Rukun, Syarat & Pengugur Waris

 

Rukun, Syarat & Pengugur Waris


Syarat Waris


Syarat waris adalah perkara yang jika tidak terpenuhi, maka tidak ada pembagian warisan. Posisinya sama seperti thaharah untuk keabsahan shalat. Dan juga sama seperti nishab untuk kewajiban zakat.


Ada 5 syarat waris:

1.     Wafatnya pewaris,

2.     Hidupnya ahli waris ketika pewaris wafat,

3.     Diketahuinya hubungan ahli waris kepada pewaris; entah dengan nasab, atau pernikahan atau wala’ (pemerdekaan). Ini lebih tepatnya pengetahuan tentang arah kiblat sebelum shalat, yang mana jika ia tidak tahu, akan sulit mengerjakan shalat. Begitu juga dalam hal ini, pengetahuan tentang siapa ahli waris dan siapa yang bukan serta berapa bagiannya menjadi harus diketahui sebagai syarat dijalankanya perwarisan.

4.     Diketahuinya secara detil jenis hubungan ahli waris kepada pewaris dari sisi nasab. Apakah ia anak, ayah, saudara atau paman dan jenis lain dari sisi nasab.

5.     Hilangnya mawani’ atau penggugur hak waris.


Wafatnya pewaris harus dipastikan sebelum warisan dibagikan, karena kepemilikannya terhadap hartanya masih ada sepanjang ia masih hidup. Kepastian kematian itu bisa didapatkan secara hakikat, bahwa memang secara zahir pewaris telah meninggal. Atau bisa juga dipastikan dengan putusan hakim tentang status orang tersebut, seperti putusan pengadilan tentang kematian seseorang yang sudah lama tidak ada kabarnya.  


Sebagaimana disyaratkan kepastian wafatnya pemilik harta, yaitu pewaris dalam waris, maka begitu juga harus dipastikan hidupnya pemilik harta selanjutnya, yakni ahli waris. Walaupun hidupnya sebentar, seperti bayi yang lahir tapi kemudian tidak berselang lama ia wafat. Maka bayi itu juga termasuk ahli waris karena ia hidup ketika pewaris meninggal dunia.


Dengan begitu, jika ada orang yang ketika pewaris meninggal dunia, ia tidak ada karena memang sudah jauh lebih dulu meninggal dunia, maka ia bukanlah ahli waris. Dan posisinya juga tidak bisa digantikan oleh anaknya atau yang lainnya.


Jumlah ahli waris itu banyak dan posisinya serta hubungannya kepada mayit berbeda-beda, yang menyebabkan perbedaan pada status dan jatah yang diterima sebagai ahli waris. Maka posisi itu harus diketahui secara pasti untuk dijalankan pembagian harta warisan. Ini maksud daripada syarat waris ke-3 dan ke-4.


Rukun Waris


Sama sebagaimana shalat, salah satu rukunnya adalah membaca surat al-Fatihah, maka jika ada orang yang shalat akan tetapi tidak membaca surat al-Fatihah, shalatnya tidak sah. Begitu juga dalam hal waris ini, bahwa jika rukun waris ini tidak ada, maka pelaksanaan waris ini cacat dan tidak sah. Oleh sebab itu, rukun-rukun waris itu haruslah ada. Sederhananya, ada rukun ada waris, tidak ada rukun, tidak ada waris.


Rukun Waris ada 3:

1.     Muwarrits, artinya pewaris. Yaitu orang yang wafat dan meninggalkan harta.

2.     Warits, artinya ahli waris. Bentuk jamaknya adalah warotsah. Yaitu orang yang punya hubungan kepada mayit, dengan hubungan yang menyebabkannya menjadi ahli waris. Akan dijelaskan selanjutnya tentang sebab-sebab yang membuat orang menjadi ahli waris.

3.     Al-Mauruts, artinya Harta yang diwariskan. Yaitu harta yang dimiliki oleh mayit ketika hidup, dan ditinggalkan selepas kematiannya.       


Sebab-Sebab Waris


Sebab-sebab waris secara sederhana bisa diartikan sebagai perkara yang dengan itu seseorang bisa menjadi ahli waris. Sebab-sebab waris itu ada 3:

1.     Nasab (kekerabatan)

2.     Pernikahan,

3.     Al-Wala’ (pemerdekaan budak)


Sejatinya 3 ini yang menjadi sebab perwarisan, akan tetapi dalam pelaksanaannya, ulama menambahkan sebab waris menjadi 4, yang mana nomor 4 itu diperdebatkan antara Islam dan Dzawil-Arham. Keduanya sebab itu muncul Ketika memang sebab utama waris yang 3 diatas tidak ada sama sekali.


1.     Nasab


Orang yang menjadi ahli waris sebab nasab atau kekerabatan adalah orang yang tentunya punya hubungan nasab kepada mayit atau pewaris. Diantaranya adalah:


a.      kedua orang tua mayit, dan kakek dan nenek dengan syarat tertentu. Pihak ini biasa disebut dalam ilmu waris dengan istilah Ushul.

b.     Anak keturunan mayit, yakni anak laki dan anak perempuan serta cucu dari anak laki. Pihak ini biasa disebut dengan istilah Furu’.

c.      Pihak ketiga dalam sebab nasab ini disebut dengan istilah Hawasyi.  Mereka adalah orang-orang yang terhubung kepada mayit melalui kedua orang tua mayit; seperti, saudara saudari kandung, saudara saudari seayah, beserta anak laki-laki mereka dan juga saudara saudari seibu. Paman dari pihak ayah beserta anak laki mereka juga masuk dalam pihak ini.


2.     Pernikahan


Orang yang menjadi ahli waris sebab pernikahan hanyalah suami atau istri sah si mayit secara agama, walaupun keduanya belum berhubungan badan. Ayat 12 surat al-Nisa’ menjelaskan itu semua bahwa keduanya saling mewarisi satu sama lain selama keduanya masih dalam ikatan pernikahan.


Sedangkan istri yang ditalak oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal dunia, mereka masih mendapatkan warisan sebagai istri dengan syarat:

a.      Talaknya talak raj’i, yakni talak 1 dan 2,

b.     Masih dalam masa iddah.


3.     Al-Wala’


Adapun orang yang menjadi ahli waris sebab Al-Wala’ adalah orang yang memerdekan budak. Baik ia laki-atau perempuan, ketika budak yang ia merdekakan meninggal dunia dan harta, maka orang yang memerdekakannya dulu menjadi ahli waris sebab al-Wala’ ini. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Nabi shallallahu ‘alayh wasallam bersabda:

الوَلاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ

“al-wala’ adalah hubungan layaknya hubungan nasab”.


Akan tetapi tidak sebaliknya; yakni budak yang dimerdekakan tidak menjadi ahli waris bagi orang yang memerdekakannya.


4.     Islam / Dzawil Arham


Ketika seseorang meninggal dunia dan ia tidak meninggalkan ahli waris dari seluruh yang disebutkan di atas, maka harta peninggalan diserahkan kepada Baitul maal untuk kepentingan umat islam secara keseluruhan dengan cara yang syar’i jika memang ada Baitul-maal dengan bentuk yang sesuai dengan ketatapan syariat.


Jika pun Baitul maal dengan betuk yang sesuai syariat tidak ada, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham; yakni kerabat dari pihak ibu. Dan akan ada penjelasannya lebih detil tentang ahli waris dzawil arham ini.


Pandangan ini dinilai sebagai pandangan madzhab al-Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan dalam al-Fiqh al-Manhaji.


Pengugur Waris


Penggugur waris itu secara sederhana diartikan sebagai penghalang waris yang membuat seseorang terhalangi menjadi ahli waris dan gugur haknya daripada warisan.


Ada 3 penggugur waris:

1.     Perbudakan,

2.     Pembunuhan,

3.     Perbedaan agama.


1.     Budak


Budak adalah status yang membuat orang itu tidak bisa menjadi ahli waris orang merdeka, walaupun mungkin ia punya hubungan kerabat. Karena budak tidak bisa memiliki harta, seluruh yang ada pada dirinya termasuk badannya adalah milik tuannya. Maka jika ia diberikan warisan, itu menjadi milik tuannya, dan tuannya bukanlah orang yang punya sebab kewarisan kepada mayit.


Begitu juga budak tidak memberikan warisan kepada yang orang-orang yang ditinggal; karena memang ia tidak memliki apa-apa. Semua yang ada pada dirinya dan badannya adalah milik tuannya.


2.     Pembunuhan


Pembunuhan juga menjadi penggugur waris. orang yang membunuh, tidak mendapatkan dari yang dibunuh apa-apa dari warisan. Dan pembunuhan yang menjadi penghalang waris adalah seluruh jenis pembunuhan, baik sengaja atau tidak, baik dengan cara yang dibenarkan, seperti qishah atau tidak. Termasuk juga dalam makna membunuh adalah memutuskan perkaranya dengan hukuman mati, atau memberikan persaksian yang memberatkan sehingga ia dihukum mati.


Akan tetapi, yang dibunuh tidak terhalangi untuk menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan dari orang yang membunuh. Contohnya seperti seorang anak laki yang mencederai ayahnya dengan pencederaan yang menyebabkan kematian. Lalu sebelum ayahnya meninggal sebab derita cederanya itu, anak lakinya meninggal lebih dulu. Dalam hal ini ayahnya menjadi ahli waris anaknya; karena tidak ada yang membuat ayahnya terhalangi untuk mendapatkan warisan.


3.     Perbedaan Agama


Perbedaan agama antara kedua pihak juga menjadi penyebab terhalanginya satu sama lain untuk menjadi ahli waris. seperti ayahnya muslim yang memiliki anak seorang Nasrani. Maka anaknya tidak menjadi ahli waris ayahnya, dan begitu juga sebaliknya. Nabi shallallahu ‘alayh wasallam sebagaimana diriwayat oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim di awal-awal bab Faraidh, bersabda:

لا يَرِثُ المُسْلِمُ الكافِرَ، ولا الكافِرُ المُسْلِمَ

“Muslim tidak mewarisi kafir, dan kafir juga tidak mewarisi muslim”.


Orang murtad itu masuk dalam kategori kafir. Karenanya, hukumnya dalam masalah waris ini sama seperti kafir; ia tidak mewarisi dan tidak diwarisi.

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya