Fiqih Dulu dan Sekarang

Dulu, pertama kali belajar fiqih itu memakai kitab Safinatu-Naja, kitab Fiqih Syafi'i yang bisa dibilang sangat tipis. Memulai belajar dari ustadz di pengajian kampung, belajar sejak umuran SD yang ketika itu sama sekali tidak mengerti apa itu Ikhtilaf dan juga dalil.

Kemudian mulai masuk pesantren, kitab fiqih yang diajarkan pun mulai naik level. Dari mulai kitab Fathul-Qarib Syarhu Matni Al-Ghoyah wa Al-Taqrib, karya Sheikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Ini kitab fiqih standarnya pesantren-pesantren di seluruh Indonesia.

Fathul-Qarib beres,masuk jenjang yang lebih elegan, mulailah belajar kitab Fathul-Mu'in karya Sheikh Zainuddin Al-Malyabari. Masih dengan diselingi mempelajari Kifayatul-Akhyar, sambil sesekali menengok kitab lain lain, semisal Fathul-Wahhab, atau juga Nihayatu-Zein karya Imam Al-Nawawi Banten.

Dan kesemuanya itu kitab fiqih madzhab Syafi'i karena memang begitu standar pembelajarn fiqih di Indonesia, harus dimulai dengan madzhab mayoritas penduduk setempat. Dan sepertinya kitab-kitab tersebut di atas memang kitab yang menjadi standar di seluruh lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan fiqih untuk peserta didiknya.

Makin tinggi level pendidikan, makin banyak pula kitab yang dikaji, Mughni Al-Muhtaj, Al-Muhadzdzab dan juga Al-Majmu' karya Imam Al-Nawawi, terus meningkat begitu sampai akhirnya masuk kampus dengan bidang studi yang sama, Fiqih Perbandingan Madzhab [مقارنة المذاهب الفقهية].

Dari dulu belajar kitab-kitab fiqih, yang didapati dalam lembaran-lembaran ilmu itu berupa riwayat-riwayat pendapat (Qoul) imam madzhab tentang hukum masalah, disertai juga beberapa pendapat sahabatnya dan juga muridnya. Dan tentu (biasanya) diakhiri dengan pendapat penulis.

Itu yang kita dapati selama ini dari kitab-kitab salaf tentang hukum fiqih. Bukan tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunnah, tapi ada dan pasti ada. Hanya memang pendapat-pendapat lebih banyak dituliskan disitu, dan juga disertai sudut pandang serta cara seorang ulama fiqih ber-istidlal mengambil kesimpulan sebuah hukum.

Tapi anehnya, justru artikel-artikel yang berlabelkan fiqih zaman sekarang berbeda dengan apa yang dipraktekkan oleh ulama fiqih terdahulu. Yang ada sekarang justru sebaliknya, lebih banyak ayat dan hadits yang dituliskan, hampir setiap baris ada haditsnya.

Dan penulis sering bingun ini artikel fiqih atau artikel hadits, membahas hukum fiqih tapi tidak menyertai pendapat para ulama fiqih dari madzhab masyhur, hanya menguraikan saja hadits-hadits terkait. Malah tidak jarang yang justru membahas derajat hadits dengan menguraikan status fulan bin fulan.

Bukan Hanya Dalil, tapi Bagaimana Ber-istidlal

Sayangnya, dan sangat disayangkan sekali bahwa artikel itu tidak sekalipun mengutip pendapat ulama fiqih dari salah satu madzhab, hanya pendapat pribadi yang entah mengambil dari mana kemudian menuliskan satu dua hadits dan tidak dijelaskan bagaimana Taujiih-Dalilnya. Tiba-tiba mengeluarkan sebuah hukum.

Padahal yang terpenting dalam sfiqih itu ialah bagaimana cara meng-istimbath sebuah hukum dari teks syariah, bukan seberapa banyak teks syariah itu tapi malah bias apa yang dimaksud dan dikandung dalam hadits atau ayat tersebut.

Karena itu tugas utama seorang faqih, yaitu mengambil kesimpulan dari teks-teks syariah yang ada, baik itu al-Quran atau juga hadits Nabi saw. Dan bukan menuliskan hadits sebanyak-banyaknya tanpa tahu bagaimana caranya ber­-istidlal dengan itu semua.

Kalau hanya mengumpulkan hadits dan ayat yang berkaitan, tanpa tahu bagaimana mengetahu kandungan dan makna dibalik hadits atau ayat, semua orang mampu melakukan itu. Tapi yang mempu mengetahui Madlul ayat dan hadits selain Manthuq-nya, itu yang menjadi tugas seorang ahli fiqih, dan tidak semua orang mampu melakukan itu.

Karena memang begitulah ilmu fiqih, sebagimana definisinya yang telah disepakati oleh ulama:
الْعِلْمُ بِالأْحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيلِيَّةِ
"Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil (istimbath) dari dalil-dalil secara rinci,"  

Di situ ada poin Al-Muktasab yang diartikan dengan "diambil" atau "di-istimbath". Poin ini memberikan gambaran bahwa orang ahli fiqih haruslah seorang yang cerdas, dan bukan yang hanya memahami dalil dari terjemahan belaka kemudian memberanikan diri untuk berfatwa tanpa mengerti bagaimana caranya beristimbath dan mengambil kesimpulan hukum dari sekian banyak dalil, bukan hanya satu dalil.

Menikah Dengan/Tanpa Wali

ini yang membedakan fiqih dengan lainnya. Sebut saja masalah menikah dengan atau tanpa wali yang menjadi perbedaan antara jumhur (mayoritas) dengan ulama Hanafiyah. Dalilnya satu, tapi Taujiih Dalil­-nya yang berbeda.

Kedua kubu sama-sama berdalil dengan ayat yang sama, yaitu ayat 332 surat Al-Baqarah:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
"Dan jika kalian telah mentalak istri-istri kalian, lalu masa telah sampai (selesai) masa ('Iddah)-nya, janganlah kalian halangi mereka untuk menikahi (calo-calon) suami mereka"

Kata jumhur ulama, menikah harus dengan wali karena ayatnya jelas seperti diatas, Allah swt melarang para wali untuk menghalangi para wanita yang dibawah perwalian mereka untuk menikah lagi. Buktinya Allah menggunakan kata larangan dengan bentuk Plural Mudzakkar: [فلا تعضلوا] "jangan kalian halang-halangi". Kalau menikah itu boleh tanpa wali, pastilah larangannya tidak ditujukan dengan redaksi Plural/jama' mudzakkar seperti itu.

Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kalangan Hanafiyah, justru ayat ini adalah bukti bahwa menikah boleh tanpa wali, karena dalam ayat ini Allah swt menisbatkan pernikahan itu sendiri kepada para wanita dengan redaksinya [أن ينكجن] "untuk mereka menikah". Dan redaksi itu dalam bahasa Arab jelas ditujukan kepada wanita, bukan kepada laki-laki yang menjadi walinya.

Siapa Yang Lebih Baik, Kita atau Mereka?

Jadi beginilah fiqih, yaitu bagaimana beristimbath, bukan bagaimana mengumpulkan hadits sebanyak-banyaknya.

Lalu jika kita dapati dalam kitab-kitab fiqih hany pendapat dan pandangan tanpa disertai dalil, itu bukan karena para ulama tidak tahu dalil. Justru mereka jauh lebih paham daripada kita yang membaca.

Mereka mengajarkan kita bahwa memang orang awam hanya mengikuti (Taqliid) saja. Dan hendaknya kita cukup percaya apa yang dikatakan oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, karena memang tugas mereka seperti itu. Dan mereka tidak mungkin mengambil sebuah kesimpulan hukum dari hawa nafsunya, karena mereka sadar apa yang mereka tulis akan diikuti dan pasti diminta pertanggungjawabannya oleh Allah swt kelak di akhirat nanti.    

Para ulama sudah barang tentu mengambil kesimpulan dari hadits karena memang mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Kita hanya mengikuti selama memang kita bukan golongan mujtahid. Jadi terima saja dan jalani, bukan terus-terusan meminta dalil. Apakah kalau sudah ada dalil kemudia kita mampu ber-Istidlal dari dalil tersebut?

Kalau kita ber-istidlal, yakinkah kita kalau apa yang kita hasilkan dari otak kita terhadap teks syariah itu benar? Yakinkah kita bahwa apa yang dihasilkan oleh pemikiran ulama fiqih terhadap sebuah teks syariah itu tidak jauh lebih baik dari apa yang kita hasilkan?

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Anak Tidak Berhijab, Ayah Masuk Neraka! Hadits Palsu