"Black Market", Halal atau Haram?
Beberapa waktu yang lalu, ada pesan
bbm yang masuk menanyakan tentang hukum jual-beli “Black Market”. Saya sudah
lama dengar istilah ini, dan banyak juga dari teman saya yang memang mereka
membeli barang lewat jalur ini ini. Tapi sama sekali tidak terfikirkan apa
hukumnya secara syar’i, sampai akhirnya ada yang bertanya.
pengertian "Black Market"
Namun sebelum membahas suatau
masalah, satu hal yang menjadi kewajiban dan keharusan ialah mencari tahu apa
pengertian dan definisi juga maksud dari masalah tersebut.
Karena bagaimanapun, dalam
menentukan hukum suatu masalah, seseorang tidak bisa asal memberikan label
halal dan haram sebelum ia benar-benar tahu dan mengerti masalah yang
dipertanyakan itu. Dan ternyata susah juga mencari definisi apa itu black market.
Bahkan dalam situs kementrian
perdagangan pun saya tidak mendapatkan definisi tersebut. Akhirnya saya
mendapatkan definisi tersbut Dalam situs bussinessdictionary.com, yang
mendefinisikan dengan redaksi seperti ini:
“Black Market is The Illegal free market
which flourishes in economies
where consumer goods
are scarce or are heavily taxed. In the first kind, black market prices
are higher than the 'official' or controlled prices. In the second kind, prices
are lower than the 'legitimate'
or taxed prices, due
to tax evasion”
“Pasar bebas ilegal yang tumbuh
subur di suatu negara yang mana barang-barang konsumsi sangat langka atau mahal karena dikenakan
pajak. Pada jenis
pertama, harga pasar gelap
(black
market) bisa jadi lebih tinggi dari harga 'resmi' atau yang dikendalikan oleh otoritas
ekonomi negara. Pada jenis kedua,
harga jadi lebih rendah dari harga 'sah' atau yang dikenakan
pajak, karena penggelapan
pajak.”
Kalau dari definisi
diatas yang banyak terjadi di Indonesia itu ialah jenis black market yang
kedua; yaitu barang illegal yang masuk ke dalam negeri dengan tanpa pembayaran
pajak (bea). Yang awalnya barang itu mahal karena ada pajak yang dibayar, barang
itu menjadi lebih murah bahkan sangat murah karena tidak terkena pajak.
Walaupun memang
definisi ini tidak disepakati oleh semua, akan tetapi setidaknya definisi
diatas itu memang yang banyak terjadi. Kabar yang banyak beredar di media itu
juga kan walaupun redaksi berbeda, akan tetapi intinya sama. Yaitu penjualan
barang illegal karena tidak melewati pembayaran pajak, artinya tidak melalui
jalur yang sah, yang telah ditetapkan oleh suatu negara.
Lalu Bagaimana Syariat Islam Memandang Jual Beli Black Market Ini?
Secara umum, syariat ini menghalalkan praktek jual beli,
sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 275 surat Al-Baqoroh: “Dan Allah
telah halal-kan Jual beli dan mengharamkan riba”.
tapi ini adalah dalil umum atas kehalalan jual beli, dan dalah
nas-nash syar’i lainnya banyak disebutkan jenis-jenis jual beli yang
diharamkan, semisal ba’i Al-ma’dum (membeli barang fiktip/tidak ada), ba’i
Al-Ghoror (jual beli yang mengandung spekulasi/ketidak jelasan) , ba’i najasy (jual-beli yang ada
unsur penipuan dengan menciptakan rekayasa permintaan palsu)
Tinggal nantinya kita mencocokan, blackmarket ini masuk ke
golongan jenis jual-beli yang mana, apakah jual beli yang dihalalkan atau
diharamkan.
Sebelum menulis artikel ini, saya telah membaca dan juga
berdiskusi dengan teman-teman di rumahfiqih soal apa hukum jual beli black
market ini. Yaa sudah pasti perbedaan pendapat ini juga tidak bisa dihindari.
Pun begitu artikel-artikel yang saya baca, ada yang secara mutlak mengharamkan
ada juga secara terang-terang membolehkan tanpa syarat. Dan sebagainya.
“HARAM”
Yang mengatakan bahwa jual-beli Black Market itu haram hukumnya,
menurut kelompok ini, black market ialah bentuk jual beli Talaqqi Rukban modern.
Hanya berbeda zaman saja, aslinya ialah jual beli talaqqi Rukban yang dilarang
oleh Nabi saw.
Banyak hadits Nabi saw dengan jalur yang shahih yang menerangken
tentang keharaman jaul belia Talaqqi rukban ini. Salah satunya ialah yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam kitab Shahih-nya (no. 2021) dari
riwayat Abdullah bin Umar, bahwasanya beliau beserta sahabat yang lain bertemu
(Talaqqi) dengan segerombolan penjual (Rukban) yang belum sampai pasar. Lalu
beliau membeli dari mereka beberapa makanan, yang kemudian Rasul saw mengetahui
itu lalu melarangnya.
Selain karena itu juga mirip dengan Talaqqi Rukban, Black market
juga dalam penerapannya terdapat unsur Ghoror (penipuan) dan juga Jahalah
(ketidakjelasan). Karena tidak lengkapnya informasi atas barang tersebut
yang sampai ke telinga pembeli. Juga adanya ketidak jelasan hukum atas barang
dagangannya itu, apakah ilegal atau legal. Dan bisa jadi karena ini barang yang
tidak melewati jalur yang sah, memungkinkan untuk terjadinya pemalsuan barang.
Dan memang unsur itu juga yang membuat Tlaqqi rukban itu menjadi
haram. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “......Karena dalam talaqqi Rukban penjual
dirugikan karena menjual tidak dengan harga pasar sebagaimana mestinya.”
(Majmu’ Fatawa 28/74)
“BOLEH”
Beberapa kalangan menilai bahwa jual beli black market itu sah-sah
saja. Karena didalamnya tidak ada sesuatu yang membuat jual beli itu menjadi
rusak secara syar’i. rukun-rukun jual beli-nya ada dan terpenuhi, begitu juga
syarat-syaratnya terlaksana dengan baik.
Penjualnya ada, pembelinya juga mau, barangnya jelas, harganya pun
disepakati. Dan yang paling penting, penjual dan pembeli sama-sama ridho
menjalankan prkatek ini, dan itu syarat terpenting dalam jual beli. Sama sekali
tidak ada unsur yang membuat praktek “gelap” ini menjadi haram. Hanya
penamaannya saja yang sedikit negatif.
Unsur-unsur yang membuat prkatek jual beli itu menjadi haram
seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Kitab Bidayah-nya (2/125), itu
jika ada 4 unsur:
· Status
kehalalan barang yang diperniagakan. Bila barang yang diperniagakan adalah
haram, maka memperniagakannya juga haram, dan sebaliknya bila barangnya halal,
maka memperniagakannya juga halal.
- · Adanya unsur riba.
- · Adanya ketidak jelasan (gharar).
- · Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).
Dan dalam black market yang sedang kita bicrakan ini, keempat
unsur itu tidak ditemukan. Status barangnya tidak haram, karena bukan khamr,
bukan barang-barang yang membahayakan seperti senpi dll. Akan tetapi kebanyakan
itu barang elektronik yang hukum mubah untuk dimanfaatkan.
Tidak ada ribanya, pun tidak ada ghoror (penipuan/spekulasi) dalam
barang tersebut. Barangnya jelas, harganya pun jelas.
Adapun status legalitas barang yang diragukan, itu tidak bisa
merusak jual beli, karena itu urusan penjual dengan pemerintah. Sedangkan
urusan jual beli itu, urusan dua belah pihak; penjual dan pembeli, kalau kedua
nya saling ridho, maka jual belinya menjadi sah secara syar’i.
Mereka juga mengatakan bahwa perdagangan gelap ini sama saja kita
membeli barang atau makanan di tukang kaki lima, warteg atau toko-toko pinggir
jalan yang tidak mempunyai izin dan tidak ada pajaknya. Karena memang yang menjadi
masalah black market itu ialah status barang yang tak berpajak.
Ada juga dari kalangan yang membolehkan ini, mereka menyamakan
jual beli blacka market dengan nikah siri. Nikah siri walaupun statusnya ilegal
karena tidak tercatat oleh negara, akan tetapi pernikahannya itu sah secara
agama. Dan tidak ada yang meragukan ini. Sah dalam arti si wanita menjadi istri
yang boleh di gauli dan lelaki menjadi suami yang sah yang bertanggung jawab
atas eksistensi keberlangsungan hidup anggota keluarga.
Begitu juga dengan black market, semua hanya masalah keabsahan
secara undang-undang saja. Mereka meng-klaim bahwa “perundang-undangan agama
jauh lebih tinggi dan harus ditaati dibanding undang-undang negara”.
Jadi black market walaupun namanya “perdagangan gelap” tetap saja
itu adalah praktek jual beli yang sah secara syariat dan tidak menjadi masalah.
DISKUSI ARGUMEN
Kelompok Pertama:
Pertama:
Kelompok ini mengatakan bahwa black market itu jual beli yang
haram dan dilarang oleh syariat karena mirip dengan praktek talaqqi rukban,
menurut penulis, ini agak keliru.
Karena dilihat dari sisi manapun, black market bukanlah prkatek
Talaaqi rukban yang banyak dikenal oleh kalangan syariah. Karean talaqqi rukban
ialah prkatek jual beli prematur. Barang dagangan masih berada dipundak penjual
yang sedang menuju kepasar, kemudian ditengah jalan dihadang atau dicegat atau
apapun itu namanya lalu menjualnya kepada para penghadang tersebut.
Ini membuat sipenjual dirugikan. Karena jual beli ketika itu,
sipenjual tidak pernah tau harga barang yang akan dijual kecuali setelah dia
sampai dipasar. Tapi belum sampai pasar, segerombolan penjual ini didatangi
oleh para pembelim dan membeli barang-barang dagangan mereka dengan bukan harga
pasar. Tentu ini merugikan, karena bisa jadi ada unsur penipuan. Dan biasanya
para pembeli ini akan menjual lagi ke pasar dengan harga yang tentu lebih
mahal. (Nihayah Al-Muhtaj 3/466)
Ini praktek jual beli yang dikenal oleh syariah. Dan karena ada
unsur ghoror (penipuan) kepada penjual tadi itulah talaqqi rukban diharamkan.
Kalau melihat demikian, maka talaqqi rukban yang diharamkan itu sepertinya
sudah tidak ada. Karena didalam atau diluar pasar, harga komoditi pasar itu
sudah banyak diketahui, jadi tidak ada lagi yang saling mengelabui. Jadi dalam
beberapa kesempatan talaqqi rukban tidak selamanya jadi haram. (Subul Al-Salam
790)
Nah prktek jual beli black maket berbeda dengan talaqqi rukban.
Karena tidak ada pencegatan dijalan, pun tidak ada penipuan harga terhadap
penjual. Justru yang terjadi ialah penjual merasa diuntungkan karena barangnya
laku terjual, pun dengan si pembeli merasa bahagia dengan harga yang murah. Jadi
tidak ada Ghoror disini.
Kedua:
Kemudian kalau dikatakan dalam praktek jual beli ini ada unsur
Jahalah (ketidakjelasan) dan karena itu, jual beli ini menjadi haram. Justru
itu pernyataan yang jadi pertanyaan. Dimana ada unsur jahalah-nya?
Barang yang didagangkan dengan cara blackmarket ini adalah barang
yang semua orang kenal dan tahu bahkan paham cara pengoperasiannya. Baik dan
buruk kualitasnya pun sudah bisa diketahui.
Tingaal status legalitas barang tersebut didepan hukum negara ini
yang benar-benar ilegal. Akan tetapi status diakui atau tidak diakui oleh hukum
negara, apakah menjadi syarat jual beli yang sah pun masih diperdebatkan.
Apakah barang yang tidak legal itu termasuk barang haram yang dilarang untuk
diperdagangakan? Kalau masih dalam perdebatan ya tidak bisa dijadikan hujjah.
Kelompok Kedua:
Pertama:
seperti yang telah dijelaskan diatas, kelompok ini meng-klaim
bahwa prkatek perdagangan gelap yang kita bicarakan ini tidak terdapat
didalamnya salah satu unsur yang membuat perdagangan ini menjadi rusak secara
syar’i.
rukun-rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi. Iya benar.
Saling ridho antara kedua belah pihak. Benar benar keduanya saling
ridho.
Kemudian juga tidak adanya unsur-unsur yang membuat perdagangan
itu menjadi haram. Memang benar unsur itu tidak terdapat dalam akad kedua
pelaku blacmaket.
Akan tetapi pun Ibnu Rusyd dalam kitab yang sama
Bidayatul-Mujtahid menerangkan kelanjutannya, bahwa keempat unsur itu ialah
unsur yang tidak boleh terdapat dalam BENDA yang diperdagangkan. Akan tetapi
ada unsur diluar perdagangan itu yang bisa membuatnya menjadi rusak yaitu: Al-Ghisy
(penipuan) dan Al-Dhoror (bahaya). (Bidayatul-Mujtahid 2/126)
Dan ini juga yang banyak dipegang uleh mayortas Ulama, dalam
redaksi lain, mereka menyebutkan Al-Dzulm (kedzoliman).
Tidak ada Ghisy (penipuan) memang yang terjadi antara kedua belah
pihak. Pun tidak ada Dhoror (bahaya) yang terjadi antara keduanya. Juga
keduanya tidak saling mendzolimi, justru saling menguntungkan.
Tapi prkatek blackmarket itu menghasilkan Dhoror dan kedzoliman
untuk sekitarnya termasuk negara ini. Semua sudah bukan rahasia lagi bahwa
blackmarket ini perdagangan yang tidak melalui pajak. Dan itu langsung atau
tidak langsung sudah membuat negara ini terdzolimi. Terlalu dramitis kalau
penulis mengatakan prkatek itu memiskinkan negara, tapi yang pasti negara
sangat merugi dengan perdagangan gelap yang kalau makin dibiarkan, buakn tidak
mungkin ekonomi kita terus akan memburuk.
Selain kepada negara, kedzoliman juga terjadi kepada pedagang
lain. Pedagang lain yang selalu berusaha untuk lurus dalam praktek dagangannya
menjadi didzolimi dengan adanya penjual-penjual yang menawarkan barang gelap
dengan harga yang lebih murah. Barang sama tapi harga beda.
Tentu pembeli akan membeli barang yang jauh lebih murah. Akhirnya
dengan demikian pedagang dengan status legal dan juga menjual barang-barang
legal karena ketaatannya kepada negara menjadi ditinggalkan oleh pelanggan dan
akhirnya semakin merugi.
Jadi prkatek ini bukan hanya merugikan negara, akan tetapi juga
merugikan saudara kita sesama penjual. Memiskin-kan negara dan memiskin-kan
penduduknya.
Kedua:
Kemudian kelompok ini menanyakan tentang keabsahan jual beli kita
yng kita lakukan dengan tukang kaki lima atau juga warteg, atau juga toko-toko
pinggir jalan. Ya tentu sangat sah sekali.
Harus diketahui, pedagang seperti itu memang pedagang yang tidak
memgang izin dagang atau sebagainya. Tapi kan memang negara ini tidak menunut
mereka untuk itu. Negara telah menetapkan dan menetukan komoditi mana yang
harus melewati pajak dan yang tidak melewati pajak.
Gorengan dipinggir jalan itu harganya 500 sampai 1000 rupiah,
jangan disamakan dengan handphone yang harganya ratusan ribu bahkan jutaan.
Kaos-kaos dan makanan, serta minuman diwarung pinggir jalan itu hargnya ribuan
sampai puluhan ribu, jangan samakan dengan harga laptop yang bisa mencapai
jutaan bahkan puluhan juta. Pun tidak ada yang namanya gorengan “Import”. Tidak
ada sapu lidi “import”. Kita harus fair-lah dalam menganalogikan sesuatu.
Ok. Kalaupun diterima hujjah mereka itu tentang jual beli kaki
lima dan warung-warung. Apakah barang-barang yang di kaki lima itu semuanya
barang tak berpajak? Penjual kaki limanya memang tidak membayar pajak dan izin
jualan. Tapi darimana si penjual itu mendapatkan komoditi dagangannya?
Tentu dari pabrik, dari rumah-rumah produksi yang besar atau
sederhana. Dan tempat produksi itu lah yang telah membayar pajak kepada
pemerintah. Jadi membeli barang diwarung dan dikaki lima, kita sama saja
membeli barang legal yang berpajak.
Ketiga:
Lalu, dari kalangan ini juga ada yang menyamakan praktek
blackmarket dengan nikah siri. Buat saya ini lucu. Sama sekali tidak bisa
disamakan.
Pernikahan siri memang pernikahan tidak resmi, tapi apakah ada
peraturan negara yang memberlakukan hukuman kepada seseorang yang menikah
secara siri tanpa catatan KUA? Apakah ia yang melakukan pernikahan siri sama
saja melakukan kriminalitas yang harus dipidanakan? Tidak ada aturan yang
mengatakan seperti itu.
Akan tetapi black market, negara melarang itu, ada aturannya jelas
tertulis dalam undang-undang. Dan melakukannya termasuk pelanggaran yang
mengakibatkan pelakunya bisa dipenjara. Jadi sangat berbeda dengan pernikahan
siri. So please, jangan samakan jual beli dan pernikahan.
KONKLUSI
Dari pemaparan kedua kelompok tadi, terlihat jelas bahwa
masing-masing kelompok memiliki hujjah dan landasan yang kuat namun juga
keduanya masih bisa dibantah. Dan terdapat celah dari argumen-argumen yang
mereka berikan itu.
Dan sebelum memberikan konklusi, penulis akan memberikan
tinjauan-tinjauan yang sebaiknya mesti diperhatikan oleh para pembaca. Berikut
tinjauannya:
1 - peraturan
pemerintah dalam pembatasan dan pelarangan terhadap barang-barang tertentu
pastilah dengan tujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan negara. Di samping
barang-barang black market yang masuk menghindari dari ketentuan kena pajak
beacukai, dan itu merugikan negara, juga ada kemungkinan barang-barang yang
masuk termasuk kategori barang-barang terlarang dan membahayakan.
2 - harus diingat bahwa pemberlakuan pajak dalam syariat bukanlah
sesuatu yang baru apalagi sesuatu yang tidak ada contohnya dalam sejarah
perkembangan ekonomi Islam. Ini sudah dicontohkan oleh Amirul Mukminin Umar bin
Khoththob, ketika memberlakukan pajak bagi para pedagang-pedagang yang masuk ke
daratan Sawad (Iraq). Bahkan perarturan itu juga pernah diberlakukan oleh Nabi
saw.
(dari artikel Dr. Ali
Muhammad Al-Showa dalam situs Majalah Syariah dan Kajian Keislaman Univ. Kuwait;
kuniv.edu)
- Harus diingat pula bahwa dalam syariat ini ada istilah “Maqoshid
Al-Syariah” (tujuan-tujuan syariah) yaitu tujuan-tujuan dibalik disyariatkannya
sebuah syariah, yang kesemua itu jumlahnya ada 5, yaitu: menjaga Agama, Jiwa,
Harta, Akal, dan Keturunan. (Al-Ihkam Lil-Aamidy 3/300)
Dan praktek blacmarket ini
membuat harta penjual lain yang menjual dagangannya dengan sesuai aturan
menjadi terancam. Dan ini sangat tidak sesuai dengan tujuan syariah.
4 - Rasulullah
SAW melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar.
Hal ini sama dengan model transaksi talaqqi rukban yang dilarang oleh
Rasulullah SAW karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad,
diceritakan bahwa Nabi saw pernah diminta untuk memnetukan harga bagi
komoditi-komoditi pasar, tapi Nabi menolak permintaan itu, karena beliau saw
tahu itu suatu kedzoliman, dan khawatir nantinya dihari kiamat ada ummatnya
yang meminta pertanggung jawabbnya karena penentuan harga pasar.
Maksud hadits tersebut ialah
menghilangkan kedzoliman bagi masyarakat. Maka melakukan sebaliknya pun
dibolehkan untuk kemaslahatan bersama, seperti menentukan harga pasar oleh
seorang penguasa untuk menghindari para pemasok memasang harag tinggi. (Subul Al-Salam
794)
Initinya memang
segala kedzoliman yang membuat mekanisme pasar rusak dan tak beraturan
sangatlah dilarang oleh syariat ini. Begitu juga praktek black market, yang
kalau dibiarkan terus pastilah berdampak buruk bagi negara juga ekonomi rakyak.
Nabi yang seorang
pemimpin umat ketika itu mampu saja dan memang kebijakannya pasti di jalankan,
hanya saja karena tahu kalau beliau saw memberikan penentuan harga itu akan
membuat susah para pelaku pasar, dan itu merupakan suatu kedholiman. Karena itu
nabi saw menolak untuk memberikan penentuan harga.
5 - Salah
satu hikmah disyariatkannya praktek jual beli dalam syariah Islam ini ialah
saling tolong menolong (At-Ta’awun). Yang membutuhkan suatu kebutuhan bisa
mendapatkannya dengan mudah dari saudaranya. Dan saudaranya pun mengambil
keuntungan dari prkatek jual beli itu.
Karena ini praktek saling tolong
menolong, hendaklah tidak kita rusak dengan praktek-praktek kotor yang menodai
nilai saling tolong menolong itu.
Jadi,
sebaiknya praktek jual beli blackmarket ini dihindari sejauh-jauh mungkin
karena dampaknya yang buruk bagi ekonomi negara juga kemaslahatan rakyat.
Wallahu
A’lam bi Ash-Showab
Ahmad
Zarkasih.
ijin share ya, supaya terhindar dari yg ragu2
ReplyDeleteTerima kasih
Maksih mas atas infonya saya jadi lebih tau tentang hukum black market
ReplyDeleteMasha Allah pembahasan yang cerdas dan sangat solutif. Terima Kasih.
ReplyDeletesaya mau bertanya, saya tidak mengetahui banyak hal tentang hukum islam tentang barang BM ini, tetapi saya telah membaca beberapa artikel yang ada di internet, dibeberapa artikel disebutkan bahwa pajak itu haram hukumnya, dan tidak mengapa kalo tidak dipatuhi, nah sedangkan kan barang BM itu kan barang yang tidak bayar pajak, jadi bagaimana ini? bukannya tidak membayar pajak itu tidak mengapa dalam hukum islam? nah mengenai karena barang BM ini merugikan penjual yang lain, bukannya itu salah pemerintah yang menerapkan pajak sehingga penjual lain "terpaksa" membayar pajak agar tak kena hukuman? mohon diperjelas lagi, karena saya juga bukan orang yang menguasai hukum islam.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Deletemakasih ustadz, mohon izin copas ilmunya ya...
ReplyDeleteشكر كثير
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAfwan ustadz izin bertanya,lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur membeli barang blackmarket (HP)?apa harus menjualnya kembali ataukah boleh tetap dioperasikan oleh si pembeli karena ketidaktahuan mereka?
ReplyDelete