Minum Pil Penahan Haidh Untuk Puasa Ramadhan
Karena
saking semangatnya berpuasa, akhirnya beberap wanita banyak yang mengambil
jalan untuk menahan haidhnya keluar agar tidak mengganggu waktu berpuasa dengan
meminum pil atau sejenisnya. Apakah Boleh seperti ini?
Pendapat
Jumhur ulama memang memberikan kebebasan kepada perempuan manapun yang ingin
berpuasa full tanpa diganggu oleh tamu “bulanan”-nya yang bisa menahan
keinginannya untuk berpuasa. Ya sejatinya memang tidak mengapa,
Jadi,
ketika ada wanita yang ingin berpuasa full selama ramadhan lalu minum pil
penahan haidh agar tidak terjadi haidhnya, Jika memang benar haidhnya tidak
terjadi dia tetap dalam kedaan suci, karena suci ia tetap boleh berpuasa.
Tapi,
disamping sepakat dengan pendapat jumhur ulama diatas, saya punya beberapa poin
yang sepertinya memang mesti diperhatikan.
**Pertama:
Kesehatan.
Wanita
memang sejak awal diciptakan sudah menjadi fithrahnya bahwa mereka harus
mengeluarkan darah haidh disetiap bulannya. Tentu berbeda tanggal dan jumlah
hari masa haidhnya.
Dan
darah haidh itu ialah darah penyakit. Ini keistimewaan bagi para wanita, mereka
diberika jeda waktu disetiap bulannya untuk mengeluarkan penyakit dari dalam
tubuh mereka. Dan kalau yang seharusnya penyakit itu dikeluarkan setiap bulan
kemudian mereka tahan-tahan untuk tidak keluar, berarti itu sama saja dengan
menanam penyakit dalam diri.
Membiarkan
penyakit tumbuh dalam tubuh itu suatu perbuatan yang rentan sekali menimbulkan
bahaya dalam diri. Dan dalam syariahnya Islam selalu menutup jalan untuk
terjadinya hal-hal berbahaya yang menimpa ummatnya.
Dalam
kaidah Fiqih disebutkan الضرر يزال yang artinnya “segala bentuk yang
berbahaya itu harus dihilangkan”. Jadi syariah Islam jelas melarang segala
bentuk apapun itu yang akhirnya hanya menimbulkan ke-mudhorotan bagi
pemeluknya. Menahan suatu penyakit yang semestinya keluar memlaui darah haidh
dari tubuh seorang wanita adalah suatau kemudhorotan yang mesti ditinggalkan.
**Kedua:
Ibadah di Bulan Ramadhan bukan hanya berpuasa.
Ini
yang semsetinya semua ummat Islam mengetahuinya, apalagi wanita. Wanita selalu
beranggapan bahwa ketika datang tamu bulanan-nya itu, serasa ibadah tertutup
rapat untuknya dan semua pahala tak tersedia untuk mereka yang sedang haidh.
Padahal kalau diteliti lebih jauh, masih banyak pahala yang Allah sediakan
untuk ummatNya ini, terlebih bagi wanita. dan amat sangat banyak sekali ibadah
yang bias dikerjakan oleh mereka walaupun dalam keadaan haidh, apalagi saat
bulan ramadhan.
Wanita
haidh yang tidak berpuasa masih sangat bias untuk dia meraup pahala ibadah
sebanyak-banyaknya dibulan ramadhan ini. Contoh yang paling kecil ialah, ia
memasak untuk keluarganya makanan sahur dan berbuka. Harus diyakini bahwa itu
ibadah yang pasti berpahala. Dan kita sama-sama tahu bahwa siapa yang
memberikan makan berbuka untuk mereka yang berpuasa maka ia mendapatkan pahala puasa
sama seperti mereka yang berpuasa.
Membangunkan
keluarga untuk sahur, atau teman sekamar bagi ia yang tinggal di kos atau
kontrakan atau juga pesantren, itu juga termasuk ibadah yang pasti Allah tidak
akan lupa untuk memcatatnya. Bagi yang telah berkeluarga yang mempunya anak
lebih banyak lagi. Menyiapkan dan memakaikan sarung atau mukena untuk anak-anak
mereka yang ingin melaksanakan sholatpun itu dihitung sebagai ibadah.
Menghormati
orang lain yang sedang berpuasa dengan tidak asal makan didepan umum pun itu
akan dicatat sebagai suatu kebaikan. Dalam Islam tidak ada kebaikan, sekecil
apapun itu kecuali itu akan menjadi simpanan amal kebaikan. Terlebih ini
terjadi pada Bualn Ramadhan.
Dan
masih banyak lagi ibadah yang lainnya. Jadi bagi para wanita yang haidh tidak
mesti khawatir kehilangan nilai ibadah dengan datangnya tamu bulanan mereka.
mereka memang tidak berpuasa, tapi pahala yang Allah siapkan untuk mereka
sangatlah banyak walaupun mereka tidak berpuasa, dan rugi sekali kalau tidak
dimanfaatkan.
**Ketiga:
Masuk Ramadhan itu Nikmat.
Ramadhan
tahun lalu, kita mungkin masih menjalankannya bersama keluarga, ayah ibu kakak
adik dan juga paman bibi, lengkap seluruh anggota keluarga bahkan teman. Tapi
mungkin mereka yang dulu bersama kita tidak bias lagi bersama menjalankan
ramadhan ini karena mereka telah lebih dulu meninggalkan kita.
Dan
kita, masih diberikan umur oleh Allah untuk masih tetap menjalankan dan mengisi
ramadhan ini dengan berbagai bentuk ibadah. Dan harus diyakini bahwa ini adalah
nikmat yang agung, dimana Allah masih memberikan kita umur untuk terus
beribadah kepadanya. Berarti kita adalah orang-orang pilihanNya.
Nah.
Nikmat inilah hendaknya kita syukuri dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Allah yang memang sudah ditetapkan untuk kita ummatNya. Wanita sudah ditetapkan
untuk dia ber-haidh sekali dalam sebulan, dan itu nikmat karena itu penyakit
yang dikeluarkan dari dalam tubuh.
“dan
syukurilah Nikmat Allah jika kamu hanya menyembah Kepada-Nya” (QS Al-Nahl 114). “bersyukurlah
kepada-Ku (Allah) dan janganlah kau ingkar kepada-Ku” (QS Al-Baqoroh 152). “dan
sembahlah-Ia (Allah) dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu
akan kembali” (QS Al-Ankabut 17)
Nikmat
bisa masuk Ramadhan inilah yang hendaknya jangan dibalas dengan kita menginkari
nikmatnya yang lain, yaitu menerima haidh sebagai fitrah wanita yang pastinya
itu juga berguna sebagai penyaluran darah kotor/penyakit untuk dibuang.
**Keempat:
Banyak Waktu untuk Mengganti
Dari
sekian banyak wanita yang saya temui, mereka serign menjawab: “males kalo kudu
ganti dibulan laen, mending sekarang aja abisin semua biar ngga susah-susah
ganti”.
Buat
saya ini alasan yang tidak argumentative. Kalau yang menjadi penghalang adalah
malas, ya semua ibadah kalau gitu bisa saja ditinggalkan karena malas. Dan
alasan ini benar-benar tidak berdasar sama sekali. Malas, banyak kegiatan,
sibuk ngurus ini, sibuk kuliah dan sebagainya.
Coba
kita hitung sama-sama! Dalam setahun itu ada 360 hari menurut kalender Masehi,
dipotong hari-hari ramadhan yang 30 hari, berarti sisanya 330 hari. Kemudian
dipotong hari 2 hari ied-Fithr dan Adha yang memang diharamkan untuk berpuasa,
juga hari tasyriq tanggal 11, 12,13 Dzulhijjah. Berarti sisa hari kosong untuk
kita mengganti puasa nya ada 325 hari.
Apa
mungkin masih ada kata malas untuk mengganti hari-hari ramadhan yang hanya
ditinggalkan mungkin 10 atau 15 hari (masa haidh paling lama dalam mazhab
syafi’i) dengan waktu yang disediakan yaitu 325 hari itu?
Dan
mengganti puasa Ramadhan di bulan selain ramadhan itu tidak mesti berurutan.
Kita diberikan kebebasan untuk mengganti kapan saja kita mau. Mungkin dalam
seminggu kita kosongkan satu hari untuk mengganti puasa yang tertinggal
diramadhan. Minggu berikutnya demikian.
Bahkan
seandainya pun kita meninggalkan puasa selama 30 hari penuh itu, 325 hari itu
amat sangat banyak dan bahkan terlalu banyak untuk kita menunaikan hutang
ramadhan kita.
Kalau
alasannya males karena ribet atau sibuk kalau harus ganti diluar ramadhan, yaa
semua ibadaha itu berat memang dilakukan, dan karena berat itulah, Allah pun
menyiapkan ganjaran yang setimpal.
Dan
memang yang namanya kewajiban itu memang berat untuk dilakukan, pastilah sang
“malas” itu selalu menggoda manusia untuk meninggalkannya. Dalam kitabnya
“Raudhotun-nadzir” Imam Ibnu QUdamah ketika menjelaskan tentang Amr dan Nahyu,
beliau mensifati bahwa suatu kewajiban itu mempunyai sifat “Masyaqqoh” yaitu
berat. Dan memang semua ibdadah itu berat untuk dilakukan kecuali buat mereka
yang diberkahi dan ditunjuki jalan oleh Allah swt untuk selalu bisa taat dan
menjalankan semua perintah-Nya.
**Kelima:
Akan Timbul “Tahawun” (penyepelean) terjadap syariah
Yang
paling dikhawatirkan nantinya jika memang wanita dengan seenaknya mengatur
jadwal ibadahnya sendiri tanpa menghiraukan bahwa fithrahnya sang wanita itu
harus haidh disetiap bulannya adalah timbul rasa tahawun atau menyepelekan
syariah agama yang jelas-jelas telah diatur oleh Allah swt sesuai dengan
fithrahnya manusia itu sendiri.
Karena
“malas”nya itu, si wanita dengan seenaknya saja menahan masa haidhnya yang itu
pasti berbahaya untuk kesehatannya, supaya ngga repot-repot lagi mengganti. Ini
kan jadinya seaka-akan dia mengatur sendiri teknis ibadahnya tanpa
memperdulikan ada fithrah dan ketentuan yang diabaikan.
Seperti
orang yang karena malas, jadinya ia berkesimpulan untuk melakukan sholat subuh
di malam hari jem sepuluh sebelum tidurnya. Agar nantinya ia tidak lagi
repot-repot bangun subuh untuk sholat subuh. Walaupun ini adalah analogi yang
tidak sesuai dengan masalah yang kita bicarakan, tapi sumber masalahnya sama,
yaitu “males” ibadah dan menyepelekannya.
**Kesimpulan
Tentu
pastinya dari apa yang disebutkan diatas, banyak sekali celah dan salahnya.
Sekali lagi saya tidak melarang para wanita untuk meminum pil penahan haidh,
karena ulama pun tidak mempermasalahkan itu. Tapi hendaknya wanita itu lebih
baik dia berada tetap dalam fithrahnya sebagai wanita, dan hendaknya pula
memperhatikan aspek-aspek yang telah disebutkan diatas.
Kalau
ada yang memakan pil penahan haidh itu, ya puasanya tetap sah toh haidhnya
tidak keluar. Tapi alangkah baiknya ia mempertimbangkan dahulu sebelum meminum
pil tersebut. Mungkin aspek-aspek pandangan diatas bisa membantu untuk itu
semua.
Karena
bagaimanpun setiap pilihan, harus dipertimbangkan nilai positif dan negatifnya.
Apalagi ini berkaitan dnegan masalah syariah yang tidak boleh asal-asalan saja.
**Beda
Puasa Beda Haji
Tapi
berbeda dengan masalah haji. Ulama sejagad raya ini setuju untuk memperbolehkan
bagi wanita meminum pil penahan haidh jika ia telah masuk waktu pelaksanaan
haji dan dikhawatirkan datang waktu haidhnya.
Karena
bagaimanapun, meminum pil penahan haidh diwaktu haji karena sebab-sebab
tersebut itu jauh lebih baik dari pada ia harus membiarkan haidhnya keluar.
Kalau haidhnya keluar, sulit sekali baginya untuk kembali lagi ke tanah haram
di tahun yang akan datang, sedangkan system di setiap Negara muslim apalagi
Indonesia, tidak akan membolehkan seorang pergi haji berturut-turut (kecuali
pembimbing). Dan tentu biayanya sangat besar.
Wallahu
A’lam.
Comments
Post a Comment