Imam Sudah di Mimbar, Apakah Tahiyatul-Masjid Masih Sunnah?

Perihal tahiyatul-Masjid, yang juga sering jadi pertanyaan ialah; jika seseorang masuk masjid dan Imam sudah di atas mimbar berkhutbah, apa masih ada kesunahan tahiyatul-Masjid baginya? Artinya apa yang harus dilakukan, duduk langsung karena memang wajib mendnegarkan khutbah? Atau memanfaatkan sedikit waktu untuk meraup pahala sunnah tahiyatul-masjid?

[1] Tetap Sunnah Tahiyatul-Masjid, Tapi Dipercepat

Ini pendapat Imam al-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mengacu kepada hadits Sahabat Sulaik al-Ghathafani r.a. itu, yang mana beliau datang ke masjid pada hari jumat, dan Nabi s.a.w. sudah di atas mimbar. Melihat Sulaik yang langsung duduk, Nabi justru memerintahkannya untuk berdiri lagi guna shalat 2 rakaat.

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ  وَرَسُول اللَّهِ r يَخْطُبُ فَقَال : يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
Sulaik Al-Ghthafani radhiyallahuanhu masuk ke dalam masjid ketika Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Beliau SAW bersabda,"Berdirilah kamu wahai Sulaik, lakukan shalat dua rakaat dan tunaikanlah keduanya dengan ringan. (HR. Muslim)

Dengan ringan maksudnya, shalatnya itu dilakukan dengan tidak terlalu lama, sekedar rukun shalatnya terpenuhi. Karena bagaimanapun Imam sudah di atas mimbar, kewajibannya adalah mendengarkannya, jadi tidak perlu berlama-lama dalam shalat.

[Sudah Duduk, Tetap Sunnah 2 Rakaat Tahiyat]

Ini juga sekaligus menjadi dalil bagi madzhab ini perihal orang yang datang ke masjid, namun langsung duduk. Walaupun sudah duduk, ia masih bisa shalat tahiyatul-Masjid dan tetap dapat kesunahannya juga, mengacu kepada pristiwa Sahabat Sulaik ini.

[2] Duduk dan Mendengarkan Khutbah

Ini pendapat yang dipegang oleh madzhab al-Malikiyah dan madzhab al-Hanafiyah. Lebih jauh lagi bahwa bagi mereka shalat 2 rakaat tahiyatul masjid ketika Imam sudah di mimbar hukumnya makruh, bukan Sunnah. Dengan demikian melakukannya tidak berarti apa-apa, yang baik adalah duduk dan mendengarkan.

Mereka berargumen dengan ayat 204 surat al-A'raf yang memang turun ketika Nabi s.a.w. denagn khutbah sebagai perintah bagi umat muslim untuk mendengarkan khutbah; (Tafsir Ibn Katsir 3/538)

فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
"Dengarkanlah dan perhatikanlah." (QS. Al-A'raf : 204)

Jadi memang ini perintah yang jelas untuk diam dan mendenarkan khutbah ketika khotib sedang berarad di atas mimbar, karena memang apa ang dibacakan oleh Khotib tidak lain adalah ayat-ayat Quran, termasuk juga dilarang sholat. Karena sholat termasuk praktek yang membuat seseorang tidak bisa mendengarkan khutbah tersebut. Bagaimana bisa ia melakukan sebuah kesunahan dan menabrak sebuah kewajiban. Apakah kesunahan jauh lebih utama dari kewajiban?

[Hadits Sulaik al-Ghathafani = "Personal Case"]

Terkait hadits Sulaik Al-Ghothofani ini, 2 madzhab ini menilai bahwa peristiwa ini adalah peristiwa khusus yang memang hukumnya berlaku hanya personal Sulaik saja, tidak semua umat. Ini yang dalam ilmu fiqh disebut dengan istilah "waqa'i al-A'yaan" [وقائع الأعيان], perkara khusu atau "personal case".

Apa indikasinya kalau itu personal case?

Pertama: Khutbah jumat itu disyariatkan setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah. Berarti khutbah jumat ada sejak nabi berada di Madinah sampai wafat beliau, itu sama saja Nabi telah berkhutbah di depan para sahabat untuk sholat jumat lebih dari 500 kali.

Lalu yang 500 lainnya kemana? Kenapa hanya ada satu hadits dan itu pun hadits Ahaad,  yang menceritakan untuk itu? Apakah selama 500 lebih khutbah itu hanya Sulaik yang terlambat datang ke masjid? Kenapa tidak ada perintah yang sama kepada sahabat yang lain untuk itu?

Maka Imam Malik dan Imam Abu Hanifah melihatbahwa itu kejadian khusus yang hanya berlaku pada sulaik, dan tidak pada yang lainnya. Hukum khutbah tetap seperti asalnya yaitu wajib bagi makmum untuk diam dan mendengarkan.

Kedua: Nyatanya, banyak sahabat Nabi s.a.w. yang masuk masjid dan Nabi berada di dalamnya akan tetapi beliau tidak memerintahkan mereka untuk shalat tahiyatul-Masjid. Salah satunya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Waqid al-Laitsi r.a. tentang 3 orang yang menghadiri majlis Nabi s.a.w. di masjid.

Orang pertama masuk dan mengisi shaff depan yang kosong. Orang kedua masuk, namun malu akhirnya hanya duduk di barisan belakang. Orang ketiga justru tidak masuk, malah pergi meninggalkan Majlis. Kemudia Nabi s.a.w. berkata:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
"mau kah kalian aku beritahu tentang 3 orang; Orang pertama mendekat, maka Allah mendekatinya. Yang kedua malu, maka Allah pun malu kepadanya. Yang ketiga berpaling, Allah pun berpaling darinya." (Muttafaq 'Alayh)

Nabi hanya memberi kabar kepada para sahabat lain perihal 2 orang yang masuk tersebut, namun Nabi s.a.w. tidak memerintahkannya. Padahal ia masuk masjid.

Pendapat ini juga diperkuat dengan kaidah Ushul (dalam madzhab Imam Abu Hanifah) bahwa Zohir ayat Quran jauh lebih kuat dibanding hadits Ahaad.  

Wallahu a'lam

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya