Hukum Nikah Misyar


Seperti yang telah digambarkan diatas tadi, Nikah Misyar ialah : Nikah dengan akad pernikahan yang sah secara syariat, terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hanya saja sang wanita dengan sukarela dan Ridho hak-haknya sebagai Istri tidak terpenuhi, seperti nafkah, tempat tinggal, dan jatah Qosam/tinggal bila sang suami beristri lebih.


Dalam eksintensinya, seperti yang telah disebutkan tadi diartikel sebelumnya, bahwa Nikah Misyar ini ialah jenis nikah yang memang benar-benar baru dalam penerapannya, dan memang belum pernah ditemukan pada masa-masa terdahulu. Jadi tidak mungkin kita temukan pembahasannya di kitab-kitab Turots para ulama sepuh kita.

Namun bukan karena ini tidak pernah dibahas oleh Ulama-ulama terdahulu lalu kemudian ditinggalkan saja, tidak. Ulama pada zaman dimana jenis nikah ini berkembang, mereka membahas ini sampai sekarang. Dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pasti ada perbedaan dalam pengambilan hukum.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini hanya terbagi kedalam 3 kelompok pendapat saja; yaitu kelompok ulama yang membolehkan namun dengan ke’makruhan’. Yang kedua ialah Kelompok ulama yang mengharamkan. Dan kelompok ketiga ialah mereka yang “Tawaqquf”, artinya tidak mengatakan boleh dan juga tidak mengatakan tidak boleh, kalau sitilah yang lebih kerennya mereka Abstain dalam masalah ini.

Yang Membolehkan.
Mereka yang membolehkan jenis pernikahan ini mengatakan bahwa nikah Misyar sama seperti nikah-nikah yang lain yang sah secara syariat; rukun-rukunnya terpenuhi, syaray-syarat ada dan tidak ada larangan dalam akad yang dilanggar dalam pernikahan ini.

Hanya saja istilahnya yang berbeda, dan pembedaan ini hanya terletak pada bahwa istri rela dan ridho bahwa hak-haknya sebagai istri tidak terpenuhi. Ia rela tidak tinggal bersama sang suami, ia juga rela bahwa suaminya tidak menafkahinya.

Dan yang namanya hak pernikahan yang dimiliki masing-masing oleh suami dan istri. Masing-masing dari kedua boleh saja menggugurkan hak-hak itu sebagaimana ia juga boleh mempertahankan hak-hak nya. Jadi kalau si istri rela dengan jenis Misyar ini ya sah-sah saja.

Toh hubungan yang mereka lakukan berdasarkan akad yang sah, jadi bukan hubungan yang haram.

Dan dalam hal pengguguran hak dari si istri untuk tidak dipenuhi bukanlah sesuatu yang baru dalam syariat. Ini telah ada contohnya pada masa Nabi Muhammas SAW. Dalam suatu kesempatan (ketika Nabi sakit), salah satu istri beliau yang bernama Saudah binti Zum’ah pernah memberikan harinya yang semestinya Nabi bersamanya dihari itu, ia rela memberikan satu hari yang tersisa itu untuk ‘Aisyah ra. (HR Bukhori dan Muslim)

Namun pernikahan seperti ini, walaupun sah secara syar’i, ini sangat tidak dianjurkan (makruh). Karena pernikahan seperti ini menghilangkan Maqosid Syariah yang ada pada syariah pernikahan itu sendiri.

Yang Mengharamkan.
Dan mereka yang mengharamkan jenis pernikahan ini bersandar pada beberapa hal, seperti:
  1. Jenis pernikahan ini sangat jauh berbeda dengan pernikahan yang sesuai dengan aturan syariat.
  2. Dan ini adalah jenis pernikahan yang baru yang belum banyak diketahui oleh khalayak kaum Muslim.
  3. Pernikahan ini terkandung didalamnya syarat-syarat yang justru mencederai akad nikah itu sendiri.
  4. Pernikahan ini tidak mewujudkan Maqoshid Al-Syariah dalam pernikahan itu sendiri. Dari mulai meniadakan kewajiban tempat tinggal, nafkah, dan yang lainnya. Dan mungkin tidak juga terwujud dalam pernikahan jenis ini lahirnya anak.
  5. Ini akan menjadi sebuh pintu untuk kerusakan dan pengrusakan dalam syariat nikah ini. Dengan dibolehkannya nikah seperti ini orang akan dengan seenaknnya melakukan akad namun tanpa peduli akan terwujudnya keharmonisan dalam keluarga. Dan tentu akan banyak sekali nilai-nilai negative yang akan timbul dari pernikahan sejenis ini.
Wallahu A’lam      

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya