Amanah Ilmiah, Proses Menuju Keberkahan Ilmu
gambar: al-admin.com |
Sejak lebih
dari sepuluh abad yang lalu, Ulama Muslim dari segala disiplin ilmu telah
menulis pemikiran-pemikiran dan karya –karya nya yang kalau dihitung, mungkin
tidak cukup waktu sebulan untuk menghitung jumlahnya, bahkan setahun. Dan
sampai sekarangpun kalau kita tengok ke maktabah-maktabah kelasik di berbagai
Negara, kita akan temukan beberapa manuskrip yang belum di “gali” untuk kemudian
dipublikasikan.
Sekarang,
para pencari ilmu hanya tinggal mengikuti saja apa yang sudah dirumuskan oleh
para ilmuan pendahulunya tersebut. Yang dikerjakan saat ini, tidak lebih dari
menukil (memindahkan) teori tersebut kedalam karya terbaru dan menambahkannya
saja.
Namun dalam
hal ini yang harus diperhatikan ialah ETIKA/ADAB dalam menukil. Artinya seorang
pencari ilmu tidak bisa menukil suatu pendapat atau teori yang ia ambil dari
karya ulama sebelumnya tanpa memberi pemberiatahuan bahwa itu hasil nukilan
dari ulama ini dalam kitabnya ini. Artinya tidak asal mengaku-ngaku karya orang
lain!
Para ulama
menyebutnya dengan istilah “Amanah Ilmiah”. Yaitu sifat amanah dari seorang
pencari ilmu atas ilmunya itu sendiri. Darimana dia dapatkan teori tersebut,
jangan sampai pemikiran orang lain diakui secara sepihak olehnya. Ketika sudah
terjadi penipuan dalam nukilan ilmu tersebut, artinya seorang pencari ilmu itu
tidak jujur, berarti ada praktek pencurian disini.
Dosen saya
KH. Ali Mustofa Ya’kub menyebutnya dengan istilah “Pencuri Ilmu”. Karena orang
yang seperti ini persis seperti orang yang mencuri suatu benda milik orang lain
tanpa si pemiliknya tahu kalau itu dicuri. Kalau sudah ada pencurian maka
hilanglah keberkahan. Tidak ada baginya keberkahan ilmu itu sendiri.
Karena salah
satu resep mencari keberkahan dalam ilmu ialah “Amanah Ilmiah” itu sendiri.
Tidak asal ngaku, merasa gengsi kalau harsu jiplak. Padahal memang seperti
itulah ilmu, terlebih dalam syariah. Karena semua ilmu dalam syariah ini
diperoleh dengan jalan “RIWAYAT”. Sifulan dapet ilmu dari gurunya, gurunya
fulan dapet ilmu dari gurunya juga, gurunya gururnya fulan dapet ilmu itu dari
gurunya, samai berujung kepada Nabi Muhammad saw! Jadi memang begitulah proses
memperoleh ilmu, yaitu dengan “Sanad” yang terus menyambung.
Orang
sekarang kebanyakan merasa malu dan minder kalau harus menukil pendapat yang lain
atau ulama lain sebelumnya. Merasa malu dan gengsi kalau dikatakan ilmunya itu
bukan murni dari otaknya melainkan dari otak ulama lain sebelumnya. Akhirnya
dengan begitu dia “simpan” nama ulama yang menjadi sendaran dan mengaku-ngamu
kalau itu hasil pemikirannya sendiri.
Justru ini
pendapat yang salah dan jelas keliru. Justru dengan menyembunyikan nama sumber
tersebut, itu mencederai statusnya sebagai “penuntut ilmu”. Dia malah telah
melanggar kode etik seorang pencari ilmu. Bukan penghormatan yang akan dia
dapat akhirnya tapi malah celaan dan bukan tidak mungkin keberkahan ilmu akan
dicabut oleh Allah dari dalam dirinya itu.
Amanah
Ilmiah itu bukan soal gengsi atau pamor dan reputasi. Amanah Imiah ialah soal
kejujuran dan sikap seorang penuntut ilmu terhadap ilmu itu sendiri.
Wallahu
A’lam
Salah satu bentuk amanah ilmiah yang sering kita lihat adalah dalam bentuk catatan kaki, atau tulisan op.cit, loc.cit. Tapi kalau dalam tiap halaman tulisan ilmiah atau buku seseorang pasti ada catatan kakinya satu atau dua nomor, terus yang murni dari hasil pemikirannya mana ya ? Masih mungkinkah ada orang yang mampu menulis seperti para ulama2 terdahulu tanpa ada catatan kakinya, atau paling tidak kita tidak mendapatkannya dalam tiap halaman ?. Memang banyak buku yang sering saya dapatkan nyaris bersih dari catatan kaki. Tapi saya meragukan semua itu murni dari hasil pemikiran penulis buku tersebut, kecuali itu adalah hasil dari penelitian pribadi. Mudah-mudahan saya keliru. Jazaakallahu khoirol jazaa'. Wallahu a'lamu bishshowaab.
ReplyDeletesebaiknya memang kita selalu menjadi jujur, dalam aspek apapun itu..
ReplyDelete