Hak Cipta Dalam Pandangan Syariah
Dalam sejarah litelatur Islam memang tidak dikenal istilah Hak
Cipta atau Hak Paten atau sejenisnya dalam arti bahwa penemuan ilmiahnya itu
dilindungi oleh undang-undang, sehingga tidak ada satu orang atau pihak manapun
yang bisa menjiplak atau mencontek penemuan tersebut kecuali dengan izin penemu
aslinya.
Karena memang sejak dahulu kala, para ilmuan Islam bekerja dan
berkarya bukan untuk memperjuangkan haknya sebagai penemu, atau sebagai ilmuan.
Akan tetapi, beliau-beliau semua berkarya karena memang sebuah ketundukan
kepada Allah swt yang telah menganugerahkan akal dan pikiran untuk mereka
berfikir.
Dan hasil pemikiran yang telah diberikan Allah tersebut, entah itu
berupa sebuah buku ilmiah, atau barang dan sejenisnya, mereka dedikasikan itu
semua untuk kemaslahatan umat. Dan manusia setelahnya bebas memakai serta
mengambil manfaat dari apa yang telah dihasilkan tanpa harus membayar kepada
beliau si penemu sepeser pun.
Dan memang para ilmuan musllim itu tidak mengharapkan itu semua,
yang mereka kejar hanya ridho Allah swt dan penerimaan Allah swt atas apa yang
mereka lakukan itu semua. Coba saja bayangkan kalau seandainya Imam Bukhori
meminta loyalty kepada setiap penerbit dan percetakan yang menyebarkan
hadits-hadits shohih yang sudah beliau kumpulkan selama bertahun-tahun? Kita
tidak mendapati itu kan?
Lalu kita juga tidak mendapati bahwa Ibnu Al-Haitham, sang ilmuan
optic meminta loyalty dan penghargaan kepada para produsen kamera. Karena
beliau yang pertama kali tercatat sebagai penemu kamera.
Kita juga tidak mendapati Imam Al-Zohrawi yang meminta loyalty
kepada seluruh dokter dan universitas medis karena telah menyebarkan dan
mengajarkan ilmu bedah yang telah beliau kreasikan pertama kali. Tidak beliau
tidak juga keluarga beliau.
Bermula Di Perancis
Justru wacana Hak Cipta ini muncul dari orang-orang barat, karena
memang manhaj hidup mereka yang serba materi dan duniawi, walaupun memang tidak
semua mereka seperti itu. Tapi memang mayoritas mereka bekerja untuk memperkaya
diri dan sejenisnya.
Tercatat bahwa wacana ini muncul pertama kali di Perancis sekitar
tahun 1791 M, yang menginginkan bahwa setiap ilmuan harus mandapatkan
perlindungan dan pengharagaan materi atas karya yang dihasilkan.
Kemudian wacana ini terus berlanjut dan akhirnya menjadi
undang-undang resmi Negara dengan berbagai perubahan dan penambahan materi
undang-undang sekitar tahun 1967 M.
Lalu seiring berkembangnya zaman, manusia dari waktu ke waktu terus
berinovasi dan berkreasi, makin banyak penemuan ilmiah yang terbaharui, membuat
Negara-negara muslim akhirnya berpikir untuk mengikuti aturan ini. Mangadopsi
undang-undang eropa dalam ketetapan Hak Cipta ini termasuk Negara kita
Indonesia.
Dengan tujuan untuk melindungi hak sang ilmuan yang sudah bersusah
payah bekerja mengotak-atik otak yang kemudian melahirkan sebuah karya ilmiah
yang bernilai tinggi. Baik itu berupa hasil pemikiran yang dituangkan dalam
sebuah buku, atau juga sebuah benda fisik yang punya fungsi dan menolong banyak
hajat manusia lain.
Hak Etik dan Hak Materi
Dalam Hak Cipta ini, setidaknya ada 2 hak penemu atau ilmuan yang
dilindungi dan terjaga rapih; [1] Hak Etik, dan [2] Hak Materi.
Hak Etik contohnya ialah bahwa setiap orang yang menirukan atau
mengutip (kalau itu sebuah pemikiran) atau mengerjakan sesuatu yang sama dengan
karya si penemu, ia harus mencamtumkan nama si penemu aslinya. Tidak
mengaku-ngaku bahwa itu miliknya padahal itu hasil jiplakan dan copi paste dari
orang lain yang merupakan penemu aslinya.
Kalau untuk urusan Hak Etik, para ulama muslim telah jauh
mencontohkan ini. Karena memang para ilmuan muslim sangat menjunjung tinggi
nilai etik dalam menuntut ilmu. Istilahnya disebut dengan “Amanah Ilmiah”, pertanggung
jawaban ilmiah disebutnya.
Bahwa setiap mereka mesti mencantumkan nama ulama yang kata atau
karyanya mereka kutip. Tidak serta merta mangaku bahwa itu karya mereka, dan
sama sekali tidak ada rasa malu untuk menyebut nama orang lain dalam karyanya.
Justru ada kebanggaan jika memang ada nama ulama besar yang tercantum dalam
karyanya.
Hak Materi memberikan otoritas penuh bagi si penemu atas
penemuannya tersebut. Baik itu memberikan nama, label, dan juga otoritas
reparasi jika terjadi kekeliruan atau juga penambahan materi dan sejenisnya.
Dan yang pasti bahwa setiap nilai materi yang dihasilkan dari
penjualan karya tersebut (kalau memang dikomersialkan) kembali ke kantong
pribadi penemu. Dan siapapun itu atau pihak manapun itu tidak berhak menjual
dan mengkomersilkan barang atau karya temuannya kecuali dia harus menyetorkan
hasil komersialisasi itu kembali ke penemunya.
Karena memang undang-undang melindungi hak materi si penemu untuk
menerima setiap sen yang dihasilkan dari hasil karyanya tersebut.
Pandangan Syariah
Nah dalam hal hak materi dimana si penemu atau ilmuan itu menerima
materi dari karya yang dihasilkan, ulama ternyata tidak pada satu suara. Ada
kelompok ulama yang membolehkan dan ada kelompok ulama yang justru melarang
menerima bayaran atau materi dari karya yang dihasilkan.
Lebih luasnya, kelompok ulama ini melarang adanya Hak Cipta bagi
setiap karya yang dihasilkan. Karena sejatinya karya yang dihasilkan itu ialah
buah pikiran dan otak, otak ialah hasil pemberian Allah swt, dan setiap
pemberian Allah swt harus kembali kepada Allah swt untuk kemaslahatan manusia
lain.
Kalau ada Hak Cipta justru itu mempersempit maslahat, karena orang
lain tidak bisa memanfaatkannya secara bebas kecuali dengan membayar atau
sejenisnya. Berikut dalil-dalil dari masing-masing kelompok sebagaimana direkam
oleh DR. Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam kitabnya [فقه
النوازل] “Fiqh Al-Nawazil”, sebagaimana juga ditulis oleh DR.
Wahbah Al-Zuhaily dalam Kitabnya [المعاملات المالية
المعاصرة] “Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muashiroh”.
Yang Melarang
Kelopmpok ulama yang melarang adanya Hak Cipta semacam ini
berpegang dengan beberapa dalil, diantaranya;
Pertama:
Membuat karya atau menuliskan suatu informasi ilmu adalah sama
halnya mneyebarkan ilmu pengetahuan, dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu
memang sebuah kewajiban seorang muslim. Karena itu kewajiban, maka tidak ada
imbalan untuk sebuah kewajiban. [لا شكر على الواجب] “Laa Syukro ‘Ala Al-Waajib”
Kedua:
Membuat suatu karya ilmiah kemudian mengunci dengan sebuah Hak
Cipta sehingga tidak ada orang yang bisa mengaksesnya kecuali dengan membayar
dan sejenisnya adalah salah satu bentuk menyembunyikan ilmu [كتمان العلم] yang dilarang oleh syariah. Hadits Nabi
saw:
مَنْ
سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia
menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat nanti
dengan tali pecut dari neraka”
Yang Membolehkan
Ini adalah suara mayoritas ulama komtemporer sekarang ini yang
digawangi oleh Majma’ Fiqih Islam Internasional, dan sudah secara jelas
mendukung adanya Hak Cipta melalui keputusan muktamar ke-5 di Kuwait tahun 1988
tentang Hak Paten dan sejenisnya. Dalil mereka:
Pertama
Kalau dikatakan oleh kelompok yang melarang bahwa menyebarkan hasil
intelektual itu adalah suatu kewajiban karena bagian dari menyebarkan ilmu,
maka tidak ada imbalan untuk ilmu. Pernyataan ini jelas tidak selamanya benar. Dalam
hadits disebutkan:
إِنَّ
أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan
(ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil imbalan
atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa yang dikandung
oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan serta sains yang mnejadi
kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil
manfaat berupa imbalan materi dari itu.
Kedua
Sebuah karya ilmiah merupakan sebuah kemanfaatan yang dinikmati
untuk maslahat ummat, dan ulama 4 madzhab sepakat bahwa sebuah manfaat itu
mempunyai nilai materi dengan bukti bahwa Nabi saw pernah menikahkan seorang
sahabat dengan mahar Hapalan Quran-nya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin
Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi saw pernah menikahkan salah seorang
sahabat dengan mahar hapalan quran yang ia miliki.
قَدْ
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal
dari Qur’an” (HR Abu Daud)
Kalau hapalan Al-Quran bisa menjadi barang bernilai dan menjadikan
sesuatu yang haram menjadi halal, maka mengajarkan dan menyebarkan pemahaman
tentang apa isi Al-Quran melalui karya ilmiah juga layak untuk diberi imbalan.
Dan bahkan lebih layak.
Ketiga
Menghasilkan sebuah karya intelektual adalah pekerjaan otak dan
sekaligus pekerjaan tangan sendiri. Dan Nabi saw sangat menghargaia sebuah
pekerjaan yang dihasilkan tangan sendiri bahkan beliau mensifati itu sebagai
penghasilan yang paling baik.
قِيلَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُور
Nabi saw pernah ditanya tentang penghasilan apa yang paling baik?
Beliau mnenjawab: “ialah penghasilan dari kerja tangannya sendiri, dan semua
jual beli yang baik” (HR Imam Ahmad)
Keempat
Ada maslahat (kebaikan) yang lahir dengan adanya Hak Cipta ini, yaitu
bisa memberikan motivasi bagi para ilmuan-ilmuan lain untuk terus berkarya.
Karena tahu bahwa karyanya mendapat penghargaan dan dilindungi oleh
undang-undang yang sangat ketat, para ilmuan termotivasi untuk terus melahirkan
karya-karyanya.
Dan karya-karay para ahli otak itu tentu angat bermanfaat bagi
manusia khalayak dan juga bagi agama. Dengan adanya karya yang dihasilkan, itu
berarti jalan menuju kecermelangan generasi semakin terbuka lebar. Dan kemajuan
menjadi sebuah ekspektasi yang bukan lagi angan-angan belaka dengan banyaknya
karya intelektual yang muncul.
Jadi ada maslahat untuk kedua belah pihak, bagi khalayak dan juga
bagi si ilmaun itu sendiri. Dan maslahat adalah salah satu dasar pertimbangan
hukum dalam syariah. Jadi memang Hak Cipta sejalan dengan semangat syariah
untuk memajukan umat.
Kelima
Kaidah Fiqih [دفع المفاسد مقدم على جلب
المصالح] “Daf’u Al-Mafasid Muqoddam ‘Ala Jalbi Al-Masholih” (mencegah
keburukan lebih didahulukan daripada memberikan manfaat) menuntut adanya Hak Cipta.
Membiarkan sebuah karya bisa ditiru dan dijiplak untuk disebar manfaatnya
memang sebuah kebaikan dan sebuah kemaslahatan. Tapi ada mafsadah (kerusakan)
yang nantinya timbul, bahwa karena tahu bahwa karya yang dihasilkan tidak
mendapat penghargaan public dan juga tidak dilindungi, malah bisa digandakan
serta ditiru sebebasnya justru membuat para ahli fikir ogah untuk
menuangkan karyanya lagi.
Akhirnya nanti umat akan sepi dengan karya-karya para ilmuan yang
tentunya ini sebuah kerugian besar buat umat. Para ilmuan menjadi antipati
untuk terus berkarya karena karyanya tidak mendapat tempat yang layak.
Dan memang sebuah hal yang manusiawi bahwa manusia ingin dihargai
dengan apa yang ia telah hasilkan berupa karya emas yang memberikan banyak
manfaat kepada umat.
Keenam
Hak Cipta juga mewujudkan adanya pertanggung jawaban ilmiah. Kalau
sebuah karya tidak dilindungi dengan hak cipta, lalu kemudian disebar, disebar,
disebar dan seterusnya hingga tidak diketahui siapa yang memulai, maka tidak
diketahui juga siapa yang akan bertanggung jawab atas karya ini kalau memang
terjadi kerusakan atau kesalahan. Siapa yang punya hak paten untuk meluruskan
ini semua.
Padahal dalam syariat kita dituntut unutuk bertanggung jawab atas
apa yang kita katakana, kita perbuat dan kita lakukan. Dengan adanya Hak Cipta,
setiap karya memiliki “bapak” kandungnya yang sah yang bisa dimintai
pertanggung jawaban atas karya intelektualnya tersebut.
Ketujuh
Sesuai dengan kaidah [الغنم بالغرم]
“Al-Ghunmu Bil-Ghurmi”, dan [الخراج بالضمان]
“Al-Khoroj bi Al-Dhoman”. Maksudnya orang yang telah bersusah payah akan
menhasilkan dan mendapatkan sesuatu dari apa yang ia kerjakan.
Membuat suatu karya adalah pekerjaan sulit yang tidak semua orang
bisa, maka mendapatkan imbalan dan lainnya dari apa yang ia hasilkan berupa
karya ilmiah dan sejenisnya layak mendapatkan imbalan yang sesuai.
Jadi memang syariat Islam ini juga mengakui adanya perlindungan
yang harus diberikan kepada setiap kayra intelektual yang dihasilkan dan juga
kepada setiap pembuat kayra tersebut untu mendapatkan haknya atas apa yang
telah iala kerjakan dengan susah payah.
Adapun anggapan bahwa ini bagian dari menyembunyikan ilmu, jelas
tidak 100% bisa dibenarkan. Yang namanya menyembunyikan ilmu ialah tidak mau
menjawab dan tidak mau menjelaskan sesuatu yang ditanyakan padahal ia tahu
jawabannya atas pertanyaan itu.
Dan upaya membuat karya serta melahirkan sebuah kekayaan
intelektual ialah upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan public itu, dan
bukan menyembunyikan ilmu. Hanya saja memang ada pertanggung jawaban atas ilmu
yang diberikan, dan bentuk pertanggugn jawabannya itu ya dengan Hak cipta.
Dan ancaman bagi para penyembunyi ilmu dengan dipecut dengan
pecutan dari neraka itu jika memang si ilmua menolak untuk menyalurkan ilmunya
dalam sebuah karya ilmiah dan menutup akses bagi siapapun untuk menimba ilmu
dari beliau. Berbeda dengan konsep Hak Cipta.
Wallahu A’lam
Mohon Maaf boleh di tampilkan sumbernya sebagai refernsi..
ReplyDelete