"Mana Dalilnya?'

Belakangan muncul –entah sejak kapan- banyak sekali kelompok yang selalu saja meminta dalil atas setiap pendapat yang dikeluarkan oleh seorang ulama fiqih terhadap sebuah hukum fiqih. Mungkin ini karena pengaruh masiv-nya artikel-artikel yang dilabelkan fiqih zaman sekarang, tapi isinya hanya hadits dan ayat, tanpa disertakan dalil.

Seakan menimbulkan kesan bahwa fiqih itu ya begitu. Padahal artikel-artikel semacam itu bukan murni artikel fiqih, "Seem like fiqh but it's not". Karena fiqih itu bukan kumpulan hadits dan ayat, tanpa ada Taujiih-dalil-nya.

Pertanyaan Aneh

Aneh rasanya kalau menanyakan sebuah dalil kepada seorang ahli fiqih, mungkin dalam sebuha forum ilmiah, seperti kelas, kuliah atau semacam diskusi, itu bisa dibenarkan. Akan tetapi dalam forum biasa dimana seorang guru yang menukil pendapat para imam madzhad dari kitab-kitab fiqih mereka. Ini aneh sekali.

Atau juga seorang sheikh yang telah melewati pendidikan syariah yang sangat panjang, dan beliau memang sudah mumpuni, bahkan sangat mumpuni dalam hal ysriah serta fiqih.  

Sama anehnya seperti menanyakan dalil/bukti kepada seorang polisi jalan raya yang memberi petunjuk jalan kepada seorang yang bertanya. Apa layak ia berkata: "Pak, Polisi! Apa buktinya kalau jalan ini akan mengantarkan saya menuju daerah Slipi?", ini aneh!

Bagaimana tidak, seorang polisi jalan raya yang memang kesehariannya bekerja di jalan raya dan sudah barang tentu ia pasti mengetahui arah-arah jalan kemana dari setiap jalanan yang menjadi daerah tugasnya, kemudia ditanya "Apa Buktinya?". Seorang yang berakal sehat pasti tidak akan bertanya itu. Karena dengan otak yang sehat, dia akan sadar bahwa polisi tidak mungkin tidak tahu, bagaiman tidak tahu, toh memang ini pelerjaan beliau.

Sama anehnya ketika seorang pasien datang ke dokter lalu mengadukan penyakit yang menggangu kesehatannya. Setelah diperiksa, sang dokter memberikan resep kepada pasien tersebut untuk mengindari makan ini dan itu, lalu untuk tidak melakukan hal ini dan itu, dan memerintahkan untuk membeli obat A dan B agar penyakitnya bisa sembuh.

Lalu sang pasien bertanya: "Dok, apa buktinya kalau obat A dan B ini bisa menyembuhkan penyakit saya? Adakah bukti riset yang dokter punya tentang ini? Lalu apa buktinya kalau hal ini dan hal itu bisa mempercepat kesembuhan saya? Apa dokter punya bukti otentik atas apa yang dokter katakana itu?". Aneh bukan?!

Seorang yang mempunyai akal sehat sudah pasti tidak akan bertanya seperti itu, dengan sigap dan yakin, ia pasti percaya kemudian mengiyakan apa yang dikatakan dokter. Kenapa? Karean dia yakin bahwa memang dokter itu bertugas untuk itu, untuk mengobati si pasien. Dan sudah barang tentu, si dokter pasti tahu mana obat yang layak untuk pasien penyakit A, atau pasien penyakit B.

Kalau ada yang bertanya seperti itu kepada polisi atau dokter, itu berarti ia sudah tidak percaya lagi dengan polisi dan dokter, kalau sudah tidak percaya kepada dokter dan polisi, lalu untuk apa sejak awal datangi mereka?!?! Tinggalkan saja, dan buat ramuan sendiri! Kalau memang mampun.

"Apa Dalilnya?"

Ya. Menurut penulis, pertanyaan "Apa Dalilnya?" kepada seorang ulama fiqih, atau juga seorang sheikh yang mengajarkan fiqih dan beliau memang mumpuni dalam bidangnya tersebut, seperti menanyakan "Apa buktinya?", kepada dokter untuk sebuah obat, atau kepada polisi untuk petunjuk jalan. Benar-benar aneh.

Bagaimana bisa seorang ulama fiqih yang keilmuannya sudah muktamad dan muktabar, diragukan ilmunya, padahal apa yang keluar dari mulut beliau semua bukanlah pendapat hawa nafsu belaka. Akan tetapi lahir dari sebuah ijtihad yang sangat panjang dan keras. Begitulah seorang ahli fiqih.

Seorang ahli fiqih sadar bahwa pendapatnya akan dipakai dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan siapa yang mendengarkannya. Kesadaran ini membuat mereka sangat berhati-hati, tidak asal memberikan pendapat. Maka yang keluar dari mulut beliau itu adalah hasil ijtihad yang memang hanya orang-orang semisal beliau yang mempu melakukan itu.

Mereka bekerja siang malam, malamnya tak tidur karena harus memikirkan masalah umat, siangnya pun tidak istirahat karena harus berijtihad dan melihat kondisi lingkungan untuk mengeluarkan sebuah hukum. Dengan kerja ijtihad yang keras dan panjang ini, apa masih diragukan?

Kalau kita buka kitab-kitab fiqih klasik, yang banyak ditulis oleh ulama-ulama salaf dari kalangan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah setra Hanabilah, atau juga Zohiriyah dan Zaidiyah. Kita akan mendapati dalam lembaran-lembaran tersebut qoul (perkataan) para imam dan terkadang banyak sering tidak disertakan dalil.

Apa karena tidak disertakan dalil, lalu kita dengan bodoh menyimpulkan bahwa si Imam tersebut tidak mengikuti Quran dan Sunnah? Tentu bukan seperti itu, kita dengan keyaikan seratus persen bahwa pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih klasik itu bukan lahir dari hawa nafsu, melainkan hasil ijtihad dan istimbath beliau dari sebuah teks syariah.

Ulama Salaf 4 Madzhab Berdalil

Dan memang begitu ulama-ulama salaf kita. Dalam kitab-kitab Hanafiyah, kita akan banyak mendapati bahwa Imam Abu Hanifah berdalil dengan Qoul(perkataan)-nya Hammad dan 'Alqomah, guru beliau dari kalangan tabi'in tanpa disertakan dalil dari al-Quran serta hadits. Dan tidak jarang bahwa Hammad juga berdalil dengan qoul gurunya, yaitu sahabat Ibnu Mas'ud ra.

Begitu juga ulama-ulama kalangan Hanafiyah yang berdalil dengan qoul Imamnya, Imam Abu Hanifah An-Nu'man tanpa disertai dalil Quran dan Sunnah. Termasuk juga berdalil dengan qoul sahabat beliau, yaitu Abu Yusuf atau Muhammad.

Itu yang akan kita dapati dari kitab-kitab mereka seperti Al-Mabsuth li Sheikh Al-Sarakhsyi, atau Al-Durr Al-Mukhtar serta Radd Al-Muhtar, atau Fathul-Qadir karya Ibnu Al-Hammam. Begitu juga Tuhfatul-Fuqoha' karya Imam Al-Sanarqandi yang kemudian di-Syarah oleh menantunya Imam Al-Kasani dalam Bada'i Al-Shona'i.

Dalam kitab-kitab Malikiyah, kita pasti mendapati ulama dari kalangan madzhab tersebut berdalil hanya dengan qoulnya Imam Malik bin Anas tanpa disertai ayat atau hadits. Seperti Sheikh Al-Dusuqi dalam hasiyah-nya. Lalu ulama setelahnya mengikuti itu, berdalil dengan qoul Imamnya sendiri atas hukum dari sebuah masalah.

Begitu yang kita akan dapati dalam kitab-kitab mereka, seperti Al-Taaj wa Al-Ikliil, atau Al-Mudawwanah yang berisi fatwa-fatwa Imam Malik bin Anas. Hasiyah Al-Dusuqi, begitu juga Hasyiyah Al-Dardiir, dan beberapa kitab lainnya.

Dalam kitab-kitab Syafi'iyyah, pasti kita akan mendapati bahwa ulama kalangan madzhab tersebut berdalil dengan qoulnya Imam Syafi'i saja tanpa ayat dan hadits. Sebut saja Al-Hawi Al-Kabiir karya Imam Al-Mawardi, dan juga kitab-kitab lainnya seperti Al-Muhadzdzab karya Imam Al-Syairozi dan juga kitab syarahnya Al-Majmu' karya Imam Nawawi. Begitu juga Mughni Al-Muhtaj karya sheikh Al-Khatib Al-Syarbini dan juga kitab yang lainnya.  

Kita akan mendapati dalam kitab-kitab tersebut bahwa ulama berdalil dengan qoulnya Imam Syafi'i. bahkan tidak jarang mereka juga berdalil dengan perkataan sahabat yang sekaligus murid Imam Syafi'i, yaitu Imam Al-Muzuni. Begitulah ulama fiqih salaf.

Dalam kitab-kitab Hanabilah, kita akan mendapati mereka berdalil dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan tidak jarang Imam Ahmad sendiri berdalil dengan perkataan gurunya, yaitu Imam Syafi'i.

Begitu seterusnya yang akan kita dapati dalam kitab-kitab mereka seperti  
Al-Inshaf karya Imam Al-Mardawi dan juga Kasysyaful-Qina' karya Imam Al-Buhuti. Serta Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.

Lalu tiba-tiba datang sekelompok orang dengan gagah berkata: "Apa Dalilnya?". Sekelompok orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana sebuah ilmu itu diwarisi dan turun menurun.

Kalaupun disediakan dalil untuk mereka, apa mereka bisa mengambil sebuah kesimpulan (Istidlal) hukum dengan metode yang tela disepakati oleh ulama?

Harus Adil Bertanya

Kalau dalam masalah hukum fiqih, kita selalu meminta "Mana dalilnya?", karena khawatir itu pendapat yang tidak berdasar, lalu kenapa tidak kita minta dalil kepada semua ilmu agama ini. Ilmu hadits contohnya.

Kenapa ketika Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim mengatakan bahwa hadits ini shahih, kita langsung menerima begitu saja? Kenapa tidak kita menanyakan apa dalilnya Imam Bukhori dan Imam Muslim mengatakan bahwa hadits ini shahih?

Kenapa dengan yakin sekali kita bisa menerima dan mengatakan shahih semua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim? Kenapa sisi kritis kita hilang, tidak seperti ketika ulama fiqih mengutarakan pendapatnya?

Bukankah Imam Al-Bukhori dan Imam Muslim itu juga manusia yang bisa salah dalam menilai sebuah hadits? Kenapa?

Karena kita tidak tahu! Karena memang tidak tahu, kita percaya kepada mereka yang tahu dalam hal itu dan kita terima, Imam Bukhari dan Muslim sudah sangat mumpuni dalam bidang hadits dan tahu bagaimana meniliti sanad sebuah hadits.

Begitu juga ulama fiqih, kalau memang tidak tahu, ya ikuti mereka yang tahu, jangan berlaga seperti orang yang paling mengerti fiqih, sehingga siapa saja ditanya apa dalilnya.

Karena sejatinya, ketika seorang bertanya "apa dalilnya?" kepada ulama, itu berarti kita sudah tidak percaya dengan keilmuannya. Kita sudah memberikan label cacat kepada kapasitasnya sebagai ulama tersebut. Termasuk jika kita bertanya kepada seorang sheikh yang memang sudah mumpuni dalam bidangnya.

Kalau kapasitasnya sebagai ulama sudah cacat di mata kita, tapi kenapa kita masih mengambil ilmu dari beliau? Kalau memang mereka sudah cacat, ya tinggalkan saja. Lalu ber-Istidlal saja sendiri.

Yang jadi pertanyaan: "Apakah kita mampun ber-Istidlal dengan dalil yang ada, sebagaimana ulama-ulama salaf ber­-Istidlal?" Kalau tidak bisa, kenapa harus merepotkan diri sendiri bersusah payah bergaya sok ulama?!

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya