Posts

Showing posts with the label FIQIH ISLAM

Membaca Qur'an di Kuburan Menurut 4 Mazhab Fiqih

Kalau kita buka literasi-literasi fiqih dari lintas madzhab fiqih yang muktamad dan legal untuk diikuti, secara global kita akan dapati bahwa masalah membaca al-Qur’an di kuburan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh jumhur ulama (al-hanafiyah, al-Syafi’iyyah, al-Hanabilah), bahkan ada yang menganjurkan. Hanya saja kita akan dapat pendangan berbeda dalam literasi madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa membaca al-Qur’an di kuburan itu sesuatu yang dibenci atau dimakruhkan, mereka tidak menyebutkannya dengan istilah haram. Pendapat jumhur ulama ini, baik yang menganjurkan atau yang memakruhkan bukan asal jadi, akan tetapi memang berdasarkan dengan dalil. Tidak mungkin ulama berani menghukumi sesuatu dengan hawa nafsunya, karena memang perkara halal haram itu adalah sesuatu yang berat dan pasti ada pertanggung jawabannya nanti di hari kiamat. Jumhur ulama membolehkan itu bahkan ada yang menganjurkan, berdasarkan riwayat Anas bin Malik secara marfu’ –sebagai...

Redaksi Niat Puasa, Memang Ada?

"Amal manusia itu tergantung kepada niatnya, dan manusia akan mendapat apa yang ia niatkan" . Hadits ini disepakati kesahihannya bahwa benar-benar bersambung kepada Nabi s.a.w., dan dari hadits ini juga ulama menyimpulkan banyak hal. Ulama mengatakan dari hadits ini, Nabi s.a.w. memposisikan niat sebagai instrument penting dalam setiap amal orang muslim. Niat bukan hanya pelengkap lisan, atau juga dekorasi bibir, tapi punya posisinya yang sangat menentukan; Secara automatically orang berfikir bahwa untuk mendapatkan pahala, pekerjaan itu juga harus diniatkan sebagai ibadah, dan kalau mau dapat pahala zuhur, maka berniat untuk shalat zuhur; karena seseorang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Dalam bahasa " ushul-Fiqh"-nya, ulama menyebut dengan istilah dalalat-Tanbih atau dalalat-al-Iqtidha' . Secara sederhana maksud istilah itu bahwa otak akan berfikir kepada itu secara otomatis. Nah, dari hadits ini juga kemudian ulama menjelaskan ...

Haruskah Konsisten Pada Satu Madzhab?

Apakah harus berpegang pada satu mazhab? Ataukah boleh berpegang dengan banyak mazhab?   Sekarang ini, kita sering dibingungkan dengan adanya perbedaan beberapa mazhab yang memang sudah eksis sedari dulu. Bahkan ada beberapa kasus kekerasan yg disebabkan oleh perbedaan mazhab tersebut. Apakah perbedaan mazhab sangatlah penting dalam melakukan ibadah? Sedangkan Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari sahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Apakah dalam menjalankan syariat agama Islam kita harus menganut satu mazhab tertentu dengan konsisten? Bagaimana contoh pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari -hari? Jawaban Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh. Perlu diperhatikan bahwa yang namanya madzha...

Qabliyah Jumat, Emang Ada?

Perkara qabliyah jumat ini sejak lama sudah ada perselisihan pendapatnya, yakni antara jumhur ulama dengan madzhab imam Ahmad bin Hanbal. Jumhur merujuk kepada beberapa teks yang menginformasikan itu, bahwa Nabi s.a.w. dan sahabat melakukan qabliyah. Imam Ahmad memahami itu berbeda, apa yang dikerjakan bukan qabliyah jumat, akan tetapi itu adalah shalat sunnah zawal. Selain berbeda dalam memahami teks yang ada, jumhur dan madzhab al-hanabilah juga berbeda dalam memahami jumat itu sendiri. Bagi jumhur, jumat itu pengganti zuhur dengan bukti bahwa jika orang tertinggal jumat, entah itu sakit, tertidur atau karena memang ia orang yang bukan wajib jumatan, mereka wajib shalat zuhur. Terlebih lagi bahwa waktu jumat pun waktunya sama seperti zuhur, yakni ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat (zawal). Maka hukum yang ada pada zuhur, berlaku juga (walau tidak semua) untuk jumatan. Salah satunya ialah adanya qabliyah itu sendiri. Imam Ahmad melihat berbeda, jumat bukan zu...

