Nadzar (Bag. 1), Pengertian Dan Syarat-Sayaratnya
Beberapa hari yang lalu ada kawan yang bercerita kepada saya tentang niat baiknya yang akan memberikan sesuatu kepada temannya sebuah barang “mahal”. Dalam niatnya tersebut, barang itu ia berikan jika temannya bla bla bla bla… dan ternyata temannya tersebut memenuhi “bla bla bla”-nya tersebut. Namun ketika ia ingin memberika barang yang sudah diniatkan tersebut, temannya dengan rendah hati menolak, mungkin karena barangnya terkesan mahal. Akhirnya karena sudah bertekad untuk memberi, kawan ini mengganti pemberiannya dengan barang lain walau berbeda nilainya.
Kemudian kawan ini bertanya kepada saya: “apakah saya termasuk orang yang punya hutang janji sama Allah swt karena tidak jadi memberikan “barang” itu kepada teman saya? (maksudnya apakah itu termasuk nadzar yang saya tidak tepati?)
Jawaban:
Yang harus diketahui bahwa niat itu berbeda dengan nadzar. Karena niat saja tidak cukup untuk menjadi nadzar yang tentu saja berbeda hukum dan sifatnya. Niat itu tidak mengikat, baik niat buruk ataupun niat baik. Sedangkan nadzar, ia mengikat sampai nadzar itu jatoh temponya atau dikerjakan.
Masalah diatas adalah masalah niat baik, bukan nadzar. Niat baik itu kalaupun tidak dilakukan, sipelaku niat itu sendiri mendapat pahala karena niat baiknya, dan kalau benar-benar dikerjakan ia akan mendapat pahala yang belipat, 10 bahkan sampai 700 kali lipat sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi saw.
Jadi tidak ada masalah dalam pertanyaan tadi. Tidak ada kafarat yang harus dilakukan Karena tidak ada nadzar yang dilanggar. Dan juga tidak ada janji yang tidak ditepati. Justru harus disyukuri. Yang harus disyukuri ialah perasaan menyesal karena tidak bisa memberikan yang terbaik kepada teman tercinta.
Nadzar Bukan Cuma Niat!
Nadzar walaupun memang bersumber dari niat,(dan memang semua ibadah pasti bersumber dari niat), tapi nadzar sangatlah berbeda dengan hanya sekedar niat. Orang yang akan berniat sholat di malam hari, itu bukan berarti ia bernadzar. Itu hanya niat baik.
Tipis memang bedanya. Nah yang membedakan nadzar dengan niat itu sendiri ialah “shighoh” atau “Lafadz”. Niat saja tidak cukup untuk menjadi sebuah Nadzar yang mempunyai ketetapan hukum syariah, perlu ada “pe-Lapadz-an”. Harus ada yang diucapkan.
Karena memang rukun nadzar sebagaimana ketetapan 4 mazhab fiqih (selain mazhab hanafi) ialah ada 3, yaitu:
1. Nadzir (orang yang bernadzar),
2. Shighoh, dan
3. Al-Mandzur (pekerjaan yang di nadzari).
Dan “Shighoh” atau lafadz termasuk di dalamnya. Karena ini rukun, maka keberadaannya ialah suatu yang harus, tidak boleh tidak. Kalau tidak ada shighoh, maka tidak ada nadzar.
1. Nadzir (orang yang bernadzar),
2. Shighoh, dan
3. Al-Mandzur (pekerjaan yang di nadzari).
Dan “Shighoh” atau lafadz termasuk di dalamnya. Karena ini rukun, maka keberadaannya ialah suatu yang harus, tidak boleh tidak. Kalau tidak ada shighoh, maka tidak ada nadzar.
Niat tentu saja berbeda dengan shighoh. Niat itu tempatnya dihati dan tak terucap, adapun shighoh berarti lafadz, lafadz tidak akan disebut lafadz kecuali ia diucapkan dengan lisan secara jelas. Maka yang mau nadzar harus berucap. Tentu ada pengecualian bagi ia yang cacat tidak bisa berbicara, “Al-Akhros”. Buat mereka lafadznya ialah dengan isyarat, mungkin dengan tulisan atau gerakan yang bisa dipahami.
Lafadz Nadzar
Lafadz nadzar ada 2 jenis, yaitu:
[1] Lafadz Muthlaq
[2] Lafadz Muqoyyad (mengikat)
Lafadz mutlak itu lafadz nadzar yang disebutkan secara mutlak tanpa ada keterang dan ikatan lainnya, seperti: “saya bernadzar saya akan sholat”, atau “demi Allah, Saya akan Puasa”. Mutlak tanpa ada embel-embel.
Lafadz nadzar ada 2 jenis, yaitu:
[1] Lafadz Muthlaq
[2] Lafadz Muqoyyad (mengikat)
Lafadz mutlak itu lafadz nadzar yang disebutkan secara mutlak tanpa ada keterang dan ikatan lainnya, seperti: “saya bernadzar saya akan sholat”, atau “demi Allah, Saya akan Puasa”. Mutlak tanpa ada embel-embel.
Sedangkan lafadz yang mengikat ialah seperti, “Demi Allah, jika ayah saya pulang ke tanah air, nadzar saya ialah saya akan puasa selama 2 hari!” Nah ketika ikatannya itu terpenuhi yaitu “ayahnya pulang ke tanah air”, maka wajib baginya untuk berpuasa 2 hari sesuai yang telah dinadzarkan.
Syarat Nadzir (Orang Yang Bernadzar)
Syarat bagi orang yang bernadzar tidak banyak, hanya 2 saja syaratnya. Yaitu:
[1] Islam, dan
[2] Mukallaf
Artinya kalau ada orang yang bernadzar dan dia bukan termasuk dari 2 golongan tersebut, maka nadzarnya tidak sah!
[1] Islam, dan
[2] Mukallaf
Artinya kalau ada orang yang bernadzar dan dia bukan termasuk dari 2 golongan tersebut, maka nadzarnya tidak sah!
Seperti nadzarnya orang yang kafir, nadzarnya tidak sah. Karena nadzar merupakan ibadah dan orang kafir tidak mempunyai akses untuk melakukan suatu ibadah apapun. Juga nadzarnya anak kecil yang belum baligh. Walaupun ia sudah memasuki umur mumayyiz, nadzarnya tetap tidak sah karena dia belum memasuki umur baligh yang merupakan batasan mukallaf.
Syarat Mazdzur (Yang Dinadzarkan)
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam mandzur itu sendiri agar nadzar-nya itu menjadi sah, dan jika ada syarat yang tidak terpenuhi maka belum bias disebut nadzar. Dan syarat-syarat mandzur ialah:
[1] Al-Mandzur bukanlah suatu kemaksiatan.
Ini syarat yang paling awal harus diketahui oleh setiap muslim, bahwa tidak boleh bernadzar suatu kemaksiatan. Seperti bernadzar akan meminum khomr, atau berpuasa di waktu haidh bag perempuan. Atau juga yang paling banyak kita dengar yaitu nadzar orang dengan memotong atau melukai bagian tubuh tertentu.
Dan ini merupakan Ijma’ (konsesus) seluruh Ulama sejagad raya bahwa nadzar tidak sah jika itu suatu kemaksiatan. (bidayatul Mujtahid, 329)
Ini didasarkan oleh hadits Nabi Muhammad saw:
“tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah swt” (HR Muslim dan Nasa’I dari sahabat Uqbah bin ‘Amir)
لا نذر في معصية الله
“tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah swt” (HR Muslim dan Nasa’I dari sahabat Uqbah bin ‘Amir)
Juga dijelaskan dalam hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“siapa yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, maka tunaikanlah. Dan barang siapa yangbernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ditunaikan” (HR Bukhari dan Ahmad)
من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصي الله فلا يعصه
“siapa yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, maka tunaikanlah. Dan barang siapa yangbernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ditunaikan” (HR Bukhari dan Ahmad)
Karena ketika nadzar sudah diucapkan, maka menjadi suatu kewajiban bagi si pengucap untuk menunaikan nadzarnya tersebut. Kalau dia bernadzar maksiat, berarti dia mewajibkan dirinya untuk berbuat maksiat, dan ini tidak dibenarkan dalam syariah. “TIDAK ADA KETAATAN DALAM KEMAKSIATAN”. Jadi jika seseorang bernadzar suatu maksiat, maka nadzar itu tidak sah dan haram ditunaikan.
Seperti bernadzar sholat, puasa atau sedekah. Seperti orang yang mengatakan seperti ini, “jika anak saya lulus ujian, saya bernadzar akan berpuasa selama 3 hari”. Atau “demi Allah, saya akan bersedekah dengan jumlah ----------- jika saya -------“.
Dan ini juga yang disebut sebagai nadzar tabarrur, yang berarti kebaikan atau berbuat suatu kebaikan. Asal kata dari Al-Birr [البر] yang berarti kebaikan. Nadzar yang sepeti inilah nadzar yang wajib dikerjakan, tidak boleh tidak. (Al-Mughni 11/332, Raudhoh Ath-Tholibin 3/303)
[3] Harta yang dinadzari haruslah milik sendiri (jika nadzarnya sedekah)
Tidak dibenarkan dalam syariah bagi seseorang yang bernadzar untuk bersedekah tetapi ia tidak memeliki harta yang di nadzarinya tersebut. Ketika seseorang bernadzar untuk bersedekah, Ulama mensyaratkan bahwa ia harus memiliki sejumlah harta tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh hadits Nabi saw:
“tidak ada nadzar (tidak sah nadzarnya) dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan tidak ada nadzar atas sesuatu yang seseorang itu tidak miliki”. (HR Muslim dan AN-nasa’i)
“tidak ada nadzar (tidak sah nadzarnya) dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan tidak ada nadzar atas sesuatu yang seseorang itu tidak miliki”. (HR Muslim dan AN-nasa’i)
Dan syarat yang terakhir agar nadzar itu menjadi sah ialah, bahwa yang dinadzari itu bukanlah sutau yang memang sudah wajib sebelumnya. Dinadzar-kan atau tidak, itu tetap menjadi kewajiban bagi dia. Seperti sholat lima waktu, puasa ramadhan, zakat dan juga haji.
Termasuk puasa qodho Romadhan atau juga fidyah. Karena aslinya itu adalah suatu kewajiban. Jadi tidak dibenarkan seseorang bernadzar dengan mengatakan, “saya bernadzar akan berpuasa ramadhan penuh tahun ini”. Nadzar atau tidak, berpuasa ramadhan sebulan penuh ialah suatu kewajiban buat setiap orang muslim yang mukallaf.
Nadzar berarti mewajibkan sesuatu kepada sipelaku nadzar itu sendiri, dan bagaimana mungkin mewajibkan seseuatu yang pada asalnya sudah wajib?.
Apakah sah bila almandzurnya puasa tapi sebabnya maksiat seperti apabila saya meminum khomr lagi maka saya akan puasa satu hari karena tadinya buat efek jera
ReplyDelete