Janji Hibah Tapi Tidak Diserahkan, Bagaimana?

Beberapa yang sering diributkan dalam masalah waris ialah adanya seseorang, baik dari ahli waris atau bukan mengaku bahwa si mayit (Pewaris) pernah menghibahkan sejumlah harta ketika masih hidup, akan tetapi belum diserahkan.

Seperti orang yang berjanji akan memberikan (hibah) sesuatu pada orang lain, namun ucapannya tidak langsung disusul dengan pemberian. Jadi si A mengatakan kepada si B: "nih, hape ane buat ente aja!", atau juga dengan redaksi: "laptop ane buat ente, nanti ambil ya di rumah!".

Di sini sering jadi sumbu permasalahan, apalagi ketika si pemberi (wahib) belum sempat menyerahkan, tapi terlanjur dijemput ajal dahulu. Maka yang jadi masalah, status harta yang dijanjikan diberi itu, apakah itu tetap milik si mayit, atau itu sudah jadi milik orang yang dijanjikan diberi (Mauhub Lahu).

Kalau itu tetap milik mayit, maka itu jadi harta peninggalan (tarikah) yang harus dibagikan kepada ahli waris. Tapi kalau hanya dengan janji itu, barang tersebut jadi milik si orang yang diberi itu, maka itu jadi milik si orang yang dijanjikan diberi, dan harus dikeluarkan dari harta yang dibagikan kepada ahli waris. Karena waris haruslah harta murni si pewaris. Tidak tercampur!

Lalu bagaimana jika terjadi masalah ini?

Maka kita kembalikan ke hukum hibah itu sendiri. perlu diketahui bahwa rukun hibah itu ada 3:
[1] Al-'Aqidan (2 pelaku akad); Pemberi dan Penerima
[2] Al-Mauhub (barang yang dihibahkan)
[3] Shighoh Al-Hibah (redaksi Hibah); Ijab dan Qabul.

Dari ketiga rukun ini, masing-masing mempunyai syarat khusus (walaupun ulama tetap berbeda pendapat dalam syarat masing-masing rukun). Artinya rukun-rukun ini belum cukup sampai setiap rukun itu memenuhi syaratnya masing-masing.

Nah, yang erat hubungannya dengan pembahasan yang kita angkat kali ini ialah pembahasan tentang status barang tersebut, yaitu barang yang sudah dijanjikan akan diberi namun belum diserah-tangan-kan oleh si pemberi kepada si penerima.

Dalam hal ini ulama mulai mengkrucutkan pertanyaan menjadi; apakah syarat barang hibah itu, barang yang dijanjikan itu harus langsung diserah-tangan-kan? Mereka menyebutnya dengan istilah Al-Qabdh [القبض].

Atau hanya dengan janji saja, tanpa diberikan secara fisik serah terima tangan pun barang tersebut sudah menjadi milik si mauhub, karena sudah dikatakan dan sudah diterima oleh si orang yang dijanjikan itu (Ijab Qabul)?

Harus dengan Qabdh (serah terima barang)

Jumhur madzhab fiqih, Bahwa hibah itu berlaku dan sah ketika barang yang dijanjikan diberi itu harus sudah serah terima tangan (qabdh) oleh si penerima. (Al-Inshaf 1/147, Tuhfatul-Muhtaj 6/307)

Kalau Cuma akad ijab qabul, yaitu janji akan memberi kemudian di-iya-kan oleh si penerima, itu tidak bisa dikatakan hibah yang sah, dan barang belum bisa berpindah kepemilikan.

Dalil mereka adalah Ijma' Sahabat Nabi saw, bahwa mereka tidak mengenal adanya hibah kecuali memang jika harta yang dihibahkan itu sudah diserah-tangan-kan oleh si pemberi hibah kepada yang menerima (Qabdh).

Ini makin diperkuat dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-hakim dalam Al-Mustadrak­-nya, bahwa Nabi saw pernah mengatakan kepada Ummu Salamah:

"Aku menghadiahkan jubbah (penutub badan) kepada raja Najasyi, akan tetapi, belum sampai pemberianku, ia telah meninggalkan, lalu itu dikembalikan, maka jubbah itu untuk mu" (HR Al-Hakim)

Hadits ini memberikan penjelasan bahwa jika barang itu tidak diserah-tangan-kan oleh pemberi kepada si penerima, artinya penerima tidak mendapatkan itu, maka itu dikembalikan ke Nabi dan Nabi membaginya kepada Ummu Salamh. Kalau seandainya hanya dengan janji memberi itu barang menjadi milik orang yang dijanjikan, pastilah jubbah itu tidak akan kembali kepada Nabi, akan tetapi menjadi milik anak keturuna Najasyi.

Dalil Aqli

Mereka juga memakai qiyas dalam hal ini, yaitu; semua sepakat bahwa hibah itu adalah akad tabarru' (sukarela). Kalau hanya dengan janji (akad ijab qabul) barang hibah itu menjadi milik si penerima. Maka itu berarti si penerima di kemudian hari boleh menuntut si pemberi jika barang yang dijanjikan tak kunjung diterima.

Ini membingungkan dan aneh menurut para ahli fiqih, bagaimana bisa ada tuntutan dalam akad sukarela. Namanya saja sukarela (tabarru') ya tidak mungkin sesuatu yang sukarela dituntut.

Zaman Sekarang

Zaman sekarang mungkin agak sulit menggambarkan ini semua, karena banyak barang zaman sekarang yang sulit dipindah-tangan-kan dengan sebentar. Jadi bagaiaman jika ada seseorang ingin menghibahkan akan tetapi barang tersebut sulit untuk dipindah-tangan-kan?

Ulama juga mengatakan bahwa salah sayarat lainnya dalam barang mauhub (pemberian) ialah Mahuzan [محوزا], yang kalau dikonversi dalam bahasa Indonesia mungkin diistilahkan dengan "dikuasai". Jadi walaupun ia belum diberikan (qabdh), tapi barang tersebut sudah bisa dikuasi. Bagaimana?

Misalnya seperti rumah, barangnya memang tidak bisa dipindahkan, akan tetapi surat-suratnya sudha ada di tangan si penerima yang telah diserahkan oleh si pemberi. Atau juga seperti kendaraan, baik besar atau kecil.

Akta Notaris

Nah, ini juga penting. Bahwa akta notaris menjadi penting dalam hal ini agar menghindari perpecahan yang sekiranya akan terjadi nanti selepas pemberi meninggal dunia. Jika sudah dibuktikan bahwa si fulan telah memberika kepada si fulan denan bukti surat yang kuat dan punya kekuatan hukum, maka ini jauh lebih baik. Bahkan ada beberapa ulama yang mewajibkan itu demia terjadinya maslahat antara masing-masing pihak.

Wallahu a'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya