Jasa Penghulu Nikah Sirri di Jakarta

Beberapa hari yang lalu, penusli kaget karena mendapat email yang tidak biasa, email  yang masuk itu bersumber dari akun islam11xxxxx@gmail [dot] com dengan subject "Jasa Penghulu Nikah Sirri di Jakarta". Dari judulnya saja sudah aneh, semakin aneh karena isinya pun vulgar sekali. Begini bunyi emailnya: 

"Kami menyediakan jasa penghulu nikah siri di Jakarta.
Lengkap dengan para saksi dan wali nikah (jika membutuhkan wali).
Proses mudah (tidak perlu menyediakan foto, fotokopi KTP, dokumentasi, dll). Cukup membuat janji dengan kami, ingin menikah hari apa, tanggal berapa. Insya Allah, kami siap.
Biaya terjangkau, Rp 2 juta (harga sewaktu-waktu bisa berubah).
Dapat "Sertifikat Menikah Siri."
Rahasia terjamin, insya Allah.
Alamat: Jln Dr Saharjo gang xxxxxxxx (alamat lengkap sengaja penulis sembunyikan) Jaksel
Call/sms: 087xxxxxxxxx (Ustad -xx-)."

Jelas sekali inti dari email orang ini, bahwa ia menawarkan jasa penghulu nikah di bawah tangan. Karena penasaran, penulis mencoba menghubungi nomo kontak yang disediakan di situ, dan memang terbukti nyambung. Berpura-pura sebagai orang yang ignin menggunakan jasa ustadz tersebut, penulis mengutarakan kasus palsu yang sedang dialami.

Penulis mengatakan sedang membutuhkan jasa beliau karena ingin menikah dengan seorang teman wanita akan tetapi tidak mendapat restu dari kedua orang tua wanita tersebut (ingat! Ini kasus palsu yang penulis buat guna meminta keterangan dari ustadz kawin sirri ini). Lalu dengan sangat meyakinkan, sang ustadz menjawab:

"Tidak mengapa, mas. Tidak perlu memakai wali kalau memang tidak direstui, menikah dengan bantuan kami bisa. Caranya itu ialah 'intiqol madzhab', pindah madzhab ke Malikiyah dan Hanafiyah, karena mereka membolehkan menikah tanpa wali.

Tapi kami tidak mengurusi surat menyurat ke KUA, kami hanya memberikan sertifikat nikah sirri dari kami. Tapi kalau memang mau, kami bisa mrngurusi itu semua, asal fee-nya nambah menjadi Rp. x.000.000,-"

Posisi Wali Dalam Pernikahan

Keberadaan wali nikah yang menjadi syarat sahnya pernikahan memang masih berada pada willayah perbedaan pendapat antara ulama fiqih lintas madzhab. Setidaknya ada 3 pendapat masyhur di kalangan para ahli fiqih dalam masalah ini:

[1] Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, artinya sebuah pernikahan tidak sah dalam pandangan syariah jika tanpa wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama; diantaranya madzhab Syafi'i, Hanbali dan salah satu riwayat masyhur Imam Malik.[1]

[2] Wali bukanlah syarat sah pernikahan. Pernikahan secara syariah, hukumnya sah walau tanpa wali. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, namun 2 sahabat beliau; Muhammaddan Abu Yusuf memandang berbeda.[2]

[3] Dibedakan antara perawan dan janda. Kalau perawan, wali adalah syarat sah pernikahan, akan tetapi kalau dia janda maka wali bukanlah syarat sah pernikahan itu. Ini pendapatnya Imam Abu Daud Al-Zohiri.[3]

Sejatinya, dalam turots fiqih ada satu lagi pendapat dalam masalah ini, yaitu pendapat Imam Malik dari riwayat Ibn Al-Qasim yang mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak Syarifah (mulia) atau dari kalangan biasa yang tidak terpandang, boleh menikah dengan tanpa wali.

Jadi dalam pandangan Imam Malik yang satu ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd, wali merupakan syarat pelengkap saja dan bukan syarat sah pernikahan. Adanya itu baik, tapi tidak adanya juga tidak menjadi masalah.

Ikut Pendapat Yang Mana?

Memang tidak ada ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah seperti ini, kita dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru.

Dalam masalah ini memang pendapat Imam Abu Hanifah terkesan pendapat yang ringan bahkan memudahkan untuk tidak kita katakan menggampangkan. Karena memang tidak mengharuskan wali bagi siapa saja yang ingin menikah. Berbeda dengan pendapat Jumhur yang mensyaratkan wali nikah sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan.

Dan memang inilah yang sering dijadikan tameng oleh beberapa kalangan untuk melangsungkan pernikahan dengan tanpa wali si wanita. Mereka berdalih bahwa ada pendapat madzhab fiqih yang membolehkan itu. Terkesan menggampangkan syariah walaupun tidak salah juga.

Menurut penulis, ini hanya sebuah legalisasi kwani lari secara agama saja, yang sejak dari dahulu kala memang sudah dinilai negative oleh kebanyakan orang Indonesia karena jauh dari adab. Dan ustadz kawin sirri ini, memanfaatkan kegamangan masyarakat akan awamnya dengan syariah, dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dengan menjual label agama.

-       Tatabbu' Al-Rukhos (Memilih Yang Ringan) 
Lalu yang jadi pertanyaan apakah boleh mengambil pendapat yang lebih mudah dan ringan dalam masalah khilafiyah seperti ini, yang disebut dengan Tatabbu' Al-Rukhos [تتبع الرخص]? Atau kah diharuskan mengambil yang lebih sulit sebagai kehati-hatian?

Ulama memang ada yang membolehkan mengambil pendapat yang lebih mudah saja untuk diamalkan dibanding pendapat ulama yang terkesan berat dan sulit. Dengan alasan bahwa memang tidak ada larangan dalam syariah ini untuk beribadah sesuai dengan pendapat ulama yang memudahkan.

Dan sunnah Nabi Muhammad saw baik itu perkataan ataupun perbuatan menunjukkan kebolehan untuk mengambil pendapat yang memudahkan sebagai landasan beribadah. Nabi dalam sebuah riwayat dikatakan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِ إِثْمٌ فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
"Dari 'Aisyah ra, beliau berkata bahwa Nabi tidak diberikan 2 pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah kecuali jika itu dosa. Kalau itu dosa ia adalah orang yang paling menjauhinya" (HR Ahmad) 

Imam Al-Qorofi dari kalangan Malikiyah mengatakan secara tegas kebolehan bagi seseorang untuk beribadah dengan landasan pendapat ulama yang memang meringankannya. Tapi kemudian beliau memberikan syarat bahwa keputusannya mengambil pendapat yang ringan tersebut tidak membuatnya mengerjakan suatu amalan yang batil dan juga tidak sampai kepada prkatek Talfiq

Talfiq ialah praktek mengambil beberapa pendapat ulama mujtahid dalam satu urusan amal, lalu mencampurnya sehingga melahirkan pendapat baru.[4]

Seperti dalam masalah wudhu. Seseorang mengambil pendapatnya imam syafi'i yang tidak mewajibkan mengusap seluruh bagian kepala. Akan tetapi ia mengambil pendapat imam Ahmad bin Hanbal yang tidak membatalkan wudhu jika bersentuhan dengan lawan jenis, yang sejatinya wudhunya itu batal menurut madzhab Syafiiyah.

Jadi yang terjadi itu justru ia membuat praktek wudhu versi baru yang belum pernah ada imam Mujtahid mengatakan demikian. Ia justru membuat madzhab baru akhirnya. Intinya memang talfiq itu membuat madzhab sendiri tanpa dasar yang jelas, hanya catut sini catut sana.

Dan apa yang dilakukan oleh ustadz kawin sirri itu (baca: kawin lari) ya seperti itu, hanya mengambil yang menguntungkan saja. Catut sana catut sini, yang penting usahanya laku. Na'udzubillah

-       Memilih Yang Berat

Namun ada juga pendapat ulama yang memang sangat keras dan mengharamkan 
mengikuti pendapat yang mudah dan terkesan menggampangkan. Ulama ini mewajibkan mengambil pendapat yang memang berat dan kuat. Dan ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal dan juga beberapa ulama dari kalangan Malikiyah. [5]

Menurut pendapat ini, mengambil pendapat yang ringan dalam beribadah itu lebih condong dan lebih dekat kepada keinginan hawa nafsu yang memang selalu menginginkan keringanan dalam beribadah.

Padahal ketika terjadi perselihan pendapat, yang diperintahkna kepada kita ialah kembali kepada Allah swt dan Rasul saw. Bukan malah mengikuti hawa nafsu. 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)". (An-Nisa' 59)

Dorongan hawa nafsu sangat kental menjadi latar belakang alasan kenapa seorang muslim mengambil pendapat yang meringankannya, dan enggan mengambil ketetapan yang berat. Dan syariat dengan sangat jelas melarang ummatnya mengikuti hawa nafsu. 

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
"janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah". (Shaad 26)

Dan akhirnya, dengan terus mengikuti hawa nafsu akan timbul penyepelan terhadap syariah. Dengan ia terus menerus mencari-cari mana pendapat yang sekiranya menguntungkan bagi dia dan kelompoknya. Iman dalam diri sudah tidak menjadi dasar dan dorongan lagi dalam beribadah, akan tetapi nafsu dan kepentingan sepihak.

Imam Al-Ghozali mengatakan:
وَلَيْسَ لِلْعَامِّيِّ أَنْ يَنْتَقِيَ مِنْ الْمَذَاهِبِ فِي كُلِّ مَسْأَلَةٍ أَطْيَبَهَا عِنْدَهُ فَيَتَوَسَّعَ
"Seorang awaam (yang tidak mampu berijtihad) tidak diperkenankan baginya menyeleksi pendapat madzhab yang paling menguntungka buatnya, (khawatir) ia bisa melampaui batas (memudahkan)"[6]

Pendapat ini juga didasari oleh faham kehati-hatian dalam beribadah. Bagaimanapun, ibadah adalah kerat kaitannya dengan perkara halal dan haram yang bisa menjerumuskan seseorang kedalam dosa. Perkara yang berat seperti ini hendaknya tidak digampangkan atau dimudah-mudahkan.

-       Pendapat Imam Syathibi

Dalam kitabnya Al-Muwafaqat, Imam Syathibi menjelaskna bahwa yang harus dilakukan oleh seorang penanya jika mendapatkan pendapat yang berbeda dari para mujtahid ialah mencari pendapat mana yang lebih unggul.

Tidak langsung memilih mana yang lebih mudah untuknya. Tapi menimbang dulu mana yang kuat, dilihat dari dalil dan bagaimana para mujtahid itu berIstidlal. Karena menurut beliau perbedaan pendapat untuk seorang awwam itu bagaikan dalil-dalil yang saling berselisih untuk seorang Mujtahid. Dan pada saat itu seorang mujtahid diharuskan mencari dalil mana yang lebih kuat, begitu juga seorang muslim jika dihadapkan kepada perbedaan pendapat.[7]

Pendapat Imam syathibi di sini sepertinya menjadi pendapat penengah antara 2 pendapat di atas. Akan tetapi pendapat beliau di sini tidak bisa diemplementasikan kepada seluruh orang, itu hanya cocok bagi mereka yang memang bisa melakukan itu, yaitu memverifikasi pendapat mana yangs sekiranya kuat.

Padahal di kalangan sana banyak sekali orang awwan yang sama sekali tidak tahu harus memilih yang mana. Kalau dia diperintah untuk menyeleksi pendapat mana yang sekiranya kuat sudah pasti menyulitkan.

Sepertinya memang pendapat Imam Syathibi ini hanya cocok bagi para penuntut ilmu syar'i, yang mana mereka mengerti dalil dan istidlalnya namun tidak sampai derajat mujtahid.

Memilih Pendapat Mayoritas (Hukum Negara)

Yang paling baik menurut penulis dalam hal ini ialah mengikuti pendapat yang banyak dipegang oleh lingkungan sekitar, yaitu suara mayoritas (Majority Voice). Sebenarnya bukan hanya pada masalah nikah ini saja, akan tetapi dalam segala hal memang baiknya seseorang tidak menampakkan perbedaan sendiri ditengah keseragaman khalayak.

Kalau memang tinggal pada lingkungan Hanbali, ya mengikuti pendapat Madzhab Hanbali jauh lebih baik dari pada yang lain. Begitu juga jika memang tinggal di lingkungan Malikiyah, sungguh sangat tidak beradab jika kita malah menampakkan keengganan kita untuk mengikuti pendapat Malikiyah.

Kita di Indonesia ini yang memang terkenal dengan menjamurnya madzhab Syafi'i, ya tentu jauh lebih baik bahkan memang sangat baik untuk kita mengikuti pendapat-pendapat ulama syafiiyah. Dibanding harus tetap kukuh dengan ulama yang tidak bermadzhab.

Karena bagaimanapun menampakkan perbedaan ditengah keseragaman khalayak ialah sesuatu yang sangat tidak terpuji, dan sudah pasti akan menimbulkan gesekan antara masyarakat.

Dan hukum mayoritas dalam hal perkawinan di Indonesia ini sudah tertuang dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi pegangan seluruh Hakim Agama di sejagad indonesia ini. Sudah pasti tidak akan berbeda.

Dan posisi wali nikah dalam KHI ialah sama seperti pendapat jumhur yang menempatkan seorang wali nikah sebagai rukun nikah yang keberadaannya tidak boleh tidak ada. Ini tertuang dalam pasal 19 – pasal 24 dalam Kompilasi tersebut.

Kemaslahatan


Satu lagi yang sering dijadikan dasar hukum oleh para ulama ialah Al-Istishlah [الاستصلاح] atau biasa yang disebut dengan kemaslahatan. Negara ini sudah menentukan bahwa menikah tidak sah kecuali dengan wali. Dan aturan ini dibentuk tentu bukan sekedar asal bentuk, akan tetapi dengan perhitungan yang matang setelah meninjau berbagai aspek, baik itu aspek syariah maupun aspek sosial.

Menjadikan wali nikah sebagai rukun, selain mengikuti pendapat jumhur ulama, ini juga mempunyai dampak positif yang besar terhadap keberlangsungan hidup sosial antara warga. Dan justru meninggalkan ini, yakni mengambil keputusan bolehnya menikah tanpa wali akan menghasilkan dampak yang buruk bagi masyarakat.

Coba bayangkan seandainya seluruh warga diberikan kebebasan untuk menikah tanpa wali si gadis, apa yang akan terjadi? Kesemrawutan sana sini pasti yang akan terjadi. Mungkin hampir tiap hari kita akan mendengar seorang ayah kehilangan anak gadisnya karena dibawa kabur oleh sang pacar yang tidak disetujui oleh si ayah gadis.

Kemudian berapa banyak wanita yang hamil dan kemudian si ayah tidak mau tanggung jawab? Karena memang tidak ada persetujuan dengan sang wali dalam akad yang merupakan sebagai perpindahan tanggung jawab dari si wali kepada sang lelaki.

Kekacauan pasti akan terjadi, dan kekacauan ini akan terus berlanjut kalau tidak ada tindakan tegas dari penguasa. Untuk meminimalisir kekacauan itu dan meciptakan maslahat bagi warganya, Negara membuat aturan itu.

Kemudian pastinya akan muncul lagi masalah dengan status perwalian kita terhadap anak kita yang dihasilkan dari pernikahan tanpa surat resmi Negara. Ketentuannya mengatakan bahwa anak nantinya tidak bisa mendapatkan surat keterangan lahir (AKTA Lahir) kalau kedua orang tuanya tidak punya surat resmi menikah dari Negara.

Bukan hanya itu, ujung-ujungnya akan terjadi kakacauan hukum dan status untuk si anak. Kepada siapa Negara akan memberikan perwaliannya sebagai penanggung jawab penuh atas pendidikan, sandang serta pangan anak tersebut.

Dan sudah pasti dia pun tidak mendapat jatah waris jika harta orang tuanya diserahkan kepada pengadilan ketika wafat. Karena pengadilan akan memberika waris kepada anak yang sah, dan keabsahan seorang anak itu tidak bisa dibuktikan kecuali dengan surat-surat resmi Negara yang berawal semuanya dari surat resmi menikah KUA.  

Jadi sejatinya memang tidak ada alasan untuk tidak mengikuti jumhur, karena memang Negara mewajibkan itu.

Wallahu A'lam


[1] Bidayatul-Mujtahid 376, Al-Majmu' 16/146, Al-Mughni 7/337
[2] Bada'i Al-Shona'i 2/247
[3] Al-Muhalla 9/455
[4] Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu 1/85
[5] Al-Madkhol ila Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal 206
[6] Al-Mustashfa 1/374
[7] Al-Muwafaqot 5/84

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya