tersebut.
Ini
pendapat yang dipegang oleh ulama dari kalangan madzhab Hanafi dan Hambali.
(Bidayatul-Mujtahid
329, Al-Mughni 11/332, Al-Majmu’ 8/455, Bada’i Al-Shona’i 5/92)
Dalil Kelompok Pertama
Kelompok
pertama yang mengatakan bahwa tidak ada kafarat untuk nadzar maksiat berdalih
dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari istri beliau saw ‘Aisyah
ra:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“siapa
yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, maka tunaikanlah. Dan barang siapa
yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ditunaikan” (HR
Bukhori dan Ahmad)
Dalam
hadits ini jelas bahwa nadzar ibadah itu hukumnya menjadi wajib dikerjakan bagi
si pelaku nadzar. adapun nadzar maksiat, ialah nadzar yang dilarang, dan
nadzarnya itu tidak sah/berlaku. Karena tidak ada nadzar yang sah atau berlaku
maka tidak ada kafarat.
Dalil Kelompok Kedua
Sedangkan
kelompok yang mendukung adanya kafarat berdalih dengan hadits Nabi Muhammad saw
yang diriwayatkan dari Aisyah:
لاَ نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ
يَمِينٍ
“tidak
ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan kafaratnya ialah kafarat yamin
(sumpah)”. (HR
Ahmad dan Nasa’i)
النَّذْرُ نَذْرَانِ فَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي طَاعَةِ اللَّهِ
فَذَلِكَ لِلَّهِ وَفِيهِ الْوَفَاءُ ، وَمَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ
اللَّهِ فَذَلِكَ لِلشَّيْطَانِ وَلاَ وَفَاءَ فِيهِ وَيُكَفِّرُهُ مَا يُكَفِّرُ
الْيَمِينَ
“Nadzar
itu ada 2; Nadzar yang mengandung ketaatan kepada Allah, maka itu untuk Allah
dan wajib dilaksanakan. Dan (yang kedua) nadzar yang mengandung maksiat kepada
Allah, itu adalah untuk syaithan dan tidak boleh ditunaikan. Dan kifaratnya
adalah kifarat sumpah” (HR An-Nasa’i dan Al-Bahaqi dalam al-Sunan al-Kubra)
Kedua
haditsnya mengandung pemahaman yang sama, Sama-sama menafikkan nadzar maksiat.
Hanya saja di hadits yang menjadi dalil kelompok pendukung kafarat ini ada
tambahan penjelasan diakhir haditsnya, yaitu penjelasan tentang kafarat, yakni
kafaratnya sama seperti kafarat sumpah.
Jadi
nadzar maksiat memang dilarang untuk dikerjakan, namun sebagai gantinya ia
harus membayar/melakukan kafarat. Dan kafaratnya itu sama seperti kafarat
sumpah. Begitu maksud hadits kedua ini. Dan inilah yang menajdi pegangan mereka
yang mewajibkan kafarat bagi pelaku nadzar maksiat.
Dan
juga didasari bahwa nadzar itu sama dengan sumpah. Maka jika sudah terucap maka
wajib kafarat jika sumpah itu dibatalkan. (Bada’i Al-Shona’i 5/92)
Sanggahan
Ulama
yang tidak mewajibkan adanya kafarat menyanggah dalil tersebut bahwa hadits Imron
bin hushoin dan hadits Abu Hurairoh yang dipakai itu ialah hadits
yang dhoif yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Dhoifnya
hadits tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil-Barr yang dikutip oleh Imam
Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid. Beliau mengatakan:
“para
ulama hadits melemahkan hadits ini. Hadits yang besanad ke Abu hurairoh itu,
didalam sanadnya ada Sulaiman bin Arqom, dan statusnya itu ialah matruk"
Sedangkan hadits Imron bin hushoin, dalam sanadnya ada
zuhair bin Muhammad yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya. Dan ayahnya ini
berstatus Majhul (tidak diketahui). Terlebih lagi bahwa Zuhair itu
sendiri statusnya ialah Munkir Al-Hadits.” (Bidayah Al-Mujtahid
329)
wallahu A'lam
wallahu A'lam
Comments
Post a Comment