Razia Orang Ganteng Dalam Tradisi Syariah

Beberapa hari belakangan, media ramai membicarakan kebijakan salah satu negara Timur Tengah yang mendeportase salah seorang warga Negara tetangganya dengan alasan terlalu tampan. Aneh memang, ketampanan bisa juga jadi sebab hukum Negara.

Tapi terlepas dari itu semua, apakah berita ini benar atau tidak? Dan bagaimana pula kronologi ceritanya sehingga si tampan ini bisa dideportase dari negara tersebut dan mendapat tiket gratis pulang ke negaranya sendiri.

Ternyata praktek yang mirip dengan itu juga pernah dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khothob pada masa kepimpinannya dulu. Yaitu beliau pernah mengasingkan salah satu warganya ke negeri Bashrah karena alasan ketampanan.

Dan tentu alasan ketampanan bukanlah satu-satunya alasan untuk kebijakan sang khalifah ini, tapi lebih dari itu bahwa ada landasan syariah yang menjadi argument sang Amir Al-Mukminin dalam kebijakannya ini.

Cerita selengkapnya seperti ini:

Seperti kebisaan Khalifah Umar bin Khothob, beliau selalu saja berpatroli mengawasi keadaan warganya. Namun pada satu malam, ia mendengar seorang wanita berdendang seperti orang yang tergila-gila. Wanita itu berkata:

هل من سبيل إلى خمر فأشربها ... أم هل سبيل إلى نصر بن حجاج
"apakah ada cara untuk mendapatkan Khamr, maka aku akan meminumnya. Dan adakah jalan yang mengantarku menuju Nash bin Hajjaj, pastilah aku telusuri."

Mendengar itu, paginya Umar bin Khothob memerintahkan pembantu istana untuk menghandirkan sosok Nashr bin Hajjaj yang menjadi objek dendangan si wanita, yang sudah menjadi fitnah bagi para wanita. Dan memang diketahui bukan hanya satu wanita yang seperti itu.

Nashr bin Hajjaj yang diketahui terlahir dari keluarga bani Sulaim ini memang dikenal sebagai sosok yang tampan. Dan ketampanannya ini sudah menjadi sarapan umum setiap hari bagi para wanita di Madinah ketika itu.

Khalifah Umar bin Khothob khawatir nantinya jika ini terus dibiarkan dan tidak ditangani, sosok nashr bin Hajjaj ini akan menjadi fitnah yang lebih besar kedepannya. Ya fitnah bagi para wanita yang lain, yang terus saja menggilai sosok ini. Dan ini adalah suatu mudhorot yang besar. Untuk itu sang khalifah muali menyidik kasus.

Ketika Nashr bin Hajjaj masuk, sang khalifah terkejut. Kaget bukan kepalang karena Nashr bin Hajjaj ini mempunyai wajah yang sangat tampan dengan rambut yang begitu indah. Rasanya wajar saja kalau banyak wanita yang menggilainya.

Guna menutup semua fitnah yang ada, akhirnya Khalifah Umar bin Khathob memerintahkan untuk mencukur rambutnya Nashr bin Hajjaj, barangkali jika rambutnya dicukur, ketampanan akan berkurang atau malah hilang. Dan itu jadi meminimalisir.

Setelah dicukur, ternyata Nshr bin Hajjaj malah nambah makin tampan. Lalu sang khalifah memerintahkan agar diberikan Qina', semacam penutup kepala khas orang Madinah agar tak terlihat wajahnya yang tampan itu.

Alih-alih membuatnya tidak terlihat tampan, justru dengan dibalut sorban penutup kepala itu, Nashr bin Hajjaj malah makin terlihat jelas ketampanannya. Karena memang dasarnya orang tampan.

Akhirnya sang khalifah memutuskan untuk mengasingkannya dari Madinah ke negeri Bashrah di Irak untuk sementara. Karena kalau terus dibiarkan di Madinah, nantinya wanita-wanita Madinah akan terus menerus menggilainya, dan pastinya itu adalah sebuah fitnah bagi penduduk setempat.

Dan karena itulah, jalan terbaik yang diambil oleh sang khalifah yaitu memindahkan Nashr bin Hajjaj ke daerah yang tidak bisa dijangkau oleh para wanita tersebut, yaitu menuju Bashrah, yang memang ketika itu jaraknya sangat jauh dari Madinah.

Mencegah Terjadinya Fitnah

Apa yang dilakukan Umar bin Khothob ini bukanlah tanpa alasan. Umar mengeksekusi kebijakannya ini tentu berdasarkan maslahah dan juga menghindari ­mudhorot serta mafsadat yang nantinya akan timbul.

Ini akan menjadi fitnah bagi para wanita penduduk Madinah dan mnejadi fitnah juga bagi khalifah serta Nashr bin Hajjaj itu sendiri. Dengan kegilaan yang sangat dari para wanita, tentunya itu akan membuat keadaan masyarakat menjadi kacau.

Banyak wanita yang tiap malam yang tidak tidur berdendang kegilaan. Siangnya masih sajaada wanita yang bermimpi ingin bisa bertemu dengan Nashr. Yang lainnya pun terus membicarakan ketampanannya dimana-mana. Akhirnya banyak keburukan yang diciptakan. Ini yang menjadi keresahan masyarakat.

Sebagai pemangku kepentingan dan pemimpin umat ketika itu, sang khalifah mengambil keputusan penting untuk menutup segala jalan keburukan yang nantinya akan terjadi.

Tentu kebijakannya ini tidak asal jadi, melainkan sudah difikrikan dengan masak. Dan memang ini yang sejalan dengan syariah. Kaidah fiqih mengatakan:

الضرر يزال
"segala bentuk bahaya (mudhorot) harus dihilangkan"

Jadi segala jalan yang nantinya akan berbuah kepada keburukan, syariah ini telah memerintahkan kita untuk menutupnya agara keburukan itu tidak terjadi sama sekali.

Walaupun sebenarnya ada manfaat yang dihasilkan dari keberadaan Nashr, akan tetapi ia juga menghasilkan mudhorot juga. Dan mudhorot yang dihasilkan jauh lebih banyak dari manfaatnya. Maka itu juga harus dicegah.

"mencegah mudhorot dan bahaya harus didahukukan dibanding memberikan kemanfaatan"

Ada Dua Keburukan

Pasti ada yang bertanya, "loh bukannya dengan mendeportase Nashr juga itu sebuah mudhorot dan kerugian buat Nashr sendiri?"

Ya memang benar begitu. Akan tetapi mudhorot antara pengasingan Nashr dengan mudhorot yang dihasilkan jika Nashr tetap berada di Madinah dan itu menjadi bulan-bulanan para wanita yang tentu meresahkan, itu jauh lebih besar.

Mudhorot yang dihasilkan jauh lebih besar jika Nashr tidak diasingkan untuk sementara sampai situasi kondusif. Syariah ini menuntut kita untuk cerdas memilih dan memilah mana yang jadi prioritas.

Mudhorot yang lebih besar tentu harus dicegah walaupun memang ada mudhorot juga yang dihasilkan, tapi mudhorotnya tidak lebih besar dari yang di eksekusi. Dalam kaidah fiqih disebutkan:

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
"jika ada dua keburukan yang bertemu, maka keburukan yang lebih besar harus lebih utama dicegah dibanding keburukan yang lebih kecil"

Ketika dalam suatu perkara ada 2 keburukan yang akan terjadi. Maka harus dipilih keburukan mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil. Ketika sudah diketahui, maka keburukan yang lebih kecil dibiarkan terjadi agar keburukan yang lebih besar tertutup dan tidak benar-benar terjadi.

Ada Diskriminasi

pasti akan timbul pertanyaan lagi, "loh itu kan namanya diskriminasi buat Nashr bin Hajjaj dengan dideportase?"

secara kasat mata memang ini diskriminasi. Tapi memang ini harus dilakukan agar menghindari diskriminasi yang lebih besar, yaitu kenyamanan masyarakat yang terganggu dengan banyaknya wanita yang menggilainya. Ini namanya diskriminasi terhadap masyarakat.

Sama seperti sebelumnya, mudhorot yang dihasilkan akan jauh lebih besar jika Nashr dibiarkan tetap menjadi bulan-bulanan wanita Madinah. Karena itu ia harus diasingkan sementara guna menutup semua fitnah itu.

Walaupun memang itu seperti ada diskriminasi, tapi kepentingan umum tetap harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Mudhorot yang dihasilkan jika Nashr tidak dipindahkan itu hanya menjadi beban pribadi Nashr.

Tapi jika dbiarkan, ada kepentingan umum yang lebih besar yang menjadi korban. Fitnah dimana-mana, keresahan merajalela, banyak anak perempuan terus dibuai mimpi, kegiatan bermsayarakat pun terganggu.

Maka jika ada dua keburukan seperti ini, maka kepentingan yang sifatnya luas dan umum harus lebih diutamakan dibanding kepentingan yang sifatnya pribadi atau hanya kelompok. Dalam kaidah fiqih disebutkan:

يتحمل الضرر الخاص على الضرر العام
"keburukan yang sifatnya personal dan khusus harus dilakuakn guna mnejaga keburukan yang sifatnya umum dan luas"

Jangan Digeneralisir

Apa yang terjadi di zaman khalifah Umar bin KHothob dengan mengasingkan Nashr bin Hajjaj itu adalah kebijakan sang khalifah sebagai pengayom masyarakat yang memang dituntut untuk menjaga kenyamanan warganya.

Apa yang dilakukan oleh umar bin Khothob itu adalah guna menangani masalah yang memang terjadi ketika itu. tentu ukuran dan kadarnya semua sudah difikirkan oleh sang khalifah, semuanya tidak asal jadi. Karena yang paling tahu keadaan warganya ya memang pemimpinnya. Dan tentu Umar bin Khothob melakukan guna menrealisasikan maslahat bagi warganya.

Jangan disamakan keadaan disana dengan yang terjadi sekarang. Sulit sekali karena memang kondisi zamannya berbeda. Kultur budaya dan kondisi geografis pun jauh berbeda. Jadi tidak semua apa yang datang dari negeri Arab sana menjadi wahyu buat kita di Nusantara ini.

Kegilaan para wanita ketika zaman itu tentu berbeda dengan kegilaan anak-anak zaman sekarang kepada artisnya. Tentu zaman dan konsdisi yang berbeda menuntut untuk terjadinya perubahan juga kepada sikap dan kebijakan yang dihasilkan.

Wallahu A'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya