Belajar Jadi Pejabat Dari Umar bin Khotthob


Kemarin kita kembali dibuat kesel oleh ulah salah seorang petinggi partai penguasa dinegeri ini. Anas urbaningrum (Ketum partai Demokrat) Ia dengan seenaknya mengganti nomor plat mobilnya, yang sudah jelas ini adalah pelanggaran terhadap hukum. Dan kalau menurut saya, ini adalah pelecehan buat kepolisian.
Ketika dikonfirmasi tentang hal ini, ia mengelak dan mengatakan bahwa ini kerjaan sopir pribadinya agar tidak dikenali wartawan dan dikejar-kejar mobil itu. Sulit ditermia laesan tersebut, lah bagaimana bisa seorang supir dengan berani menggangi nomor plat mobil majikannya kecuali dengan perintah majika itu sendiri. Okelah kalau memang itu pekerjaan supirnya, lalu kenapa dan apa susahnya buat dia untuk meminta maaf kepada public?

Sangat sulit belakang ini menemukan figur teladan dalam jajaran pejabat negeri ini, baik itu yang legislative ataupun eksekutif. Ada tapi jumlahnya sangat sedikit jika dibanding dengan jumlah keseluruhan para pejabat.
Aneh. Padahal ia seorang muslim yang jelas tahu mana yang mesti dikerjakan dan mana yang mesti ditinggalkan. Terlebih lagi bahwa eorang muslim segala amalnya terikat dengan hukum-hukum taklify; halal, haram dan sebagainya. Anehnya lagi, beliau adalah mantan organisasi mahasiswa Muslim. Bagaimana ini bisa terjadi.

Dengan kekuasaan dan dengan jabatannya, ia merasa bisa mengelabui hukum kemudian menjadi orang yang terjaga dari sentuhan-sentuhan hukum. Pejabat macam apa yang seperti ini?
Saya jadi teringat kisah Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin KHotthob yang dengan rendah hati dan kebesaran jiwanya, ia kembali mengoreksi keputusannya tentang hal "mahar pernikahan" hanya kerena ada seorang perempuan Quraisy paruh baya yang menegurnya. Karena apa yang diputuskan oleh sayyidina Umar itu tidak sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.

Karena banyaknya perempuan yang ingin dinikahi ketika itu meminta mahar yang cukup besar. Melihat masalah tersebut, Umar mengeluarkan keputusan untuk membatasi bahwa mahar untuk wanita maksimalnya sampai 400 dirham. Dan ini keliru, padahal dalam syariah tidak ada pembatasan dalam mahar.
Mendengar keputusan yang keliru seperti itu, seorang perempuan quraisy berdiri dan langsung menegur sang Amirul-Mukminin: "wahai Amirul-Mukminin! Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menurunkan ayatnya (An-Nisa' 20)"

Seketika, Umar langusang tersadarkan dan benar-benar menyadari bahwa ia telah salah membuat keputusan.  "Ya Allah! Ampunilah aku. Ternyata semua orang lebih pintar dari Umar" katanya setelah mendapat teguran itu.

Kemudian ia menaiki mimbar dan menarik kembali apa yang telah diputuskannya itu. Jadi siapapun yang ingin memberikan mahar untuk calon istrinya dipersilahkan tanpa ada batasan. (Kanzul-'Amal  No. 45798)

Tanpa malu, sayyidina Umar mengungkapkan bahwa ia bersalah dan meminta maaf kepada perempuan paruh baya itu sekaligus berterimakasih atas koreksi yang diberikan. Umar yang terkenal gagah tiba-tiba tunduk oleh perkataan seorang perempuan.

Akhirnya menjadi masyhurlah perkataan sayyidina Umar tersebut yang dalam bahasa Indonesia seperti ini: "kembali pada kebenaran (walau pahit) itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebathilan"

Begitulah seorang pemimpin. Tetap mau ikut peraturan dan tidak malu mendapat teguran. Dan ketika ditegur ia langsung mengoreksi diri bukan malah menghardik si pengoreksi.

Atau yang lebih dekat dengan kita, yaitu Sultan Hamengkubuwono IX. Seperti yang telah saya tulis ceritanya di postingan sebelumnya. Bagaimana dengan legowonya, sang sultan mau ditilang dan minta ditilang karena memang sudah melakuakn pelanggaran lalu lintas ketika itu. Padahal sang Briptu sudah membolehkan sang sultan utuk terus melanjutkan perjalanan. Tapi sultan tetap minta ditilang.

Lihat bagaimana! Sayyidni Umar lebih sholeh dan lebih dicintai warganya dibanding si ketua partai yang mengganti nomor plat mobilnya itu, tapi sayyidina Umar tetap mengaku bersalah dan mau meminta maaf.
Sultan hamengkubuwono lebih berkuasa dan tentu lebih kaya dari anak muda ketua partai itu, tapi sang sultan tetap meu TAAT aturan.

Penegak hukumnya, polisi  pun sama juga tak memberi teladan. Ia mengetahui dengan sangat jelas bahwa itu suatu pelanggaran, tapi malah seakan-akan tidak ada pelanggaran yang serius. Dan hanya memberikannya teguran. Kalau pelanggaran yang seperti ini saja dibiarkan, lalu bagaiaman yang lebih besarnya.
Entah apa yang ditakutkan oleh sang polisi ini? Inilah tanda kerusakan bangsa ini, dimana hukum hanya berlaku pada orang kecilnya yang tidak mempunyai apa-apa namun kepada para petingginya tumpul setumpul-tumpulnya.

Ini yang telah dijelaskn oleh Nabi Muhammad SAW bahwa kehancuran suatu kaum itu disebabkan karena hukumnya tidak berlaku seimbang untuk atas dan bawah. Sabda beliau SAW:

"sesungguhnya kaum-kaum sebelum kamu telah hancur karena ini. Yaitu jika ada dari para petinggi kaum tersebut yang mencuri, mereka tidak menghukumnya, tapi ketika yang mencuri itu orang lemah, mereka menegakkan hukumannya.

Demi Allah, seandainya Fatimah Binti Muhammad (anakku) itu mencuri, pastilah aku akan potong tangannya" (HR Bukhori & Muslim)

Jadi tinggal pilih saja, apakah kita akan hancur seperti umat terdahulu?

Wallahu A'lam

 

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya