Antara Bakwan dan Fiqih

Bagi yang mau makan 'bakwan', yang dalam beberapa daerah disebut dengan istilah 'bala-bala', pilihannya ada 2; dia datang ke tukang bakwan dan membelinya, kemudian bisa langsung dinikmati. Atau bisa juga yang agak ribet, dia bikin sendiri, artinya masak sendiri.

Untuk pilihan yang pertama, ini pilihan yang simple, tidak memakan waktu, serta sudah dipastikan nikmat rasa bakwan­nya; karena  memang membeli dari yang sudah ahli dalam dunia per-masak-an bakwan dan bala-bala. Maka untuk rasa, tidak perlu dikomentari.

Untuk cara yang kedua, ini cara yang ribet, memakan waktu panjang, dan tidak dijamin rasanya; nikmat atau tidak.

(1) Ribet,
karena banyak tahapan yang harus dilalui. Pertama dia harus mencari ke pasar langsung bahan-bahan untuk bikin bakwa itu; terigu, kol, wortel, dst; ini bahan mnetahnya. Dia juga harus membeli bumbunya; kunyit, bawang, ketumbar, garam, royko dst, atau bisa juga beli  bumbu jadi seperti bumbu sasa atau bumbu tepung, dan bumbum-bumbu semisalnya dari merek yang berbeda.

(2) Memakan waktu panjang
Karena semua bahan mentah yang tadi disebutkan sama sekali tidak berguna dan tidak bermanfaat serta tidak bisa dinikmati bahkan tidak bisa dijadikan bakwa kecuali harus melalui proses 'masak' yang mana itu tidak mudah. Bahkan sebelum memasaknya pun, ada ilmu 'ngaduk' dan ilmu 'nyampur' bahan-bahan mentah tadi yang keahlian itu tidak bisa didapatkan dengan mudah begitu saja.

Setelah ngaduk serta nyampur bahan mentah itu, bakwan belum jadi, tapi harus dimasak dulu, dan memasaknya juga ada ilmu yang tidak sembarang. Kalau asal saja, bisa-bisa bakwan yang dihasilkan tidak berasa bakwan. Nah proses masak ini yang kemudian menentukan rasa bakwa tersebut, tingkat kelunakan, serta warna yang dihasilkan. Bahkan tingkat besar kecil api yang dipakai untuk menggoreng itu juga ada takarannya, tidak asal nyala. Serta takaran minyak goreng yang dipakai, ada ilmunya juga, tidak sembarang asal 'nyeburin' minyak ke penggorengan. Jelas ini sangat memakan waktu.

(3) Tidak Dijamin Rasanya
Nah, karena memang prosesnya yang tidak mudah tapi kemudian dijalankan sendiri, padahal ia bukan ahlinya, maka produk yang dihasilkan pun tidak jelas rasanya. Bentuknya tidak jelas, warnanya pun aneh, rasanya? Tidak perlu dideskripsikan.  

Ini yang dihasilkan jika tidak punya keahlian, berani-berani masak bala-bala tanpa ilmu, akhirnya bukan bakwan yang dihasilkan, tapi ya sudahlah…

Maka untuk mudahnya, simple caranya, singkat waktunya, dijamin rasanya, tinggal datang saja ke tukang bakwa dan beli lalu nikmati. Tentu datangnya ke tukang bakwan yang memang sudah disepakati oleh para penikmat bakwan bahwa ia adalah tukang bakwan sejati yang ahli dan masakannya bisa dinikmati.

Bukan asal tukang bakwan, karena banyak sekarang tukang bakwan yang jualan tapi ngga punya keahlian bikin bakwan, tapi jadi tukang bakwan hanya untuk menutupi kebutuhan biar hidup masih bisa berjalan.
-----------------
Kaitan semua itu dengan materi fiqih adalah bahwa fiqih itu produk hukum yang untuk memproduknya melalui proses panjang, sebagaimana sang koki itu memasak dan menghasilkan bakwa dari bahan-bahan mnetah yang ada. Fiqih adalah produknya, yakni bakwannya. Ushul-fiqh adalah ilmu mengolah untuk memproses dan menghasilkan hukum dari ayat serta hadits, ini sama seperti ilmu memasak bakwan. Sedangkan ayat serta hadits-hadits Nabi s.a.w. itu adalah barang mnetah.

Ya itu semua adalah barang mentah yang tidak bermanfaat serta tidak berguna bagi orang-orang awam yang memang tidak mengerti hukum syariah. Maka bagi awam seperti ini, baiknya ia langsung saja merujuk koki atau ulama handal untuk bisa menikmati hukum atau bakwan yang diinginkan. Dari pada harus ke pasar sendiri, yang jelas ia tidak punya kehalian itu.

Maka tentukan serta sadarkan diri kita, kita berada pada posisi yang mana, posisi koki yang memang layak dan mampu memasak. Atau kita memang bukan koki yang tidak mampu memasak, kalau sudah seperti itu, tentu jauh lebih baik kita tinggal menikmati saja bakwn yang ada, tidak perlu bersusah payah ke pasar dan memasak sendiri.

Wallahul-musta'an

Comments

  1. untuk kategori yang nomor dua, bisa saja koki abal-abal tersebut kelak akan menjadi koki beneran. Karena intensitas ia memasak bakwan dengan jam terbang yang tinggi pula.

    bisa dikaitkan gak dengan mereka yang gak ada keahlian dalam hal agama, namun karena seringnya menuntut ilmu dan cintanya akan ilmu syar'ie, sehingga ia dijadikan sandaran untuk menyebarkan ilmu syar'ie...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buku Panduan Belajar Imla' Gratis

Jangan Terlena Dengan Hadits "Seseorang Akan Dikumpulkan Bersama Orang Yang Ia Cintai"

Ketika Nenek Menyusui Cucunya