Perbedaan Rukun dan Sunnah Shalat

Ketika menjelaskan tentang sunnah-sunnah shalat, ada yang bertanya "kenapa ulama-ulama madzhab itu membedakan antara rukun shalat yang mana tida boleh ditinggalkan, dengan sunnah shalat yang mana boleh ditinggalkan. Padahal semuanya datang dari Nabi s.a.w.? semuanya dari Nabi s.a.w. kenapa harus dibedakan, boleh dan tidak boleh ditinggalkan dalam shalat?"


Saya kemudian menjawab bahwa yang namanya rukun shalat itu disebut juga oleh ulama dengan istilah fardhu-fardhu shalat. Secara bahasa fardhu itu berarti sesuatu yang paten, terukur, pasti, tetap. Maka itu, ilmu waris disebut juga dengan ilmu "Faraidh", kalimat itu adalah bentuk plural dari kalimat "Faridhah", yang berarti ukuran yang pasti. Karena memang "faraidh" adalah kumpulan ukuran paten yang pasti bagi para ahli waris.


Dari sini bisa disimpulkan bahwa sesuatu yang tidak paten dan tidak punya ukuran yang pasti, tidak bisa dikatakan sebaga "Fardh", karena Fardhu haruslah sesuatu yang pasti, paten dan punya ukuran yang pasti tidak berbilang atau tidak bias.


Nah, dalam ritual shalat ini, memang semua gerakannya dari Nabi s.a.w., yang banyak dicontohkan oleh para sahabat ridhwanullah 'alayhim. Akan tetapi ada gerakan dalam shalat itu yang selalu dikerjakan, tidak pernah ditinggalkan Nabi dan ukurannya pasti tidak bias. Itulah fardhu shalat yang tidak boleh tertinggal. Contohnya Takbiratul-Ihram. Nabi s.a.w. selalu membuka shalatnya dengan takbiratul-ihram, itu paten tidak pernah tertinggal, dan ukurannya pasti; karena Nabi s.a.w. tidak pernah membuka dengan hal lain.


Akan tetapi ada sesuatu yang memang Nabi s.a.w. lakukan dalam shalat, akan tetapi Nabi s.a.w. kadang dengan model ini, kadang juga dengan model itu. Atau sebuah doa dalam shalat, Nabi s.a.w. memang membaca, akan tetapi kadang dengan redaksi yang ini, kadang dengan redaksi yang itu. Nah ini yang tidak masuk dalam kategori "Fardhu", karena tidak pasti, dan tidak punya ukuran yang paten. Sesuatu yang fardhu tidak Fardhu kecuali punya ukuran yang paten.


Contohnya, mengangkat tangan ketika takbiratul-ihram. Nabi memang melakukan, selalu melakukan, akan tetapi modelnya kadang sampai kuping, kadang juga sampai dada. Ukurannya tidak pasti dan tidak paten. Karenanya, ulama menghukumi mengangkat tangan ketika takbiratul-ihram sebagai sesuatu yang sunnah dalam shalat, bukan fardhu.


Contoh lain adalah doa istiftah atau iftitah. Nabi s.a.w. memang melakukan, akan tetapi redaksinya tidak paten. Kadang dengan redaksi "Allahu akbar akbiraa …", kadang juga dengan redaksi "Inni wajjahtu wajhiya …. ", kadang juga dengan redaksi "allahumma ba'id bainiy …", dan bahkan Nabi s.a.w. juga pernah membuka shalatnya hanya dengan Ta'awudz. Karena itu, doa iftitah tidak termasuk dalam fardhu atau rukun shalat, ia masuk dalam jajaran sunnah-sunnah shalat.


Contoh lain juga adalah memberikan isyarat dengan telunjuk ketika tahiyat. Nabi s.a.w. melakukannya, akan tetapi tidak punya ukuran yang paten; Karena dalam beberapa riwayat Nabi s.a.w. menggerakkannya, kadang pun tidak. karenanya ulama tidak memasukkan itu ke dalam rukun atau fardhu shalat yang kalau tertinggal membatalkan shalat. Memberikan isyarat telunjuk itu sunnah dalam shalat. Begitu juga takbir di setiap pergantian rukun, kalau ini jelas, Nabi s.a.w. kadang mengucapkannya, kadang juga tidak.


Yang saya sebutkan ini bukanlah jawaban yang meng-cover semua jawaban atas pertanyaan di atas. Ini bukan satu-satunya, ini hanya salah satunya selain hadits al-Musi' shalatahu yang masyhur itu. Tapi bagi saya, ini jawaban yang sederhana untuk disampaikan dan dipahami. Dan sudah teruji.


Wallahu a'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya