Terus Turun Temurun

Masuk bulan Februari, situs-situs media yang berbasis Islam, baik itu berupa blog, portal berita, juga grup social network ramai dengan postingan artikel yang melarang ataupun mengecam perayaan hari valentine.
Semua orang pasti sudah tau kalau valentine memang hari raya import. Import dari barat, entah Negara mana yang memulai dalam melestarikan sunnah perayaan ini. Yang pasti ini bukan budaya dan tradisi Indonesia, apalagi Islam.
Bahkan dalam salah satu sumber disebutkan bahwa valentine itu budayanya kaum kristiani dalam rangkan mengenang pendeta mereka yang bernama 'valentine' yang tewas karena mempertahankan cintanya. Begitu kata salah satu sumber yang saya baca.
Begitu ramainya topic ini menjadi bahan perbincangan di kalangan mereka pada bulan ini. Dari mulai pembicaraan tentang hukum merayakannya, asal usul perayaannya, juga budaya buruk yang lahir dari perayaan ini.
Setiap masuk bulan februari, pasti topic ini ramai. Setiap tahunnya dan berulang-ulang seakan-akan topic ini baru dan masih sangat hangat di perbincangkan.
Itu kalau bulan februari, beda lagi ceritanya kalau bulan April. Yang ramai dibicarakan pada bulan April sudah tentu dengan masalah April Mop. Setiap tahun selalu dibicarakan.
Masuk bulan desember, pembicaraan bergeser dan menuju ke arah hukum merayakan dan memeberikan ucapan untuk kaum kristiani dalam perayaan natal. Dan ini juga selalu menjadi topic hangat dan cenderung 'panas' setiap tahunnya. Pasti selalu terulang.
Dan begitu seterusnya. Bulan rabi'ul awwal ramai pembicaraan tentang hukum maulid. Bulan syawal ramainya soal hukum halal-bihalal. Bulan ramadhan juga bukan ramai puasa saja, tapi 'ribu' juga ngomongin hukum perayaan nuzulul qur'an.
Perkara-perkara yang telah disebutkan diatas itu selalu terjadi dan selalu menjadi trending topic. Semua sudah tahu bahwa perkara itu sudah dibahas tuntas di tahun sebelumnya tapi tetap saja kalau belum lewat bulannya, meributkan hal demikian tetap asik.
Rasanya perut ini terus mules kalau belum mengeluarkan pendapat atau unek-unek atau bahkan fatwa soal perayaan-perayaan tersebut.
Kemudian ada yang bertanya: "Kalau sudah dibicarakan dan dibahas sebelumnya, kenapa kita masih ribut saja sekarang?"
Jawabannya (menurut saya) ya itu sudah menjadi sunnah alam yang sepertinya tidak bisa lagi kita pungkiri. Tidak bisa kita menutup mata akan hal ini. Kita mungkin bisa saja cuek acunh tak acuh dengan pembicaraan ini, tapi tetap saja baunya akan kita cium juga.
Tidak mengapa itu terjadi dan selalu terjadi, karena memang harus terjadi. Sejak zaman fathimiyah sampai saat ini, kalau masuk bulan Mulud (Rabi'ul awaal) orang-orang selalu ribut soal hukum maulid.
Perlu disadari bahwa "Kita adalah penghuni rumah yang dulu dihuni oleh orang tua kita. Orang tua kita pun dulu adalah penghuni rumah yang dulu dihuni oleh orang tua mereka, para kakek nenek kita dan seterusnya begitu."
Mewarisi Ilmu
Artinya semua pasti berganti dan punya masanya masing-masing. Masalah yang dulu dibicarakan memang itu menjadi masalah orang-orang zaman itu. Yang sekarang pun demikian, walaupun topiknya sama.
Bukan berarti saling tindih tapi malah memang inilah proses tersalurnya ilmu, yaitu saling mewarisi. Ilmu yang kita dapatkan sekarang adalah warisan para pendahulu kita. Topic yang diangkatpun warisan pendahulu kita.
Karena itu jawaban tentang masalah-masalah tersebut selalu sama dengn jawaban yang telah dilansir terdahulu oleh ulama-ulama pada zamannya. Jadi masing-masing punya masanya, punya zamannya, punya waktunya, punya pasarnya sendiri-sendiri.   
Hanya saja yang perlu dibenahi dan perlu diperhatikan kembali pada saat sekarang ini ialah, etika dan adab dalam berselisih pendapat.
Perselisihan dan perbedaan pendapaat adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi dalam masalah-masalah furu'iyyah seperti itu. Karena memang ulama dan para guru kita terdahulu bukan hanya mewarisi ilmu. Akan tetapi perbedaan selisih pendapat juga menjadi warisan beliau-beliau Rahimahumullahu.
Sayangnya, orang-orang zaman sekarang hanya mengambil fatwa dan sedikit ilmu dari pendahulunya tanpa mengambil pelajaran bagaimana etika dan sikap para pendahulu kita dalam berbeda pendapat dengan yang lainnya.
Baiknya, kita adopsi juga sikap dan etika para pendahulu kita, jangan setengah-setengah. Kita adopsi bagaimana kelapangan dada para ulama hanafi yang mengatakan bahwa qunut subuh itu bid'ah dalam menerima pendapat dari para ulama syafi'I yang mengatakan bahwa qunut itu sunnah.
Bahkan para sahabat di zaman Nabi Muhammad saw pun telah mengajarkan kita toleransi. Ketika dalam suatu perjalanan yang dilakukan oleh para sahabat dan rasul saw di bulan Ramadhan, namun mereka ada yang meneruskan puasanya da nada juga yang membatalkan puasa.
Mereka pun berselisih tentang apakah membatalkan puasa ketika dalam perjalanan itu rukhshoh atau 'azimah. Tapi taka da satu kata ejekan dan cemooh-an yang keluar dari mulut mereka kepada yang lain.
 wallahu A'lam


  



   

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya