Kawin Lari

Menikah tanpa wali, wali si gadis tentunya, biasa disebut oleh kebanyakan orang dengan istilah kawin lari. Karena memang orang yang menikah tanpa wali si gadis berarti memang tidak mendapat persetujuan dari sang wali wanita.

Agar tujuannya untuk menikah sang gadis bisa terwujud, satu-satunya cara ialah menikah diam-diam tanpa sepengatahuan si wali wanita, atau juga dengan membawa kabur si wanita dan menikah di tempat lain dengan wali hakim yang keabsahannya diragukan.

Padahal kalau kita buka kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kawin lari punya makna yang lebih luas dan sedikit berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang yang mengatakan itu sebagai pernikahan tanpa wali.

Kawin lari ialah "perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan dikawininya dengan persetujuan gadis itu untuk menghindarkan diri dari tata cara adat yang dianggap berlarut-larut dan memakan biaya yg terlalu mahal".

Walaupun demikian, kawin lari tetap menjadi istilah populer yang maksud dan maknanya ialah menikahi perempuan tanpa walinya yang sah. 

Lalu bagaimana syariah memandang prkatek ini, apakah pernikahannya itu sah? Karena belakangan banyak yang melakukan praktek itu dengan dalih bahwa ada madzhab Fiqih yang membolehkan menikah dengan tanpa wali. Karena memang ada pendapat yang mengatakan demikian, maka tidak bisa juga kita asal melarang. 

Pertanyaannya kemudian menjadi, "Apakah wali termasuk rukun dalam pernikahan yang keberadaan menjadi sebuah syarat sah nikah atau tidak?"

Posisi Wali Dalam Pernikahan

Keberadaan wali nikah yang menjadi syarat sahnya pernikahan memang masih berada pada willayah perbedaan pendapat antara ulama fiqih lintas madzhab. Setidaknya ada 3 pendapat masyhur di kalangan para ahli fiqih dalam masalah ini:

[1] Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, artinya sebuah pernikahan tidak sah dalam pandangan syariah jika tanpa wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama; diantaranya madzhab Syafi'i, Hanbali dan salah satu riwayat masyhur Imam Malik.[1]

[2] Wali bukanlah syarat sah pernikahan. Pernikahan secara syariah, hukumnya sah walau tanpa wali. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, namun 2 sahabat beliau; Muhammaddan Abu Yusuf memandang berbeda.[2]

[3] Dibedakan antara perawan dan janda. Kalau perawan, wali adalah syarat sah pernikahan, akan tetapi kalau dia janda maka wali bukanlah syarat sah pernikahan itu. Ini pendapatnya Imam Abu Daud Al-Zohiri.[3]

Sejatinya, dalam turots fiqih ada satu lagi pendapat dalam masalah ini, yaitu pendapat Imam Malik dari riwayat Ibn Al-Qasim yang mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak Syarifah (mulia) atau dari kalangan biasa yang tidak terpandang, boleh menikah dengan tanpa wali.

Jadi dalam pandangan Imam Malik yang satu ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd, wali merupakan syarat pelengkap saja dan bukan syarat sah pernikahan. Adanya itu baik, tapi tidak adanya juga tidak menjadi masalah.

Dalil Jumhur

Kita mulai dari kelompok pertama yang mensyaratkan adanya wali dalam sebuah akad pernikahan yang sah dalam syariah. Dan ini –sebagaiaman di atas- adalah pendapat jumhur ulama kecuali madzhab Abu Hanifah Al-Nu'man.       

1.    Banyak ayat-ayat pernikahan yang secara jelas menjadikan para wali itu sebagai pemegang kekuasaan atas terjadinya akad pernikahan itu sendiri dengan menisbatkan kata nikah para wali.

Diantara ayat-ayat tersebut ialah:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
"dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan".(An-Nur 32)

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah 221)

Perintah-perintah untuk melangsungkan pernikahan di ayat-ayat diatas ditujukan dengan shighot (redaksi) mudzakkar yang berarti itu untuk laki-laki (para wali). Artinya memang pernikahan itu ada pada wali, dan seandainya wanita bisa menikahkan didirnya sendiri, niscaya pernitah itu akan ditujukan untuk perempuan. Tapi nyatanya tidak ada. 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
"apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya"(Al-Baqarah 232)

Makin jelas lagi di ayat ini bahwa larangan menghalangi pernikahan itu ditujukan kepada laki (wali perempuan), kalau saja memang perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, lalu kenapa ada larangan untuk walinya?

2.    Lebih jelas lagi bahwa banyak hadits-hadits Nabi saw yang memang melarang wanita untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. Diantaranya:


لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al-Asy'ari, Nabi saw bersabda: "Tidak sah pernikahan tanpa wali" (HR Ahmad dan Ibnu Hibann) 

Dalam riwayat lain disebutkan: 

أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Dari 'Aisyah ra, Rasul saw bersabda: "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannnya adalah batal (3 kali), jika si laki-laki itu telah menggaulinya, maka baginya mahar atas itu. Dan jika para wali itu berselisih, maka Hakim ialah wali bagi yang tidak mempunyai wali" (HR.Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ini dikuatkan dengan riwayat dari Abu Hurairoh:
لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Dari Abu Hurairah ra, Rasul saw bersabda: "Wanita tidak menikahkah wanita yang lain dan tidak bisa ia menikahkan dirinya sendiri" (HR. Ibnu Majah dan Al-Daro Quthni)

Dan kata nikah dalam ayat maupun hadits itu semua berarti akad nikah itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu'.

Masih dalam kitabnya, Imam Nawawi menambahkan pernyataan Imam Ibnu Al-Mudzir bahwa pernikahan dalam Islam haruslah dengan wali, dan tanpanya pernikahan itu batal. Dan ini ialah pendapat yang tidak ada satupun dari sahabat Nabi yang menyelisihnya.[4]

Dalil Madzhab Hanafi

Sedangkan kelompok kedua, yaitu pendapatnya Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa pernikahan tidak disyaratkan adanya wali, berargumen dengan beberapa dalil:

1.    Banyak ayat Al-Quran yang justru memberika kekuasaan penuh untuk wanita melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. Diantaranya: 

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
"kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain…" (Al-Baqarah 230)

Dalam ayat ini Allah mengembalikan perkara nikah kepada wanita itu sendiri, ini berarti ialah legalitas syariah kepada wanita untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
"apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya"(Al-Baqarah 232)

Dalam ayat ini ada 2 poin; pertama pernikahan justru dinisbatkan kepada wanita, yang berrati tidak perlu ada wali untuk menikah. Kedua bahwa larangan menghalangi itu ditujukan –bisa jadi- untuk para mantan suami agar tidak menghalangi mantan istrinya menikah dengan siapa saja yang ia mau jika sudah selesai masa iddahnya. 

Dan bisa jadi untuk para wali perempuan itu untuk tidak menghalangi mereka menikah jika memang mereka sudah sepakat dengan para calon-calon suami mereka. Bukan berarti larangan untuk melakukan akad pernikahan.[5]

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka (menerima pinangan / menikah) menurut yang patut" (Al-Baqarah 234)

Walaupun mempunyai Ihtimal, ayat ini tetap dijadikan argument bahwa wanita memang diberikan kekuasaan untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. 

2.    Setelah berdalil dengan ayat Quran, kelompok ini kemudian menguatkan pendapatnya dengan dalil-dali dari hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya:

الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: "Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan diamnya ialah perizinannya" (HR Muslim)

Dalam hadits ini jelas nyata bahwa wanita manapun bisa melangsungkan pernikahannya tanpa adanya wali. Walaupun tetap dalam madzhab ini, meski wali bukanlah syarat sah, akan tetapi akad nikah seorang wanita dengan wali itu sebuah hal yang disukai (mustahabb).[6]
 
Perlu diketahui sebelumnya bahwa dalam ushul madzhab Imam Abu Hanifah ada klualfikasi khusus yang tidak ada dalam madzhab-madzhab lainnya dalam menerima sebuah hadits untuk dijadikan dalil hukum. 

Salah satunya ialah: tidak bolehnya perawi hadits menyelisihi apa yang diriwayatkannya. Berbeda dengan Jumhur yang tetap mengambil riwayatnya sebagai dalil hukum tanpa melihat perbuatan si perawi yang menyelisihi riwayatnya sendiri. 

Dan hadits 'Aisyah yang mengandung kebatilah dan ketidak absahan sebuah pernikahan yang tidak ada wali di dalamnya itu ada kejanggalan. 

Kejanggalannya karena ada riwayat yang menyatakan bahwa 'Aisyah pernah menikahkan anak perempuan saudara kandungnya; Abdul-Rahman. Akan tetapi ketika itu Abdul-Rahman dengan dalam perjalanan di negeri Syam.[7]  

Dan dalam madzhab ini juga, penambahan ketetapan hukum atas ketetapan hukum yang sudah terlebih dahulu muncul itu menyebabkan perubahan, dan bukan penambahan atau keterangan. 

Dan menurut pandangan madzhab ini, dalil kebolehan wanita menikah dengan tanpa wali yang ada dalam Al-Quran itu ialah Qoth'i. dan semua dalil hadits yang disampaikan oleh kelompok pertama itu sifatnya Dzonni karena tidak disampaikan secara Mutawatir (jalur sanad yang masiv), akan tetapi jalur Ahaad, yaitu satu jalur sanad saja.

Maka tidak bisa dalil yang Dzonni itu merubah ketetapan hukum yang sudah ada sebelumnya dalam Al-Quran, dan itu sifatnya qoth'i. sudah jelas dalam kaidah ushul bahwa qoth'I jauh lebih kuat dibanding Dzonni. 

3.    Dalil 'Aqli.
Setelah menguraikan dalilnya dari Al-Quran dan sunnah, madzhab ini kemudian mulai berargumen dengan dalil akal. Bahwa pernikahan adalah praktek pengambilan manfaat yang di dalamnya terdapat maslahat agama dan dunia, sama seperti jual beli. 

Salah satu syarat sahnya praktek jual belia ialah masing-masing pelaku transaksi itu berakal dan bukan termasuk orang yang tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, seperti anak kecil atau juga orang gila. Begitu juga dalam pernikahan. 

Maka itu dalam madzhab kami, wanita kecil yang menikah wajib dengan wali, karena ia belum cukup berakal untuk melakukan itu. Berbeda dengan wanita yang dewasa, dan sudah cerdas menentukan pilihannya. Tidak perlu lagi ia kepada perwalian ke ayahnya atau juga yang lain. Karena ia sudah cukup cerdas untuk melakukan itu. 

Maka ketika si wanita sudah cukup cerdas dan dewasa untuk menangani masalah itu semua, dia sudah tidka perlu lagi tuntunan walinya. Karena itu tidak disyaratkan menikah dengan wali, karena memang perwalian dibutuhkan jika memang yang diwalikan tidak mampu melakukan hal terssebut. Maka ketika yang diwlalikan sudah mampu, secara otomatis perwalian itu pindah ke dirinya sendiri dari yang sebelumnya berada di walinya.[8] 

Dalil Imam Abu Daud Al-Zohiri

Sedangkan Imam Abu Daud Al-Zohiri yang biasa disebut dengan Abu Sulaiman oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, beliau berdalil dengan redaksi zahir teks hadits: 

اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: "Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan diamnya ialah perizinannya" (HR Muslim)

Pilih Pendapat Yang Mana?

Memang tidak ada ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah seperti ini, kita dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru.

Dalam masalah ini memang pendapat Imam Abu Hanifah terkesan pendapat yang ringan bahkan memudahkan untuk tidak kita katakana menggampangkan. Karena memang tidak mengharuskan wali bagi siapa saja yang ingin menikah. Berbeda dengan pendapat Jumhur yang mensyaratkan wali nikah sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan.

Dan memang inilah yang sering dijadikan tameng oleh beberapa kalangan untuk melangsungkan pernikahan dengan tan wali si wanita. Mereka berdalih bahwa ada pendapat madzhab fiqih yang membolehkan itu. Terkesan menggampangkan syariah walaupun tidak salah juga.

-       Tatabbu' Al-Rukhos (Memilih Yang Ringan)  
Lalu yang jadi pertanyaan apakah boleh mengambil pendapat yang lebih mudah dan ringan dalam masalah khilafiyah seperti ini, yang disebut dengan Tatabbu' Al-Rukhos [تتبع الرخص]? Atau kah diharuskan mengambil yang lebih sulit sebagai kehati-hatian?

Ulama memang ada yang membolehkan mengambil pendapat yang lebih mudah saja untuk diamalkan dibanding pendapat ulama yang terkesan berat dan sulit. Dengan alasan bahwa memang tidak ada larangan dalam syariah ini untuk beribadah sesuai dengan pendapat ulama yang memudahkan.

Dan sunnah Nabi Muhammad saw baik itu perkataan ataupun perbuatan menunjukkan kebolehan untuk mengambil pendapat yang memudahkan sebagai landasan beribadah. Nabi dalam sebuah riwayat dikatakan: 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِ إِثْمٌ فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
"Dari 'Aisyah ra, beliau berkata bahwa Nabi tidak diberikan 2 pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah kecuali jika itu dosa. Kalau itu dosa ia adalah orang yang paling menjauhinya" (HR Ahmad)  

-       Memilih Yang Berat

Namun ada juga pendapat ulama yang memang sangat keras dan mengharamkan mengikuti pendapat yang mudah dan terkesan menggampangkan. Ulama ini mewajibkan mengambil pendapat yang memang berat dan kuat. Dan ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal dan juga beberapa ulama dari kalangan Malikiyah. [9]

Menurut pendapat ini, mengambil pendapat yang ringan dalam beribadah itu lebih condong dan lebih dekat kepada keinginan hawa nafsu yang memang selalu menginginkan keringanan dalam beribadah.

Padahal ketika terjadi perselihan pendapat, yang diperintahkna kepada kita ialah kembali 
kepada Allah swt dan Rasul saw. Bukan malah mengikuti hawa nafsu. 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)". (An-Nisa' 59)

Dorongan hawa nafsu sangat kental menjadi latar belakang alasan kenapa seorang muslim mengambil pendapat yang meringankannya, dan enggan mengambil ketetapan yang berat. Dan syariat dengan sangat jelas melarang ummatnya mengikuti hawa nafsu. 

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
"janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah". (Shaad 26)

Dan akhirnya, dengan terus mengikuti hawa nafsu akan timbul penyepelan terhadap syariah. Dengan ia terus menerus mencari-cari mana pendapat yang sekiranya menguntungkan bagi dia dan kelompoknya. Iman dalam diri sudah tidak menjadi dasar dan dorongan lagi dalam beribadah, akan tetapi nafsu dan kepentingan sepihak.

-       Pendapat Imam Syathibi

Dalam kitabnya Al-Muwafaqat, Imam Syathibi menjelaskna bahwa yang harus dilakukan oleh seorang penanya jika mendapatkan pendapat yang berbeda dari para mujtahid ialah mencari pendapat mana yang lebih unggul.

Tidak langsung memilih mana yang lebih mudah untuknya. Tapi menimbang dulu mana yang kuat, dilihat dari dalil dan bagaimana para mujtahid itu berIstidlal. Karena menurut beliau perbedaan pendapat untuk seorang awwam itu bagaikan dalil-dalil yang saling berselisih untuk seorang Mujtahid. Dan pada saat itu seorang mujtahid diharuskan mencari dalil mana yang lebih kuat, begitu juga seorang muslim jika dihadapkan kepada perbedaan pendapat.[10]

Memilih Pendapat Mayoritas (Hukum Negara)

Yang paling baik menurut penulis dalam hal ini ialah mengikuti pendapat yang banyak dipegang oleh lingkungan sekitar, yaitu suara mayoritas (Majority Voice). Sebenarnya bukan hanya pada masalah nikah ini saja, akan tetapi dalam segala hal memang baiknya seseorang tidak menampakkan perbedaan sendiri ditengah keseragaman khalayak.

Kalau memang tinggal pada lingkungan Hanbali, ya mengikuti pendapat Madzhab Hanbali jauh lebih baik dari pada yang lain. Begitu juga jika memang tinggal di lingkungan Malikiyah, sungguh sangat tidak beradab jika kita malah menampakkan keengganan kita untuk mengikuti pendapat Malikiyah.

Kita di Indonesia ini yang memang terkenal dengan menjamurnya madzhab Syafi'i, ya tentu jauh lebih baik bahkan memang sangat baik untuk kita mengikuti pendapat-pendapat ulama syafiiyah. Dibanding harus tetap kukuh dengan ulama yang tidak bermadzhab.

Karena bagaimanapun menampakkan perbedaan ditengah keseragaman khalayak ialah sesuatu yang sangat tidak terpuji, dan sudah pasti akan menimbulkan gesekan antara masyarakat.

Dan hukum mayoritas dalam hal perkawinan di Indonesia ini sudah tertuang dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi pegangan seluruh Hakim Agama di sejagad indonesia ini. Sudah pasti tidak akan berbeda.

Dan posisi wali nikah dalam KHI ialah sama seperti pendapat jumhur yang menempatkan seorang wali nikah sebagai rukun nikah yang keberadaannya tidak boleh tidak ada. Ini tertuang dalam pasal 19 – pasal 24 dalam Kompilasi tersebut.

Kemaslahatan

Satu lagi yang sering dijadikan dasar hukum oleh para ulama ialah Al-Istishlah [الاستصلاح] atau biasa yang disebut dengan kemaslahatan. Negara ini sudah menentukan bahwa menikah tidak sah kecuali dengan wali. Dan aturan ini dibentuk tentu bukan sekedar asal bentuk, akan tetapi dengan perhitungan yang matang setelah meninjau berbagai aspek, baik itu aspek syariah maupun aspek sosial.

Menjadikan wali nikah sebagai rukun, selain mengikuti pendapat jumhur ulama, ini juga mempunyai dampak positif yang besar terhadap keberlangsungan hidup sosial antara warga. Dan justru meninggalkan ini, yakni mengambil keputusan bolehnya menikah tanpa wali akan menghasilkan dampak yang buruk bagi masyarakat.

Coba bayangkan seandainya seluruh warga diberikan kebebasan untuk menikah tanpa wali si gadis, apa yang akan terjadi? Kesemrawutan sana sini pasti yang akan terjadi. Mungkin hampir tiap hari kita akan mendengar seorang ayah kehilangan anak gadisnya karena dibawa kabur oleh sang pacar yang tidak disetujui oleh si ayah gadis.

Kemudian berapa banyak wanita yang hamil dan kemudian si ayah tidak mau tanggung jawab? Karena memang tidak ada persetujuan dengan sang wali dalam akad yang merupakan sebagai perpindahan tanggung jawab dari si wali kepada sang lelaki.

Kekacauan pasti akan terjadi, dan kekacauan ini akan terus berlanjut kalau tidak ada tindakan tegas dari penguasa. Untuk meminimalisir kekacauan itu dan meciptakan maslahat bagi warganya, Negara membuat aturan itu.

Jadi sejatinya memang tidak ada alasan untuk tidak mengikuti jumhur, karena memang Negara mewajibkan itu.

Wallahu A'lam

[1] Bidayatul-Mujtahid 376, Al-Majmu' 16/146, Al-Mughni 7/337
[2] Bada'i Al-Shona'i 2/247
[3] Al-Muhalla 9/455
[4] Al-Majmu' 16/150
[5] Bada'i Al-Shona'i 2/248
[6] Bada'i Al-Shona'i 2/247
[7] Al-Muhalla 9/452
[8] Bada'i Al-Shona'i 2/248
[9] Al-Madkhol ila Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal 206
[10] Al-Muwafaqot 5/84

Comments

  1. Saya adalah laki laki beristri yang lahir 1973. Saya berhubungan dengan seorang gadis yang lahir tahun 1992, Saya sangat mencintai dia, hubungan kami sudah berjalan selama 2 tahun lebih dan sudah berhubungan layaknya suami istri. Istri saya menganjurkan untuk menikahinya atau memberi persetujuan untuk ber poligami. Yang jadi masalah orang tua si gadis tidak merestui dan tidak setuju dengan hubungan kami dengan alasan saya sudah beristri. Dan lebih parahnya lagi si gadis akan dinikahkan secara paksa dengan laki laki pilihan orang tuanya. Si gadis diancam apabila dia pergi dengan saya akan dilaporkan ke polisi dan saya akan dipenjara. Si gadis ingin tetap ingin mengajak saya kawin lari atau kawin tanpa sepengetahuan orang tuanya. Yang jadi pertanyaan saya, apa resikonya apabila saya menikahi si gadis tanpa sepengetahuan orang tuanya dan hukum apa yang akan berlaku terhadap saya.... Mohon penjelasannya. Terima kasih
    Yudho di gorontalo.

    ReplyDelete
  2. Saya adalah laki laki beristri yang lahir 1973. Saya berhubungan dengan seorang gadis yang lahir tahun 1992, Saya sangat mencintai dia, hubungan kami sudah berjalan selama 2 tahun lebih dan sudah berhubungan layaknya suami istri. Istri saya menganjurkan untuk menikahinya atau memberi persetujuan untuk ber poligami. Yang jadi masalah orang tua si gadis tidak merestui dan tidak setuju dengan hubungan kami dengan alasan saya sudah beristri. Dan lebih parahnya lagi si gadis akan dinikahkan secara paksa dengan laki laki pilihan orang tuanya. Si gadis diancam apabila dia pergi dengan saya akan dilaporkan ke polisi dan saya akan dipenjara. Si gadis ingin tetap ingin mengajak saya kawin lari atau kawin tanpa sepengetahuan orang tuanya. Yang jadi pertanyaan saya, apa resikonya apabila saya menikahi si gadis tanpa sepengetahuan orang tuanya dan hukum apa yang akan berlaku terhadap saya.... Mohon penjelasannya. Terima kasih
    Yudho di gorontalo.

    ReplyDelete
  3. yang pertama harus dilakukan adalah bertaubat setaubat-taubatnya, karena sudah melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syariah. setelah itu jika memang ingin menikah, menikahlah dengan cara yang baik dan mulia, bukan justru menimbulkan murka orang tua. -wallahu a'lam-

    ReplyDelete
  4. حكم الحاكم يرفع الخلاف

    Bagaimana jika ada orang yang tetep ingin berbeda dg pemerintah ? Misalkan dia imigran dari India atau Pakistan, dan tetep memegang teguh Mazhab Hanafi.

    Tentunya dia tdk akan dpt legalitas dari negara. Tapi bagaimana hukum menyelisihi keputusan hakim dlm konteks ini atau seluruhnya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya