Haji Kecil Bukan Haji !!
Tahun lalu, di momen yang
sama yaitu momen keberangkatan para jemaah haji, paman saya (kalau di betawi
kami memanggilnya encang karena beliau lebih tua dari orangtua kami) sempat
bercerita soal fenomena Travel Haji yang Nakal.
Orang-orang menyebut beliau
dengan sebutan "calo Haji", bukan calo yang banyak dinilai negatif.
Namun aselinya Beliau adalah seorang pimpinan KBIH (kelompok Bimbingan Ibadah
Haji), urusan haji orang sekampung, beliau yang ngurusin semua, dari mulai
pembiayaan sampai pelatihannya. Jadi persis sepeti calo yang ngurusin
segalanya, yang punya duit tinggal ambil beres saja!
Beliau bercerita kalau
sekarang itu banyak "travel Nakal", yaitu Travel yang banyak
"mengelabui" publik dengan mengistilahkan Umroh dengan istilah
"Haji Kacil". Mereka sengaja menggunakan istilah tersebut untuk bisa
manarik konsumen sebanyak-banyaknya. Bagaimana?
Semua kita tahu, administrasi
kita di Indonesia ini bagaimana rupanya, termasuk administrasi pendaftaran
haji. Yang mendaftar sekarang, kemungkinan berangkat haji nya bisa jadi 5-6
tahun kedepan. Bahkan bisa jadi ia tidak
berangkat, karena mungkin sebelum jatahnya jadi berangkat, ia sudah
meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi agak sulit bagi kita bisa instan
berangkat haji, kecuali mendaftar ke travel dengan biaya Plus (ONH plus). Dan
yang harganya tentu jauh lebih mahal dari harga standar yang ada di Kandepag.
Nah “keribetan” yang terjadi
inilah, yang kemudian dimanfaatkan oleh para pengusaha “travel nakal” itu guna
mempromosikan “Umroh” dengan sebutan “haji kecil”, biaya murah (sekitar belasan
juta atau 20an juta) dan pasti berangkat cepat tanpa menunggu bertahun-tahun. Bayar
hari ini, besok bisa berangkat.
Kebanyakan orang yang awam
akan tergiur dengan promosi “tipuan” ini. Mereka akan berpikir, dan memang ini
yang dipromosikan oleh travel-travel tersebut; “daripada Haji besarnya ngga
bisa, susah, lama berangkatnya, biaya mahal. Mending haji kecil aja. Yang penting
haji!”.
Tidak ada masalah memang
dengan istilah tersebut, toh banyak juga Ulama yang memakai istilah Haji kecil
untuk sebutan lain Umroh. Tapi yang jadi masalah ialah ketika istilah ini
dilayangkan kepada mereka yang tidak tahu menahu tentang haji tanpa memberikan
penjelasan lebih lanjut.
Mereka akan berfikir bahwa
kewajiban haji mereka akan gugur dengan mereka melaksanakan haji kecil
tersebut. Dan memang itu yang sedikit banyak sudah terjadi; kekeliaruan
persepsi. Bahkan di beberapa daerah, orang yang berangkat Umroh itu,
keberangkatannya itu seperti keberangkatan Haji. Ada walimahnya. Pulangnya pun
demikian, disambut layaknya sepulang Haji.
Padahal sejatinya, Umroh
sangatlah berbeda dengan Haji. Haji hukumnya Wajib sekali dalam seumur hidup,
jika memang sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Waktunya pun terbatas, yaitu
hanya pada bulan dzulhijjah. Prosesinya pun berbeda dengan umroh yang hanya
beberapa jam bisa diselesaikan.
Sedang Umroh. Hukumnya sunnah
(walaupun ada juga yang mengatakan Wajib). Waktu pelaksanaannya pun tidak ada
penentuannya, kapan pun Umroh bisa dilakukan. Bahkan setiap hari umroh pun
bisa! Dan yang terpenting yang harus diketahui ialah, Umroh sama sekali tidak
bisa mewakili Haji atau bahkan menggugurkan kewajiban haji seorang muslim.
Umroh seratus kali atau
seribu kali pun , kalau belum berhaji, itu tidak akan menggugurkan kewajiban
Haji. Kewajiban Haji akan terus menempel disetiap pundak muslim. Akhirnya ini
seakan-akan menjadi legitimasi bahwa orang yang sudah berhaji “kecil” sudah
tidak wajib lagi ber-Haji besar seperti sekarang ini.
Baiknya, pihak travel tidak
hanya memikirkan keuntungan semata. Mereka juga bertanggung jawab untuk
mencerdaskan masyarakat dengan jualannya tersebut.
Ini juga sama kejadiannya
seperti seorang yang menolak ber-zakat. Alasannya simple, yaitu menyamakan
sedekah Sunnah dengan zakat Wajib. Ketika ditanya kapan zakat? Dia akan
menjawab: “Loh saya kan tiap Bulan nyumbang Pesantren”, “kan saya kalau setiap
minggu nyantunin anak panti asuhan”, “saya kalau gajian pasti, saya sedekah ke
masjid dekat rumah saya, jumlahnya lumayan loh!”
Ini jelas keliru. Zakat
adalah suatu kewajiban, yang jika harta seorang muslim sudah terpenuhi nishob
dan haulnya, ya tidak ada tawar menawar lagi untuk beralasan mangkir. Sedangkan
sedekah adalah perkara sunnah, dilakukan akan mendapat tambahan pahala, dan
sah-sah saja kalau ditinggalkan. Zakat dilakukan oleh orang yang berharta, dan
sedekah bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang kekayaan. Orang
miskinpun bisa bersedekah.
Zakat wajib ada takaran
nishobnya, juga ada haulnya. Pembayarannya pun ada hitungannya, dan dibayarkan
HANYA kepada Mustahiq zakat yang 8 golongan tersebut dalam surat At-Taubah:60.
Lain halnya dengan Sedekah, tidak ada aturan jumlah uang yang harus
disedekahkan, dan tempat penyalurannya pun tidak terbilang, tidak ada pakemnya.
Selama itu jalan kebaikan, sedekah itu akan bernilai.
Dan yang terpenting ialah
bahwa sedekah itu sama sekali tidak bisa menggugurkan kewajiban Zakat. Berapa
banyak pun sedekahnya, selama zakat hartanya itu belum dikeluarkan yaa
kewajiban itu akan terus menempel.
Jadi memang penting untuk
mempelajari syariah!
Wallahu A’lam.
Membantu orang lain menjalankan ibadah dengan ikhlash dan mendapatkan keuntungan materi ? Subhanallah, akhirat dapat, dunia dapat. Tapi adakah hal semacam ini masih berlaku dizaman sekarang yang nyaris semuanya terobsesi dengan yang namanya uang ? Saya tahu travel2 maupun pribadi2 yang kerjanya mencari jama'ah umroh da haji sebanyak2nya karena hal ini = dapat fulus sebanyak2nya. Belajar syari'ah memang sangat penting. Tapi apa yang bisa diharap dari seseorang yang HANYA tamat SMA dengan 2 jam pelajaran agama disekolahnya, tidak punya dasar bahasa Arab sama sekali, kemudian kuliah di UIN empat-lima tahun dan diajar oleh dosen-dosen yang kondisi dasarnya sama dengan dia, kemudian setelah selesai kuliah sudah berani menyatakan dirinya adalah seorang ustadz? Padahal buku2 yang dibaca belumlah seberapa itupun hanya buku2 terjemahan ataupun buku2 tulisan orang2 yang juga belajar dari buku2 terjemahan. Parahnya lagi mereka juga sudah berani mengatakan bahwa Imam ini salah, Imam itu keliru. Bagaimana nasib umat Islam kalau yang bimbing adalah orang2 semacam ini? Jazaakallahu khoirol jazaa'. Wallahu a’lamu bishshowaab.
ReplyDeletemudah-mudahan mereka sadar masih banyak ilmu syariah yang harsu dipelajari... kasian juga ummat kalo yang diikuti orang-orang tak berilmu..
ReplyDeleteBaiknya agak hati2 untuk menyatakan bahwa haji kecil bukan haji. Mungkin lebih tepat kalau dinyatakan bahwa haji kecil bukan haji besar, haji agshar bukan haji akbar. Saya justru sedang di-challenge oleh pegawai saya yang ngotot ingin pinjam uang untuk umrah. Ketika dijelaskan bahwa haji dan umrah hanya wajib bagi yang mampu, ia berdalih bahwa umrah bukan haji, jadi boleh berhutang untuk menunaikan ibadah umrah.. repot kan?
ReplyDeleteSeharusnya memang harus ada penjelasan dari pihak travel atau penyelenggara umroh agar para jamaah bisa membedakan mana yang umroh atau yg jg disebut haji kecil dan haji..
ReplyDeleteDan artikel ini juga harus memberikan penjelasan yg baik, bukan hanya sekedar mencari kekeliruan yang ada. Salam
Haji Kecil, itulah sebutan lain untuk ibadah umroh yang banyak disematkan oleh mayoritas ulama, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm, yang artinya, “Dan sesungguhnya umroh adalah haji kecil..” (dishahihkan oleh Imam Ahmad dan Al-Uqaili). Sahabat sekaligus sepupu Nabi shallallahu alaihi wa salam, Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma pun berkata, “Umroh adalah haji kecil.” (dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah).
ReplyDeleteNah hadits2 ini ada dlm kitab apa ya kl boleh tau?
DeleteBuat referensi saya
Haji Kecil, itulah sebutan lain untuk ibadah umroh yang banyak disematkan oleh mayoritas ulama, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm, yang artinya, “Dan sesungguhnya umroh adalah haji kecil..” (dishahihkan oleh Imam Ahmad dan Al-Uqaili). Sahabat sekaligus sepupu Nabi shallallahu alaihi wa salam, Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma pun berkata, “Umroh adalah haji kecil.” (dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah).
ReplyDeleteSyukron...
ReplyDelete