Memberi dan Menjawab Salam Non-Muslim, Bolehkah?

Masalah memberikan salam kepada non-muslim, belakangan menjadi masalah yang banyak dipermasalah, mungkin maklum, karena memang belakangan ada sekelompok orang yang mengatas namakan Islam, akan tetapi begitu bencinya kepada non-muslim, padahal syariat tidak mengajarkan kebencian. Nah dalam masalah ini, ada 2 masalah yang tidak mungkin bisa dilepaskan; yakni memberi salam kepada non-muslim, atau memulai salam kepada mereka. dan masalah menjawab salam dari mereka jika mereka mengucapkan salam. 1.    Memulai memberikan salam. Al-Hanafiyah dan al-Malikiyah, tidak melarang mendahului memberi salam kepada non-muslim, hanya saja dimakruhkan. Dan redaksi salamnya: [ السلام على من اتبع الهدى ] "al-salamu 'ala man ittaba'a al-huda" (keselamatan bagi yg mengikuti petunjuk). Al-syafiiyah dan Al-Hanabilah mengharamkan mendahului salam kepada non-muslim. Haram hukumnya mendahului memberi salam. Yang dibolehkan hanya dengan salam-salam sapaan biasa,...

Awam Wajib Taqlid

Image
Kitab Bulughul-Maram yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajsr al-'Asqalni mendapat banyak respon dari ulama lain di masanya dan juga masa setelahnya. Banyak ulama yang kemudian mensyarah (menjelaskan) hadits-hadits Ahkam yang terkumpul dalam kitab Bulghul-Maram tersebut. Di antara kitab-kitab pensyarah yang masyhur dan banyak menjadi rujukan adalah kitab "Ibanatul-Ahkam", karangan al-Sayyid Alawi 'Abbas al-Malikiy. Beliau adalah ayah kandung dari ulama yang juga masyhur dengan banyak kitabnya, yakni al-Sayyid Muhammad 'Alawi al-Malikiy. Yang menarik adalah, di mukaddimah Ibanatul-Ahkam ini, al-Sayyid 'Alawi menerangkan tentang bagaimana buruknya fenomena awam yang berani-berani langsung menggali hukum dari al-Quran dan Hadits dengan menganggap bahwa memang semua orang termasuk awam harus paham dalil, baik al-Quran dan juga hadits. Yang pada akhirnya keberanian mereka itu melahirkan pemahaman keliru dan fatwa prematur, walhasil banyak pen...

Siapa Yang Dikatakan Lalai Shalat?

Orang dikatakan melalaikan shalat itu jika ia mengakhirkan shalat sampai masuk shalat selanjutnya, artinya memang ia tidak melaksanakan shalat di waktunya. Ini yang dipahami dari hadits Abu Qatadah r.a. dalam riwayat Imam Muslim. Kalau hanya mengakhirkan shalat, lalu shalat di tengah atau akhir waktu, atau juga menundanya lalu shalat di ujung waktu, itu tidak dikatakan sebagai orang yang melalaikan shalat. Ya dia melalaikan, tapi bukan melalaikan shalat, akan tetapi ia hanya melalaikan waktu utama shalat; awal waktu. Tidak elok jika orang yang menunda shalat dikatakan sebagai yang melalaikan shalat, toh dia tetap shalat, di waktunya yang sah pula. Kurang baik juga mengatakan begitu, karena dalam surat al-Ma'un, orang yang lalai shalat itulah yang dapat jatah neraka 'wail'. Karena itu penting juga mengetahui bahwa jenis kewajiban shalat itu adalah wajib muwassa' yang kewajiban luas dalam satu term waktu yang cukup panjang, yakni sampau wa...

Kurban Hukumnya Sunnah Kifayah

Selain madzhab al-Hanafiyah, kesemua ulama madzhab menyepakati hukum kurban itu sunnah yang sangat digalakkan, yakni sunnah muakkadah. Tapi, madzhab al-Syafiiyah punya rincian yang lebih unik tentang kesunahan tersebut. Dalam madzhab ini, hukum sunnah berkurban itu punya 2 varian; Sunnah 'Ain dan juga sunnah Kifayah. Sunnah Kifayah itu hukum kurban bagi sebuah keluarga, artinya jika ada salah satu dari keluarga, baik suami atau istri atau juga anak sudah berkurban, maka itu s udah cukup bagi keluarga, dan hilang kemakruhan jika tidak berkurban. Sebaliknya, kemakruhan tertimpa kepada seluruh anggota keluarga tersebut, jika tidak ada satu dari mereka yang berkurban, padahal mereka mampu. Ini sunnah Kifayah. Ini yang difahami oleh ulama madzhab Imam Al-Syafii terkait kurbannya Nabi s.a.w. yang mana beliau berkurban 2 domba; Satu untuknya dan keluarganya, dan yang satu lain untuknya dan ummatnya. Nabi s.a.w. di domba pertama sebagai kepala keluarga, yang ...

Memanggil Pasangan Abi/Umi, Siapa Bilang Haram?

Saya sadar dan mengerti beberapa orang memang mengharamkan dan melarang suami memanggil istrinya dengan sebutan umi, begitu juga sebalinya, istri terlarang memanggil suami dengan Abi; Karena khawatir itu termasuk dalam zihar yang dalam fiqih itu membuat si istri haram untuk digauli oleh si suami selamanya sampai ia membayar kafarat akan ziharnya tersebut, yaitu puasa 2 bulan berturut-turut. (zihar itu menyamakan istri dengan orang tua yang mahram) jadi memanggil ummi dikataka n sama saja menyamakan istri dengan ibu, karenanya diharamkan. Akan tetapi mengatakan itu sebuah keharaman juga termasuk sesuatu yang terlalu buru-buru dan gegabah, kurang teliti. Karena bagaimanapun zihar itu mempunya rukun, dan masing-masing rukun itu punya syarat tertentu yang harus terpenuhi. Bagi saya, memanggil istri dengan ummi atau yang istri memanggil suami dengan Abi bukan zihar yang diharamkan. bukan. Karena salah satu rukun zihar ada yang tidak terpenuhi. Rukun zih...

Perbedaan Rukun dan Sunnah Shalat

Ketika menjelaskan tentang sunnah-sunnah shalat, ada yang bertanya "kenapa ulama-ulama madzhab itu membedakan antara rukun shalat yang mana tida boleh ditinggalkan, dengan sunnah shalat yang mana boleh ditinggalkan. Padahal semuanya datang dari Nabi s.a.w.? semuanya dari Nabi s.a.w. kenapa harus dibedakan, boleh dan tidak boleh ditinggalkan dalam shalat?" Saya kemudian menjawab bahwa yang namanya rukun shalat itu disebut juga oleh ulama dengan istilah fardhu-fardhu shalat. Secara bahasa fardhu itu berarti sesuatu yang paten, terukur, pasti, tetap. Maka itu, ilmu waris disebut juga dengan ilmu "Faraidh", kalimat itu adalah bentuk plural dari kalimat "Faridhah", yang berarti ukuran yang pasti. Karena memang "faraidh" adalah kumpulan ukuran paten yang pasti bagi para ahli waris. Dari sini bisa disimpulkan bahwa sesuatu yang tidak paten dan tidak punya ukuran yang pasti, tidak bisa dikatakan sebaga "Fardh", ...

Panitia Zakat, Apakah Termasuk Amil?

Memang agak sulit mengatakan bahwa panitia zakat di masjid-masjid atau lembaga itu sebagai Amil zakat yang memang mendapatkan jatah zakat. Karena kalau merujuk ke pendapat ulama-ulama konvensional dari masinh-masing madzhab fiqih, kesemuanya mensyaratkan bahwa seorang Amil haruslah diangkat oleh seorang pemimpin atau penguasa yang sah. Begitu disebutkan dalam kitab-kutan mulia tersebut. Dan kebanyakan bahkan hampir semuanya panitia tersebut mengangkat diri mereka sendiri. Apalagi jika melihat kepada kebiasaan yang dikerjakan para panitia atau lenbaga zakat ini yang terkesan menunggu. Padahal Amil, yang ketika zaman Nabi disebut dengan Jibayatuz-Zakat, mereka bukan menunggu, akan tetapi mereka mendatangi si kaya dan memghitung kewajiban zakat si kaya, lalu menganbilnya dan menyalurkan. Bukan hanya diam menunggu di kantor atau masjid, menunggu didatangi orang yang bayar zakat tanpa tahu apa dan berapa kewajiban si muslim twrsebut. Hanya menerima saja. Artiny...