Pertemuan Imam Abu Hanifah dan Imam Zaid bin Ali

Imam Abu Hanifah (150 H) ternyata sempat bertemu, bahkan berdialog dengan Imam Zaid bin Ali Zainal-‘Abidin (122 H), yang merupakan imam madzhab Fiqih Zaidiyah. Ketika itu Imam Abu Hanifah memang sudah dikenal sebagai salah satu dari Fuqaha’ Al-‘Iraq (ahli fiqih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih Al-Kufah yang terkenal banyak menggunakan qiyas dalam mengistinbath sebuah hukum syariah.

Sayangnya, kabar penggunaan qiyas dan juga ra’yun (Istihsan) sering dinegatifkan oleh sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama fiqih Iraq sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak meninggalkan atsar/hadits dalam menentukan sebuah hukum syariah. Padahal sejatinya tidak demikian.

Kabar itu sangat membuat Imam Zaid bin Ali marah, akhirnya ketika bertemu dalam salah satu perjalanan hajinya, Imam Abu Hanifah yang memang sudah tahu kebesaran dan keluasan ilmu Imam Zaid bin Ali langsung mendatangi beliau dan mempekenalkan diri. Kemudian Imam Zaid bin Ali bertanya:

“kamu yang bernaa Nu’man bin Tsabit yang dari kufah itu? Kamu yang merubah agama kakekku (Nabi Muhammad saw) dengan qiyas?”

Imam Abu Hanifah menjawab; “Maadzallahu. Aku sama sekali tidak pernah merubah agama kakek anda wahai guru dengan qiyas! Aku menggunakan qiyas pada perkara yang memang tidak ada dalilnya dari al-quran dan sunnah serta qaol sahabiy”

Imam Abu Hanifah meneruskan: “sebagai bukti kalau aku tidak merubah agama Muhammad saw dengan qiyas, aku punya 3 pertanyaan untuk anda, tua guru! Mana yang lebih lemah, laki-laki atau wanita?”

Imam Zaid bin Ali menjawab: “wanita lebih lemah dari laki-laki!”, Imam Abu Hanifah: “baik, agama kakekmu katakana bahwa untuk laki-laki itu 2 jatah (waris), dan wanita satu jatah. Dan aku pun mengatakan demikian, sama seperti kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakana bahwa wanita dapat jatah 2 dan laki-laki satu, karena wanita itu lebih lemah dari laki-laki. Karena ia lemah maka pantas untuk mendapat lebih. Tapi aku tidak katakan demikian.”

Imam Abu Hanifah: “kedua, mana yang lebih afdhol, puasa atau sholat?”, Imam Zaid bin Ali: “tentu sholat lebih afdhol dari puasa!”.

Imam Abu Hanifah: “ya. Sholat lebih afdhol dari puasa. Agama kakekmu bilang bahwa wanita yang haidh tidak mengqadah sholatnya tapi mengqadha puasanya. Dan akupun berendapat seperti apa yang dikatakan oleh kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakan wanita haidh harus mengqadah sholatnya bukan puasanya, karena sholat lebih afdhol dari puasa.”

Imam Abu Hanifah: “ketiga, mana yang lebih najis, air mani atau air kencing?”, Imam Zaid: “air kencing lebih najis dari air mani.”

Imam Abu Hanifah: “ya. Air kencing lebih najis daripada air mani. Agama kakekmu juga katakan bahwa cukup wudhu untuk air kencing dan harus mandi (janabah) untuk air mani. Dan akupun mengatakan demikian! Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakana bahwa untuk air kencing mandi, dan untuk air mani cukup wudhu saja, karena air kencinglebih najis daripada air mani. Tapi aku tidak katakana begitu!”

Mendengar jawabannya itu, Imam Zain bin Ali langsung memeluk Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan mencium keningnya.
 --------------------
Terkait kabar tentang ahli fiqih Irqa meninggalkan hadits dan beralih kepada qiyas atau ra’yu, tidak mutlak dibenarkan. Karena mereka juga menggunakan hadits, hanya saja memang kadar penggunaan qiyas jauh lebih banyak dibanding dengan hadits atau atsar. Tentu bukan karena tanpa sebab. Banyak factor yang membuat ahli Iraq menggunakan ra’yu dalam pengambilan hukum, sebagaimana sahabat yang menjadi bibit terciptanya madrasah Al-Iraq ini, yaitu Ibnu Mas’ud 932 H) dan juga Imam Ali bin Abi Thalib (40 H).

Fuqaha Al-Hijaz (Mekah dan Madinah) pun demikian, mereka dikenal sebagai madrasah fiqih yang banyak menggunakan hadits. Padahal tidak demikian, mereka juga punya kadar tertentu yang mana mereka menggunakan ra’yu sebagai media pengambilan hukum, yang hasilnya sering disebut dengan istilah maslahah. Dan ini banyak dipraktekan oleh Imam mereka sendiri, sayyidina Umar bin Khaththab (23 H).

Dan kemudian juga diteruskan oleh para 7 AHli Fiqih Madinah yang hampir kesemuanya menjadi penasehat keagamaan bagi khalifah ketika itu. Di antaranya ialah Said bin Al-Musayyib (94 H), juga ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah (94 H) yang menjadi penasehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H).

Dan sejatinya agak keliru juga kalau madzhabnya Imam Abu Hanifah dikatakan sebagai pewaris madrasah Kufah/’Iraq saja, karena dalam catatan hidupnya, Imam Abu Hanifah jua mewarisi fiqih Madrasah Atsar dari Mekkah melalui ‘Atha’ bin Abi Rabah (114 H). yang mana beliau berguru langsung kepada ‘Atha’ ketika berada di Mekkah dan sempat tinggal lama, bahkan terulang setiap tahun. Karena sejarawan menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah pergi haji dalam hidupnya sebanyak 55 kali, jadi frekuensi pertemuannya pun sangat lama.
------------
Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.

Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.

Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.

Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”

Wallahu a’lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya