Tarjih Itu Pekerjaan Mujtahid

"Jadi, Pendapat mana yang lebih kuat?"

"Jadi, mana pendapat yang raajih (kuat)?"

Biasanya, ini pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul ketika seseorang mendengar pemaparan pendapat dari para madzhab fiqih yang ada tentang suatu masalah ialah, dan perndapat mereka sepertinya berselisih. Atau ada juga yang lebih berani:

"kok ngga ditarjih? Jadi yang kuat mana nih?"

Ini juga yang pernah bahkan sering dialami oleh penulis, ketika memberikan penjelasan pendapat masing-masing madzhab fiqih tentang suatu masalah yang memang tidak lepas dari perbedaan pendapat. Penanya seakan memaksa untuk ada tarjiih, dan tidak puas dengan apa yang dijelaskan oleh para imam madzhab yang memang punya kapasitas untuk itu.

Kalau pertanyaan mana yang rajih dan kuat, tentu jawabannya adalah: "semuanya raajih dan kuat! Menurut madzhab masing-masing!".

Akan tetapi jika pertanyaan berubah menjadi tuntutan untuk menjadi seorang murajjih (pelaku tarjih) yang me-rajih-kan satu pendapat dan me-marjuh­-kan pendapat lain. Pertama yang harus dilakukan ialah; sadar diri, siapa kita?

Tajih itu kan proses pemindaian beberapa pendapat dan mengeluarkan pendapat yang terkuat di antara lainnya, lalu mengamalkan pendapat yang telah dinilai tersebut. Yang tidak rajih (kuat) berarti itu marjuuh (tidak kuat), loh siapa kita berani mengatakan pendapat imam madzhab itu tidak kuat?

Tarjih, Pekerjaan Mujtahid
 
Yang harus diketahui sebelumnya adalah bahwa tarjih itu ialah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang mujtahid. Dan ini yang menjadi kesepakatan ushuliyun (para ulama ushul).

Sejak zaman Imam Al-Syafi'i sampai Sheikh Yusuf Al-Qaradhawi, semua ulama paham dan mengerti bahwa salah satu rukun tarjih adalah murajjih, dan murajjih ialah yang mempunyai kapastisan malakah ilmiah  yang kuat dan mampu menentukan dengan keilmuannya mana yang unggul dan mana yang tidak unggul. Dan itu semua ada pada diri seorang mujtahid, bukan muqallid.

Dan itu bisa diketaui dari definisi tarjiih itu sendiri yang dijelaskan oleh para ulama ushul-fiqh. kita akan sebutkan beberapa diantaranya:

Imam Al-Razi (606 H), dalam kitabnya Al-Mahshul, mendefinisikan tarjih sebagai berikut:

تقوية أحد الطريقين على الآخر ليعلم الأقوى فيعمل به ويطرح الآخر
"menguatkan salah satu thoriq (dalil) dari 2 thoriq (dalil) untuk mengetahui mana yang kuat guna diamalkan dan ditinggalkan yang tidak kuat" [1]    

Imam Abdul 'Aziz Al-Bukhori (730 H), ulama ushul dari kalangan Al-hanafiyah mengatakan:

إظْهَارِ قُوَّةٍ لِأَحَدِ الدَّلِيلَيْنِ الْمُتَعَارِضَيْنِ لَوْ انْفَرَدَتْ عَنْهُ لَا تَكُونُ حُجَّةً مُعَارِضَةً
"Tarjih adalah menampakkan kuatnya salah satu dalil dari 2 dalil yang bertentangan, yang kalau ia berdiri sendiri tidak ada hujjah yang bertentangan"[2]

Imam Badruddin Al-Zarkasyi (794 H) juga punya definisi yang sama dengan ulama sebelumnya tentang tarjih ini, beliau katakana dalam kitabnya Al-Bahru Al-Muhith:

وَهُوَ تَقْوِيَةُ إحْدَى الْإِمَارَتَيْنِ عَلَى الْأُخْرَى بِمَا لَيْسَ ظَاهِرًا
"Tarjih adalah menguatkan salah satu imarah (dalil dzonniy) dari dalil lainnya dengan sisi kuat (yang ada pada dalili) yang tidak terlihat jelas"[3]

Tidak Ada Kata Mujtahid

Dari definisi-definisi di atas memang, ulama tidak secara tegas mengatakan dalam definisi mereka bahwa itu adalah pekerjaan mujtahid. Akan tetapi kita lebih teliti, setidaknya ada 2 poin yang mencolok dalam definisi mereka, yaitu poin,

[1] Penguatan, dan

[2] Dalil yang bertentangan.

Poin pertama adalah pekerjaan menguatkan antara 2 dalil yang bersebrangan makna dan kandungan hukumnya. Lalu bagaimana bisa sorang murajjih menguatkan salah satu dalil yang bertentangan kalau ia bukanlah seorang yang tahu metode dan konsep pengambilan hukum itu sendiri? Dan itu hanya mujtahid yang mampu.

Poin kedua tentang dalil yang bertentangan [تعارض الدليلين] (Ta'arudh Al-Dalilain). Para ahli ushul menyimpulkan bahwa tidak ada tarjiih kalau tidak ada 2 dalil yang bertentangan. Nah, untuk menentukan bahwa 2 dalil itu bertentangan bagaimana? apakah mungkin seorang muqallid tahu syarat-syarat ta'arudh?.

Jangankan untuk mengetahui ta'arudh antara 2 dalil, mungkin Hamzah al-Washl dan Hamzah Al-Qath' pun seorang muqallid tidak mampu membedakannya. Bagaimana bisa muqallid seperti ini dengan pongah mengatakan dalam: "dan inilah pendapat yang rajah!" ???

Jadi tidak disebutkannya mujtahid dalam definisi-definisi ulama ushul itu karena memang mereka sadar dan paham betul bahwa pekerjaan tarjiih it bukan pekerjaan yang sembarang yang bisa dilakukan siapa saj. Akan tetapi itu pekerjaan yang berat, dan tidak bisa dilakukan kecuali oleh para mujtahid. Tidak perlu disebutkan, mereka sadar siapa yang pantas melakukan tarjiih.

Dan ini lebih jelas kalau kita buka kitab0kitab ushul, bahwa pembahasan tarjih  ini bukan dibahas di awal atau juga di tengah kitab. Akan tetapi pembahasan tarjiih itu ada di akhir kitab setelah para ulama ushul itu membahas tentang ijtihad dan mujtahid. Jelas menunjukkan bahwa tarjiih adalah bagian dari pekerjaan seorang mujtahid.

Ulama Ushul Kontemporer

Ini juga yang diaminkan dan dikuatkan oleh para ulama ushul kontemporer masa sekarang ini.

Prof. Dr. Abdul Karim Al-Namlah, seorang dosen Ushul-Fiqh di Universitas Al-Imam Muhammad bin Suud, Riyadh, dalam kitabnya Al-Muhadzdzab fi Ushul Al-Fiqh Al-Muqaran (5/2425), juga mengatakan bahwa tarjih itu adalah pekerjaan mujtahid, bukan muqallid. Beliau mendefinisikan:

تقديم المجتهد لأحد الدليلين المتعارضين؛ لما فيه من مزية معتبرة تجعل العمل به أوْلى من الآخر
"seorang mujtahid mendahulukan (menguatkan) salah satu dalil dari 2 dalil yang saling kontradiksi, didasarkan adanya factor penguat di salah satu dalil tersebut, yang menjadikannya lebih layak diamalkan dibanding dalil lain yang tidak kuat".    

Kemudian dari definisi itu, beliau menyimpulkan rukun-rukun tarjiih. Artinya perkara-perkara yang kalau salah satunya tidak ada, maka tidak bisa disebut tarjiih, karena rukun adalah sesuatu yang tidak boleh tanggal.

Dan Mujtahid, masuk di dalam rukun tarjiih tersebut. Karena kalau bukan mujtahid, siapa yang mampu menguatkan salah satu dalil yang bersebrangan?

Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Hafnawi, Dosen Ushul-Fiqh yang juga Dekan Fakultas Syariah dan Hukum di Thantha, Mesir. Beliau, dalam kitabnya Al-Ta'arudh wa Al-Tarjiih 'Inda Al-Ushuliyiin wa Atsaruha fi Al-Fiqh Al-Islami (282), setelah memaparkan definisi-definisi tarjiih dari beberapa ulama ushul, beliau mengakhiri pembahasannya dengan memberikan definisi terpilih (al-Mukhtar) tentang tarjiih:

تقديم المجتهد أحد الطريقين المتعارضين؛ لما فيه من مزية معتبرة تجعل العمل به أوْلى من الآخر
"seorang mujtahid mendahulukan (menguatkan) salah satu thariq (dalil) dari 2 thariq (dalil) yang saling kontradiksi, didasarkan adanya factor penguat di salah satu dalil tersebut, yang menjadikannya lebih layak diamalkan dibanding dalil lain yang tidak kuat".  

Jadi memang jelas, bahwa tarjiih itu pekerjaan seorang mujtahid bukan seorang mmuqallid yang memang hanya wajib mengikuti bukan mentarjih.

 "Jadi Membingungkan?"

Mungkin ada yang bertanya kemudian, jadi nantinya kalau perbedaan itu tidak ditarjih, apakah itu jadinya membingungkan?

Sejatinya, tidak adanya tarjih atau ada beberapa asatidz yang memang tidak mentarjih dan hanya memaparkan perbedaan pendapat itu bukan bermaksud untuk membingungkan apalagi membuat rancu.

Tapi mereka semua sadar diri bahwa mereka bukanlah seorang mujathid yang layak mentarjiih salah satu pendapat para imam madzhab yang derajat keilmuannya tentu jauh lebih tinggi.

Mereka, para asatidz itu hanya bertugas menyampaikan apa yang mereka dapat dari kitab-kitab turats, dan mengkonversikan bahasa kitab tersebut menjadi bahasa yang bisa dipahami dan dimengerti oleh para pembaca.

Nah, sekarang tinggal memilih dari pendapat-pendapat tersebut, pendapat mana yang memang cocok dengan kita, pembaca. Dan perlu dipahami lagi, sejatinya perbedaan yang ada itu bukan sesuatu yang berbahaya, maka tidak perlu takut dan ragu untuk mengambil salah satunya.

Dan sesama muqallid hendaklah menghormati dan saling menghargai pilihan masing-masing. Bukan memaksakan apalagi sampai menghina dan mengejek muqallid lain yang memilih fatwa dari mujathid yang berbeda dari pilihannya.

Dan perihal muqallid dan taqliid ini sudah beberapa kali kita bahas dalam forum ini. Bagaimana mestinya taqlid, dan bagaimana pula baiknya seorang sikap seorang muqallid.

Wallahu a'lam.  


[1] Al-Mahshul li Al-Razi 5/397
[2] Kayful-Asrar 4/78
[3] Al-Bahru Al-Muhith 8/145

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya