Kata Ibnu Taimiyyah Tentang Perbedaan Madzhab Fiqih

Imam Ibn Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa-nya (20/293) mengajari kita bagaimana mestinya besikap di tengah perbedaan masalah agama yang sifatnya dzonniy:

تَنَازَعَ الْمُسْلِمُونَ : أَيُّهُمَا أَفْضَلُ التَّرْجِيعُ فِي الْأَذَانِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ أَوْ إفْرَادُ الْإِقَامَةِ أَوْ تَثْنِيَتُهَا ؟ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ بِغَلَسِ أَوْ الْإِسْفَارُ بِهَا ؟ وَالْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ تَرْكُهُ ؟ وَالْجَهْرُ بِالتَّسْمِيَةِ ؛ أَوْ الْمُخَافَتَةُ بِهَا ؛ أَوْ تَرْكُ قِرَاءَتِهَا ؟ وَنَحْوُ ذَلِكَ
Orang-orang Islam berselisih: mana yang afdhal tarji' (melirihkan syahadat) dalam adzan atau tidak perlu tarji'? iqamah disebut satu kali atau diulang 2 kali (seperti adzan)?, shalat subuh di awal waktu (masih gelap) atau menunggu hingga mulai terang (isfar)? Qunut di shalat subuh atau tidak qunut? Menjaherkan bismillah atau melirihkan saja, atau memang tidak perlu dibaca saja? Dan perbedaan sejenisnya …

فَهَذِهِ مَسَائِلُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ فَكُلٌّ مِنْهُمْ أَقَرَّ الْآخَرَ عَلَى اجْتِهَادِهِ مَنْ كَانَ فِيهَا أَصَابَ الْحَقَّ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنْ كَانَ قَدْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ لَهُ
Masalah-masalah tersebut adalah masalah yang sifatnya ijtihadiy yang ulama salaf dan para imam sejak dulu memang sudah berselisih. Akan tetapi mereka dengan perselisihan tetap saling mengakui ijtihad yang lain (tidak menyalahkan), siapa yang ijtihadnya benar, ia mendapat 2 pahala, dan yang ijtihadnya salah dia mendapat satu pahala dan kesalahannya diampuni …

فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَد لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ وَنَحْوُ ذَلِكَ
Siapa yang merasa bahwa mengikuti syafi'i itu lebih baik, maka ia tidak boleh menginkari orang yang mengikuti Malik. Yang lebih memilih mengikuti Ahmad tidak boleh menginkari orang yang mengikuti syafi'i dan begitu juga seterusnya.


Yang tadi itu Imam Ibnu Taimiyah, senada dengan apa yang disebutkan oleh Imam al-Syathibiy, ulama salaf pakar bid'ah, yang definisinya dipakai oleh seluruh ulama –yang berintisab- ke salaf. Beliau mengatakan dalam al-I'tisham (1/266):


وَلَيْسَ مِنْ شَأْنِ الْعُلَمَاءِ إِطْلَاقُ لَفْظِ الْبِدْعَةِ عَلَى الْفُرُوعِ الْمُسْتَنْبَطَةِ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِيمَا سَلَفَ
"bukan pekerjaan ulama kalau memutlakkan lafadz bid'ah pada masalah-masalah furu' (cabang) yang diinstinbathkan (dari dalil-dalil) walaupun salaf tidak mefatwakan itu."

Comments

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya