Menyikapi Perbedaan Awal Ramadhan

Dalam penentuan awal bulan Ramadhan, ada 3 metode yang digunakan oleh para ulama; 
[1] Wujudl-Hilal, 
[2] Imkanur-Ru'yah (visibilitas), 
[3] Ru'yatul-Hilal. 
Dan ketiga metode ini dipakai oleh banyak ormas di Indonesia. Masing-masing orams punya identitasnya sendiri.

Kita tidak akan membahas ketida metode tersebut, karena memang saya tidak menguasai ilmu itu. Akan tetapi yang akan kita bahasa disini ialah, bagaimana sikap kita sebagai warga dalam menyikapi perbedaan awal Ramadhan nanti yang mungkin terjadi atau selalu terjadi.

Karena memang metode yang dipakai berbeda, jadi ya hasil yang muncul juga pasti berbeda. Jadi memang perbedaan pada awal Ramdhan rasany sudah menjadi sebuah keniscayaan. Tapi yang penting itu bagaimana kita menyikapi perbedaan yang akan terjadi nanti.

Keputusan Ada di Penguasa

Dalam fiqih, penguasa ialah badan tertinggi yang mempuanyi wewenang penuh dalam menaggulangi perbedaan yang terjadi pada rakyatnya. Dalam litelatur, istilah dikenal dengan sebutan Hakim atau Sulthon.

Ya yang pasti bahwa penguasa, keputusannya selalu final dan tidak bisa diganggu lagi. Harus ditaati dan tidak boleh disanggah, apalagi dibantah, kecuali memang keputusannya benar-benar menyimpang dari apa yang digariskan oleh Allah swt dan Rasul saw.

Karena itu ada kaidah dalam fiqih yang masyhur, yaitu [حكم الحاكم إلزام يرفع الخلاف] "Hukmul-Haakim Ilzaamun Yarfa'u Al-Khilaf (Keputusan hakim adalah suatu yang harus ditaati sebagai pemutus perbedaan)

Termasuk juga dalam masalah penentuan awal Ramadhan. Pihak yang paling berhak memutuskan ialah Hakim atau Sulthon. Ketok palu awal Ramadhan dan juga syawal ada di meja penguasa. Dan itu yang memang diajarkan oleh baginda Nabi saw.

Bukti bahwa dalam sejarah syariah, Imam sebagai kepala tertinggi Negara yang memutuskan awal Ramadhan dan Syawal banyak sekali. Salah satu contohnya ialah hadits Ibnu Umar ra.

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ  أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim)

Ada poin penting dalam hadits tersebut, yaitu kata [فأخبرت] (aku melaporkan). Ibnu Umar yang memang seorang faqih dan mengerti hukum, tidak mentang-mentang melihat hilal lalu kemudian ia menetukan sendiri tanggal awal Ramadhan. Akan tetapi beliau melaporkan kepada Nabi saw yang memang ketika itu sebagai kepala Negara.

Maksudnya bahwa keputusan dan ketok palu awal Ramadhan ada di tangan hakim, bukan individu. Jadi bukan karena seorang ulama, mengerti rukyah dan sebagainya, ketika melihat hilal langsung saja berpuasa. Tidak seperti itu!

Pun juga dijelaskan dalam hadits lain bahwa seorang yang melihat hilal, siapapun itu tetap harus melapor dan emberika keputusan sepenuhnya pada hakim.

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ  فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Seorang a'rabi datang kepada Nabi SAW dan melapor, "Aku telah melihat hilal". Rasulullah SAW bertanya,  "Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?". Dia menjawab, "Ya". Beliau berkata, "Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok". (HR. Tirmizy dan An-Nasa'i)

Catatan Sejarah

Sejak 14 abad silam, sejak syariah puasa ini diturunkan dan sampai sekarang, sejarah memang semua keputusan yang berkaitan dengan awal Ramadhan dan Syawal itu ada di tangan pemerintah, bukan ormas, bukan juga individu.

Ulama-ulama kita sejak dulu kala mencontohkan itu, dimanapun itu, Negara manapun itu, memang semua keputusan ada di tangan pemerintah.

Di Negara-negara Timur Tengah, itu juga banyak ormas keagamaan, sekte, atau juga aliran dan sejenisnya. Dan masing-masing kelompok juga punya metode untuk menentuka awal bulan dan juga mempraktekkannya.

Tapi ketika sudah keluar keputusan dari sang pengusas, mereka semua legowo. Walaupun hasilnya beda dengan apa yang kelompok mereka hasilkan, mereka semua tetap tenang dan taat ikut keputusan pemerintah.

Padahal sesam aliran saja mereka bisa saling mengkafirkan. Tapi mereka semua paham dan mengerti bahwa keputusan pemerintahlah yang memang layak dan harus dijalankan. Ketika sudah keluar keputusan, selesai juga perdebatan.

Mungkin kah Kita Bersatu Dengan Identitas Berbeda?

Dan harusnya memang Indonesia bisa belajar dari itu semua, legowo menerima keputusan hakim walaupun metodenya berbeda dengan metode kelompok kita. Tapi kalau ada pertanyaan; "Mungkin kah kita akan berpuasa dan ber-lebaran bareng?"

Jawabannya: "Mungkin, tapi sulit. Atau dibalik saja, Sulit tapi mingkin", tinggal pilih saja yang mana sukanya. :D

Beberapa waktu lalu saya pernah duduk bareng, mendiskusikan ini dengan Prof. Dr. Susiknan Azhari, belia adalah seorang guru besar ilmu Falak dari UIN Yogyakarta dan merupakan salah satu petinggi Muhammadiyah.

Beliau dengan terang-terangannya menyatakan bahwa ini soal identitas. Mau kah kita melepas identitas kita untuk persatuan umat? Kalau memakai metode kelompok itu akan menonjolkan identitas, dan memang itu yang dicari. Tetapi rela kah kita melepas identitas ini dengan rela ikut bersama yang lain?

Kalau masing-masing tetap keukeuh akan identitas masing-masing, yaa selesai sudah perkara. Impian puasa dan lebaran barenga cuma jadi hiasan wacana di media saja. Sangat sulit bisa terwujud, kecuali kalau kebetulan. Kebetula hitungan rukyah dan hisabnya sama. Itu saja!

Puasa dan Lebaran Bareng

Artikel ini pada intinya mengajak para pembaca agar tidak usah repot-repot mencari metode sendiri, atau mncari ormas mana yang kira-kira lebih Nyunnah, dan mendekati kebenaran. Tidak perlu repot seperti itu.

Cukup ikut pemerintah, dan itu sudah sebuah tuntunan yang memang Nabi dan para sahabat ajarkan kepada kita. Toh mereka, tim rukyah pemerintah bukanlah orang yang bodoh. Mereka semua ahli di bidang masing-masing. Ada yang ahli astronomi, ada juga ahli falak, dan sebagainya.

Jadi mengikuti pemerintah dalam hal ini ialah suatu yang memang suatu keharusan. Dalam hadits, Nabi saw menjelaskan.

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
"Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha."  (HR. At-Tirmizy)

Para ulama sepakat dengan maksud hadits diatas, yaitu untuk kita tidak melawan arus. Melawan arus mayoritas dengan memutuskan awal Ramadhan sendirian atau hanya bersama kelompok.

Ikut penguasa berarti ikut mayoritas. Dan itu sunnahnya.

Lalu bagaimana Jika memang Sudah benar-benar melihat Hilal, namun pemerintah tidak menerima kesaksiannya?

Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa yang masyhur dari madzhab Hanabilah adalah bila seseorang hanya sendirian melihat hilal, sementara manusia satu negara tak seorang pun dari mereka yang melihat hilal, maka khusus bagi dirinya yang melihat langsung dengan mata kepala, dia wajib berpuasa sendirian. (Al-Mughni 3/156)

Menutup artikel ini, saya mengutip kata-kata Alm. KH. Zainudin MZ perihal masalah ini, beliau mengatakan: "awal ramadhan, awal syawal, ikuti pemerintah. Ikut mayoritas rame-rame. Ibarat naek mobil, kan enak nyampenya rame-rame. Kalau pun nyasar, nyasarnya rame-rame juga, ngga sendirian."

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya