Ternyata Kita Lebih Pintar Dari Imam Malik
Bisa
dibilang sekarang itu zaman yang semua serba terbuka, karena sudah tidak ada
lagi yang tertutupi. Semua, siapapun di penjuru bumi ini karena kemajuan zaman
dan teknologi sekarang ini, akan terlihat oleh siapapun ketika dia memposting
atau mempublikasikan apa yang ia lakukan ataupun ia katakan.
Dan ini
buruknya, dengan semuanya yang serba terbuka, ini juga mengundang siapapun bisa
menjadi komentator-komentator ecek-ecek yang tak ber-ilmu namun gaungnya sangat
besar. Apapun yang terlihat akan serta merta dikomentari tanpa harus mengetahui
apa duduk masalahnya. Pun dia tidak perduli bahwa yang dikomentari itu masalah
yang ia tidak punya keahlian didalamnya.
Ini seperti
tren. Kita lihat saja di media social, baik itu yang massif atau hanya bersifat
hanya komunitas. Apapun masalahnya (apalagi yang sensitive) pasti ramai
dikomentari. Tidak perduli ia tidak tahu masalah yang dibicarakan yang penting
ingin terlihat pintar dan tidak mau kalah dengan komentator lain yang sama-sama
tidak punya keahlian didalam masalah yang dibicarakan.
Tiba-tiba
banyak yang menjadi ahli agama, tiba-tiba pula banyak yang menjadi ahli
olahraga, tiba-tiba juga banyak yang jadi pengamat politik. Walaupun hanya
sebatas komentar “basi” di media social. Tidak puas hanya komentar, ia serang
juga lawan komentarnya yang berbeda pemikiran dengan dia. Dan di dunia maya
ini, kita semua sudah tahu, banyak kata-kata kotor berseliweran sana-sini.
Karena memang mungkin dunia maya tidak mengenali wujud asli, semua orang bisa
bebas tanpa rasa takuk mengolok-olok lawan bicaranya.
Apa yang
terjadi didunia maya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi didunia nyata.
Dalam sebuah majlis agama, yang itu disiarkan secara nasional, seorang pemuka
agama (penceramah) dengan menggebu-gebu membahasa soal pilitik dalam majlis
yang mulia itu.
Parahnya
beliau dengan amat yakin menyalahkan salah satu pihak yang sedang bertikai itu,
padahal masalahnya sampai sekarang pun belum clear siapa yang salah dan siapa
yang benar. Secara langsung beliau menggiring opini Jemaah majlis untuk
menyalahkan pihak tersebut. Padahal sama sekali ia bukan ahli politik, tidak
berpartai, tidak juga sebagai pejabat pemerintahan. Beliau seorang Ustadz,
baiknya bicara saja yang sudah menjadi bidangnya. Berbicara pdahal tidak punya
ilmunya.
Pun
demikian, seorang politikius dalam sebuah forum diskusi politik, dengan
Pe-Denya ia membicarakan syariah didepan layar kaca yang ditonton oleh seluruh manusia
seindonesia, mungkin diluar Indonesia juga. Parahnya dia mengkritik pihak ulama
setempat yang -katanya sendiri- telah salah dalam mengeluarkan fatwa. “nyantri
ngga pernah, kuliah syariah pun tidak, tapi berani memberikan kuliah agama?”
dimana logikanya?
Islam tidak
mengajarkan ummatnya untuk jadi orang yang sok tahu, bicara sana bicara sini
tanpa tahu ilmunya. Tidak ada ajaran dalam agama ini yang menganjurkan kita
untuk menjadi orang yang harus tampil disemua bidang. Sifat kerendahan diri
sangat digalakkan dimana setiap muslim harus berhati-hati dengan apa yang ia
bicarakan, bahkan Islam mengajarkan kita untuk diam, kalau memang itu bukan
bidang kita.
“dan
janganlah kau berdiri (berbicara) pada sesuatu yang kau tidak ketahui” (QS
Al-Isro 36)
Para sahabat
Nabi Ridhwanullahi ‘Alaihim, ketika ditanya oleh Nabi saw tentang suatu
perkara, tidak ada satupun dari mereka yang ingin tampil agar di pandang oleh
Nabi kemudian menjawab pertanyaan tersebut. Mereka dengan ke-tawadhu’an mereka
menjawab: “Allahu wa Rasuluhu A’lam” (Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui ini)
Abu Musa Al-Asy’ari
ra pernah ditanya oleh seseorng tentang jatah anak perempuan bersama cucu
perempuan beserta saudari mayyit dalam ilmu Faroidh. Beliau tidak langsung
menjawab, beliau hanya mengatakan: “datangilah Ibnu Mas’ud, beliau lebih tahu
dari aku dalam masalah ini”. (HR Al-bukhori). Beliau tidak malu dikatakan
sebagai seorang yang dangkal ilmu, karena memang beliau tidak mengetahu masalah
tersebut.
Pun demikian
dengan Nabi Muhammad saw. Banyak masalah yang ditanyakan kepada beliau saw tapi
beliau dengan tawadhu’nya menangguhkan jawaban sampai beberapa hari. Beliau
berdoa dan meminta wahyu kepada Allah swt atas pertanyaan tersebut. Beliau
tidak langsung menjawab! Dan memang banyak ayat Al-Quran yang turun karena
permintaan wahyu dari Nabi atas jawaban yang datang kepada beliau saw.
Nabi
Muhammad yang menjadi sumber ilmu pun seperti itu, tidak menjadi sok tahu. Tapi
ummatnya sekarang ini, wow semua pertanyaan dibabat habis. Malu kalau harus
menunda sehari dua hari. “jawab aja sekarang, malu kalau dibilang ngga tau!”
begitu kah seorang muslim?
Sama saja
seperti menenggelamkan diri didalam samudera padahal ia tidak bisa berenang. Naudzubillah.
Dalam Ihya’
Ulumudin, Imam Ghozali menyebutkan sebuah riwayat, bahwa Imam Malik pernah
didatangi oleh seorang dari negeri yang jauh untuk menanyakan kepada beliau
perkara agama, dan dalam kantongnya, ia sudah menyiapkan 40 pertanyaan. Imam
Malik menjawab 4 dari pertanyaan tersebut dan sisanya beliau jawab dengan
jawaban yang sama: “Laa Adriy” (Saya TIDAK TAHU). Sontak saja peziarah
dari negeri yang jauh itu kesal, dan mengatakan: “orang-orang menyebutmu
sebagai Faqihul-Ummah (Imam Fiqih Umat), dan saya datang dari daerah yang jauh
lalu anda hanya menjawab “Laa Adriy”???”
Dengan
tenang Imam Malik menjawab: “sekarang, kembali lah kau ke negeri asalmu. Lalu
katakanlah kepada semua penduduk negeri bahwa kau telah datang kepada ku untuk
bertanya, tapi aku hanya menjawab Laa Adriy!”
Lihat
bagaimana tawadhu’nya Imam Malik, padahal tidak ada yang meragukan ilmu beliau.
Bukan karena pelit ilmu beliau tidak menjawab, karena memang beliau tidak
mengetahui perkara itu. Seorang Muslim tidak akan berbicara atas perkara yang
sama sekali ia tidak tahu ilmunya.
Lebih
pintarkah kita dari Imam Malik???
wallahu A'lam
Beberapa waktu yang lalu (jauh sebelum adanya tulisan ini) teman saya bilang, ustadz2 dan ustadzah2 sekarang luar biasa hebatnya, bahkan melebihi Rasulullah SAW. Setiap ada pertanyaan pasti langsung dijawab dan seakan-akan pasti itu yang paling benar (karena jarang ada yang mengatakan wallahu a’lam). Lihat saja ditelevisi kalau tidak percaya, katanya. Bahkan saya pribadi pernah bertemu seorang ustadz (saya bilangnya ustadz karena orang2 pada memanggilnya begitu, wallahu a’lam), mengatakan bahwa kalau ada yang mau ketemu dengan dia dirumahnya paling tidak diatas jam 11.00 malam karena baru pada jam itu dia baru pulang dari dakwah/pengajian. Dan tidak bisa dipagi hari karena habis sholat subuh dia keluar lagi untuk dakwah/pengajian. Hal ini dikarenakan dia punya jama’ah ada di tiga kabupaten. Gilaaa, hebat benar ustadz ini, menyibukkan diri demi ummat, pikir saya. Semua pertanyaan waktu itu sapu rata dijawab semua. Tapi eh, tunggu dulu. Saya jadi bingung, anak2nya si ustadz kan katanya masih kecil2. Kira2 mereka bakal kenal bapaknya atau tidak ya ? Lha bapaknya pulang anak2nya sudah tidur, terus bapaknya keluar lagi anak2nya pasti masih tidur. Kapan ada kesempatan lihat wujud asli bapaknya kalau kelakuan bapaknya kayak begini. Inilah contoh muslim yang menjalankan dakwah karena orientasinya hanya uang, uang dan uang sampai melupakan keluarganya dan dengan hebatnya menjawab semua pertanyaan jama’ah tanpa rasa khawatir kalau2 ada jawabannya yanjg keliru, melebihi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jazaakallahu khoirol jazaa’. Wallahu a’lamu bishshowaab.
ReplyDeletemudah-mudahan kita terhindar dari sifat egois! sibuk sendiri ngga tau ada keluarga yang butuh perhatian!
ReplyDeleteyaa robb!