Tidak Ada "Kenapa" Untuk Allah SWT!


Ketika mengisi pelatihan tentang “Mawaris” di daerah Kemang Jakarta Selatan, ada seorang peserta pelatihan bertanya,
“stadz, kenapa ya Allah menurunkan Ayat waris di surat An-Nisa’?”

Buat saya ini pertanyaan yang aneh dan jelas salah redaksi. Dan sama sekali saya tidak punya kuasa untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Seharusnya pertanyaan itu bukan seperti itu redaksinya, tapi begini: “Apa Hikmah diturunkannya ayat Waris?” atau lebih tepat lagi kalau bunyinya seperti ini: “Apa asbab nuzul ayat waris ini?”

Kalau pertanyaannya seperti yang saya sebutkan tadi, itu masih bias dijawab dan memang ada penjelasaannya. Tapi kalau pertanyaan yang pertama itu tidak ada ada jawabannya. Karena pertanyaan “kenapa” untuk syariat yang telah di tetapkan oleh Allah SWT itu berarti “gugatan” kepada Allah yang telah membuat syariat tersebut.


Dan pertanyaan “Kenapa” ini tidak boleh keluar dari mulut seorang muslim atau bahkan terbesit dalam hati seseorang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir.

Karena dengan bertanya “kenapa” terhadap syariat yang telah diturunkan itu berarti kita telah menggugat Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur kehidupan dunia ini. Dan ‘Gugatan” itu lahir dari ketidak senangan, atau ketidak Ridhoan seseorang kepada apa yang dihadapinya. Berarti ia tidak senang dengan syariat Islam itu sendiri, muslim yang tidak senang kepada sayriat berarti imannya perlu dipertanyakan.

Pertanyaan “kenapa” lahir dari kurang kuatnya Iman dalam diri ini. Terkadang atau sering kali dalam hal agama, kita harus menanggalkan subjektifitas-subjektifitas kita sebagai manusia. Tidak bias semuanya diukur dengan akal manusia. Tapi harusnya imanlah yang kita dahulukan dalam mengukur setiap hal dala beragama.

Dan pertanyaan “kenapa” juga berarti kita telah menghukumi Allah tentang apa yang Ia telah tetapkan, dan ini sungguh tidak layak bagi seorang hamba. Bagaimana bias ia menggugat dan mempertanyakan Tuhannya akan apa yang telah Ia tetapkan?.

“Dia (Allah) tidak ditanya akan apa yang telah Ia kerjakan, akan tetapi merekalah (manusia) yang akan ditanya” (QS Al-Anbiya’ 23)

Kalau selalau mengukur dengan ukuran manusia, yaitu otak dan akal, akal manusia tidak akan sampai dan tak akan menemukan jawaban yang pasti. Karena seberapapun kejeniusan manusia, manusia tetaplah makhluk yang lemah dan punya banyak keterbatasan. Tapi tidak dengan sang maha Pencipta yang tidak ada kekurangan apapun.

Sebagai muslim, kita dituntut untuk selalu tunduk dengan apa yang dibawa oleh agama ini. Baik itu perintah, larangan, atau informasi-informasi yang datang dari sumber syariah; Al-Quran dan Sunnah.  Dan juga sebaliknya, jika kita melanggar, ada konsekuensi yang harus kita terima.

Dalam Al-quran, Allah SWT dengan gambling mengatakan bahwa tiada cela bagi manusia untuk menolak semua yang telah diperintahkan. Surat Al-Ahzab ayat 36

“dan tidaklah pantas bagi seorang mukmi; laki-laki dan perempuan, jika Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan untuk (mereka) punya pilihan lain dalam urusan-urusan mereka . dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasulNya, sungguh ia telah tersesat dalam kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab 36)

Jadi sangat jelas sekali, bahwa seorang muslim wajib tunduk dengan apa yang telah diperintahkan. Bukan mencar-cari “kenapa” ini diperintahkan. Allah-lah yang berhak memerintahkan kita, Allah pulalha yang tahu apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk kita. Karean Dia-lah sang maha pencipta. Jadi Dia-lah yang tahu segala.

Terlebih bahwa diakhir ayat tersebut ada ancaman jika kita meninggalkan apa yang telah diperintahkan, “dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan rasulNya, sungguh ia telah tersesat dalam kesesatan yang nyata” .

Dalam ayat lain juga dijelaskan hal demikian, yaitu ancaman adzab yang pedih jika kita meninggalkan perintah syariah.
“dan hendaklah mereka yang melanggar perintah RasulNya itu takut akan ditimpa musibah dan siksaan yang pedih” (QS An-Nur 63)

Jadi otaklah yang harus tunduk pada syariat, bukan otak yang selalu menghukumi syariah. Karena memang akal manusia yang sehat itu pasti tunduk akan apa yang telah dibawa oleh syariat agama ini.
Rasul SAW besabda:
“Demi zat yang mengenggam jiwa ini, sungguh tidak beriman seseorang diantara kalian (tidak sempurna imannya) sampai hawa nafsu mengikuti apa yang telah aku bawa (syariah agama)” (Hadits shahih ayng diriwayatkan di dalam kitab Hujjah yang disusun oleh Abu Al-Fath Nashr Ibnu Ibrahim Al-Maqdisy dengan sanad shahih)  

Termasuk juga dalam masalah musibah atau bencana. Seorang muslim tidak dibenarkan menanyakan dan menggugat Allah dengan bertanya “kenapa musibah?”. Kenapa musibah itu diturunkan tentu karena banyak hikmah, dan Allah tidak pernah mendzolimi hambaNya kecuali hamba itu sendiri yang mendzolimi dirinya sendiri.

Dalam musibah gempa atau tsunami misalnya, penilitian dan jwaaban yang diberikan oleh para peniliti atau ilmuan tentang “kenapa” itu bisa terjadi. Itu bukan jawaban untuk sola “kenapa”, akan tetapi itu jawaba untuk soal “bagaimana” gempa atau tsunami itu bias terjadi.
“kenapa terjadi?” hanya Allah yang tahu itu semua.

Maka dari itu Rasul dari jauh-jauh hari telah mengingatkan dan mengajarkan kita agar selalu memohon kepada Allah untuk diberikan kelembutan hati agar bias menangkap semua hikmah dibalik setiap kejadian.

Wallahu A’lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya