Bijak Dalam Bersyariah

Jangan terlalu cepat sinis memandang kepada hadits yang derajatnya lemah atau dhoif, kemudian meninggalkan. Jangan juga terlalu cepat nyinyir melihat ada banyak orang yang mengamalkan hadits dhoif tersebut. Teliti dulu! Jangan terburu-buru menghukumi dan menghakimi.

Jangan juga terlalu cepat angkat dada melihat ada hadits shohih. Jangan grasak grusuk, terburu-buru mengimplementasikan hadits dengan shohih untuk diamalkan. Sabar, denger apa kata ulama dulu. Jangan asal mengambil kesimpulan kalau masih belum matang berilmu syariah. Hati-hati!

Hadits dhoif belum tentu terlarang diamalkan dan hadits shohih pun belum tentu layak diamalkan. Sabar. Denger apa kata ulama dulu. Jangan buru-buru mencaci mereka yang mengamalkan hadits dhoif. Teliti dulu!

Hadits sholat dengan memakai sandal juga kan hadits shohih, dan itu sunnah Nabi Muhammad saw. Tidak ada yang mengingkari itu. tapi apa dikatakan benar kalau kita masuk masjid untuk sholat tapi tidak melepas alas kaki kita?

"loh itu kan lantainya bersih. Ya pasti dilarang oleh pengurus masjidnya!"

"hehe. Loh itu sunnah Nabil oh! Mao nurutin perintah pengurus Masjid apa mau ngikutin sunnah Nabi ?? masa Nabi kalah sama pengurus Masjid???"

"Nah loh kan ribet juga jadinya. Hehe"

Akhirnya memang syariah ini menuntut kita untuk cerdas dalam merealisasikan syariah itu sendiri. Tidak asal jadi. Karena bisa jadi yang kita yakini itu sunnah, malah menjadi fitnah.

Bukan syariahnya yang fitnah, bukan syariah yang tidak baik. Syariah selamanya baik dan tidak akan menjadi buruk. Tapi dampak yang dihasilkan akibat pelaksanaan syariah yang sembrono asal sruduk, itu yang jadi fitnah dan memberikan nilai minus pada syariah.

"Mbok ya sinau sing bener". Syariah bukan hanya tahu ini shohih, lalu kemudian dengan semangat dikampanyekan "Ayo laksanaka!". Bukan juga Cuma tahu ini hadits dhoif kemudian ditinggalkan, "hadits dhoif, ngga lah. Sorry ya". Tidak begitu juga.

Karena ibadah itu menjadi baik ketika dilaksanakan di waktu dan tempat yang tepat. Dengan keadaan yang tepat pula. Tidak bisa asal jadi.

Dalam beramal tidak cukup hanya hadits shohih, hadits dhoif. Banyak pertimbangannnya, dan ulama sudah membahas itu dalam sebuah disiplin ilmu yang apik, Ushul Fiqh namanya.

Dalam menentukan sebuah amal apakah ini layak diamalkan atau ditinggalkan, tidak cukup hanya dengan bekal hadits shohih dan hadits dhoif. Ya itu alat utama bagi para mujtahid, para Fuqoha' (ahli fiqih) dalam menentukan hukum.

Banyak pertimbangannya. Sebuah hadits shohih yang sampai kepada ahli fiqih tidak serta merta kemudian beliau menghukumi ini sebuah kewajiban dan harus dikerjakan. Dan tidak juga hadits dhoif yang datang kepada beliau kemudian dibuang begitu saja.

Yang shohih menurut para ahli hadits, belum tentu menjadi argument kuat bagi para fuqoha'. Yang dhoif menurut ahli hadits belum tentu dicampakkan oleh para fuqoha'. Itu salah satu sebab adanya perbedaan dalam menentukan hukum antara ahli hadits dan ahli fiqih.

Dokter dan Apoteker

Ibaratnya ahli hadits itu ialah seorang apoteker yang mensortir segala macam obat-obatan. dan ahli fiqih itu ibarat seorang dokter, yang mengobati. Dia yang langsung bertemu dengan si pasien. Beda dengan apoteker yang kerjanya diapotik. Tidak mengobati tapi memberikan pasokan obat.

Kerjanya apoteker, meneliti apakah obat ini layak untuk dikonsumsi atau tidak? Untuk pasein penyakit apa obat ini dikonsumsi? Apakah ini obat untuk panas atau untuk sakit kepala?

Pekerjaannya meneliti sebuah hadits, apakah ini shohih atau dhoif. Apakah para perawinya itu benar-benar tsiqoh atau malah majhuul (tidak dikenal). Itu tugas seorang ahli hadits, lalu kemudian disodorkan hadits itu kepada ahli fiqih untuk diolah mejadi sebuah resep bagi pasein.    

Yang langsung bersentuhan dengan sang pasien ialah seorang dokter, dia yang mendiagnosis, apa sakitnya? Kenapa bisa sakit seperti ini? Apa penyebabnya? Lalu dampak penyakit terhadap badan apa? Begitu kan pertanyaan sorang dokter.

Setelah tahu semua seluk beluk penyakit yang diderita. Barulah sang dokter memberikan resep dan mengobati dengan obat yang sudah diberikan tadi oleh si apoteker.

Kata apoteker: "penyakit seperti ini, obatnya ya ini!" Tapi kata dokter bisa berbeda. Kata dokter: "ya penyakitnya memang itu tapi, gejalanya tidak biasa, maka tidak usah make obat itu. make obat ini aja. Ini lebih cocok dengan kondisinya."

Kalau kita datang kepada apoteker untuk membeli sebuah obat sakit kepala contohnya. Siapapun yang datang kepadanya dengan keluhan sakit kepala, sang apoteker pasti memmberikan obat yang sama. Tidak mungkin berbeda. Karena sakitnya sama yaa obatnya juga sama.

Tapi kalau datang ke dokter, sakitnya sama-sama sakit kepala. Bisa jadi beda obat dan resepnya. Yang pertama diberi obat sakit kepala dengan tambahan ini dan itu, karena ada gejala yang beda setelah diidagnosis.

Kepada yang kedua sang dokter malah memberi obat bukan untuk sakit kepala, karena mungkin itu bukan sakit kepala, ada sakit lain yang akhirnya berdampak sakit di kepala. Itu setelah dilakukan diagnosis dan pemeriksaan sebelumnya.

Bagitu juga ahli fiqih (dokter) dan ahli hadits (apoteker). Apoteker membantu dokter untuk memberi pasokan obat. Dokter melakuan pemeriksaan untuk mengobati pasien. Kalau tidak ada apoteker, sulit bagi dokter mengobati, karena senjatanya yaa dari apoteker.

Jadi semuanya saling membantu.

Jadi wajar kalau sering kita dapati beberapa ulama fiqih memakai hadits yang sudah dihukumi dhoif oleh para ahli hadits sebagai sandaran hukumnya. Jangan dicaci dan jangan nyinyir juga kepada mereka yang mengamalkan itu.

Toh para ulama hadits juga  sudah memberikan rumusan bagaimana cara mengamalkan hadits yang sejatinya sudah dihukumi dhoif dan lemah oleh mereka.

Jadi jangan marah kalau melihat dokter memberi resep berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh seorang apoteker.

Wallahu a'lam

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " رُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ "
Nabi Muhammad saw bersabda: "bisa jadi orang yang disampaikan kepadanya hadits (tidak mendengar langsung) itu lebih paham dan mengerti dibanding yang mendengar langsung" (HR Bukhori)

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya