Transfusi / Donor Darah, Boleh Ngga?
Ketika  membahas hukum berdonor, ulama selalu mengaitkan pembahasannya dengan hukum  berobat dengan darah orang lain yang ditransfusi itu. Jadi hukum mendonor itu  sejatinya kembali kepada hukum berobat dengan darah yang ditransfusi itu  sendiri. 
Karena  bagaimanapun, donor tidak akan dilakukan kecuali karena adanya permintaan, dan darah  yang didonor itu pasti digunakan untuk mereka yang membutuhkan. Mereka yang  membutuhkan donor darah itu pastilah karena sebab ganguan kesehatan, artinya  mereka itu orang yang sakit. Jadi apakah boleh berobat dengan darah yang  didonor atau hasil transfusi orang lain?
Kalau  berobat dengan darah hasil transfusi orang lain itu haram, maka tidak ada  alasan untuk menghalalkan donor darah. Akan tetapi sebaliknya, jika berobat  dengan darah yang ditransfusi itu boleh, maka boleh pula hukumnya berdonor  darah. 
Berobat  Dengan Tranfusi Darah Orang Lain
Kalau  kita buka kitab-kitab fiqih klasik, kita tidak akan mendapati pembahasan  transfusi darah ini, karena memang ini praktek yang tidak terjadi di zaman  dahulu. Ini adalah praktek yang baru dikenal belakangan sekitar abad ke 19  Masehi seiring perkembangan teknologi kedokteran.
Sama  seperti pendahulunya, ulama komtemporer yang membahas masalah ini juga berbeda  pendapat satu sama lainnya sebagaimana yang sering terlihat pada ulama-ulama  sebelumnya yang memang berselisih pandangan; ada 2 pandangan, [1] Yang melarang  dan [2] yang membolehkan.
[1]  Yang Mengharamkan
Ulama  yang mnegharamkan berobat dengan transfusi darah berdalil dengan ayat yang  memang secara tegas mengharamkan darah itu sendiri untuk dimanfaatkan, karena  memang itu barang najis. Allah swt berfirman: 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ.........
"Telah  diharamkan bagi kalian bangkai, darah, dan daging babi,......" (Al-Maidah 3)
Ayat-ayat  seperti ini yang mengisyaratkan haramnya bangkai, darah dan daging babi banyak  ada di dalam Al-Quran. Ayatnya jelas mengharamkan apa yang disebut didalam.  Karena diharamkan maka haram pula memanfaatkannya, termasuk untuk konsumsi atau  berobat. 
Kelompok  ini juga berargumen dengan dalil bahwa syariat ini melarang seseorang berobat  dengan sesuatu yang memang telah diharamkan oleh Allah swt. Sebagaimana hadits  yang diriwayatkan oleh Abu Daud: 
إِنَّ  اللَّهَ جَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
"sesungguhnya  Allah telah menurunkan ibat bagi selurut penyakit, maka janganlah berobat  dengan yang haram"
Ini  menunjukkan bahwa seorang muslim dilarang memanfaatkan sesuatu yang haram untuk  berobat, termasuk sesuatu yang najis. Karena memang darah itu najis dan sesuatu  yang najis itu adalah barang terlarang untuk dimanfaatkan. 
[2]  Yang Membolehkan
Kelompok  yang membolehkan berobat dengan transfusi darah orang lain juga sama berdalil  dengan ayat yang sama yang dipakai sebagai argument bagi kelompok yang  melarang. Yaitu ayat 3 surat Al-Maidah: 
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ  اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Maka  barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya  Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
Awalnya  yang disebutkan di awal ayat itu memang terlarang, tapi dalam kondisi yang  memang terpaksa, apa yang diharamkan itu menjadi boleh. Tak terkecuali darah  yang memang awalnya haram karena itu najis. Ia menjadi halal untuk dimanfaatkan  karena memang orang sakit membutuhkan itu. 
Dan  kebutuhan darah bagi orang yang menderita penyakit tertentu bukanlah sesuatu  yang diada-adakan, akan tetapi memang itu atas rekomendasi dokter ahli yang  bukan sembarang. 
Dan  ayat semacam ini banyak sekali ada di dalam Al-Quran. Karena ayat ini pula  muncul kemudian kaidah Fiqih yang telah disepakati oleh para ahli fiqih sejagad  raya, yaitu:
الضرورة  تبيح المحظورات
"Sesuatu yang darurat (urgent) membuat yang  haram menjadi boleh". 
Artinya  orang yang membutuhkan darah untuk kesehatan, bahkan ada yang membutuhkannya  untuk menyambung hidup, itu sudah pasti dalam keadaan darurat yang sangat  membutuhkan, yang kalau dibiarkan akan menyebabkan kematian. 
Kemudian  ulama yang membolehkan berobat dengan darah yang ditransfusi orang lai juga  berargumen dengan hadits yang diriwayat oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam  kitab shahih mereka, bahwa Nabi saw berobat dengan Hijamah (bekam). 
Mereka  mengambil kesimpulan (Wajh Istidlal) dengan dalil ini, kalau saja Nabi  saw membolehkan berobat dengan bekam yang mana itu mengeluarkan darah dari  tubuh, maka ini sama kebolehannya berobat dengan memasukkan darah ke tubuh,  karena sama-sama praktek berobat. 
Dan  bukan suatu yang diragukan lagi bahwa memasukkan darah ke dalam tubuh seorang  yang sedang menderita atau sakit itu jauh lebih manfaat dan lebih bisa  mneyelamatkan hidup serta kesehatannya, dan tentu lebih selamat dibanding  mudharat atau sakit yang akan dirasa oleh pendonor yang mengeluarkan darahnya.
Dan  untuk menguatkan pendapatnya, ulama dalam kelompok ini juga mengambil makna  dari perkataan Imam Al-Qurthubi: 
من  اضطر إلى أكل الميتة والدم ولحم الخنزير فلم يأكل حتى مات دخل النار، إلا أن يعفو  اللّه عنه
"siapa yang dalam keadaan terdesak  dan terpaksa untuk memakan bangkai, darah atau juga daging babi, akan tetapi ia  tidak memakannya sehingga meninggal, orang yang demikian itu masuk neraka,  kecuali Allah mengampuninya" (Tafsir  Al-Qurthubi 2/232) 
Jadi, Ikut Yang Mana?
Setelah  memaparkan argument masing-masing kelompok, penulis lebih condong dengan  pendapat ulama yang membolehkan. Selain karena dalil-dalil yang digunakan, pendapat  ini juga sesuai dengan maqashid syariah, yaitu salah satunya ialah Hifdzu  Al-Nafsi (menjaga jiwa). 
Dalam  hal menjaga keselamatan jiwa, syariah ini membolehkan seorang muslim untuk  memanfaatkan sesuatu walaupun itu haram, tentu dengan syarat bahwa tidak ada  lagi media yang halal yang bisa menggantikannya. 
Ini  juga diperkuat dengan penelitian para ahli medis bahwa sampai sekarang tidak  ada yang bisa menggantikan posisi darah sebagai obat yang bisa menyelamatkan  bagi mereka yang membutuhkan. Justru akan jadi sangat mengkhawatirkan jika  tidak dibantu dengan sumbangan darah. 
Selain  itu juga, bahwa para ahli fiqih sepakat dengan kebolehan memanfaatkan barang  najis atau yang haram untuk kepentingan medis/berobat ketika memang tidak ada  sesuatu yang halal yang bisa menggantikannya. 
Karena  memang ini pekerjaan yang menyelematkan jiwa, dan ini mulia, maka praktek donor  darah juga menjadi praktek yang mulia, dan tentu terpuji. Sebagaimana dikatakan  oleh banyak ulama dalam fatwa-fatwa mereka tentang mulianya prkatek donor darah  ini. 
Praktek  ini juga sebagai implementasi atas perintah Allah swt untuk mnejaga jiwa, serta  melarang setiap perbuatan yang membahayakan jiwa manusia. Karena membiarkan  orang yang butuh akan darah dengan tidak mendonorkan darah kepadanya ialah  salah satu perbuatan yang dilarang.  Allah swt berfirman: 
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
"dan  janganlah kalian membunuh jiwa-jiwa kalian, sesungguhnya Allah maha penyanyang  kepada kalian" (Al-Nisa29)
Selain  itu Allah swt juga memuji mereka yang mau berbuat sesuatu demi kebaikan dan keselamatan  orang lain, apalagi jika itu terkait dengan nyawa seseorang. Dan hal yang  semacam ini bukan sesuatu yang tabu lagi, bahwa tidak ada agama di bumi ini  yang tidak menganjurkan umatnya untuk menolong sesama manusia. 
Tidak  Membahayakan si Pendonor
Dari  penjelasan di atas tadi, bisa diambil kesimpulan bahwa memang tidak ada  larangan untuk melakukan donor darah, terlebih lagi bahwa memang permintaan  darah di rumah sakit sekarang ini meningkat, karena memang banyaknya yang  membtuhkan. 
Namun  satu yang harus diperhatikan bahwa seorang muslim memang dianjurkan menolong  sesame manusia, tapi tidak  jika itu  malah membahayakan dirinya sendiri. 
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
"dan  janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke kerusakan" 
Karena  itu, ulama mensyaratkan kebolehan berdonor itu selama tidak membahayakan jiwa  si pendonor itu sendiri. Karena bagaimanapun Islam tidak hanya memperhatikan  satu sisi. Kesembuhan si orang sakit memang yang menjadi tujuan, tapi bukan  malah membuat penyakit baru. Jadi menyelesaikan masalah dengan tidak melhirkan  masalah. 
Karena itu donor terlarang bagi  mereka yang memang tidak dalam kondisi layak untuk mendonorkan darahnya. 
Donor  Menghramkan Nasab atau Tidak? 
Pertanyaan  yang timbul kemudian ialah apakah jika seorang mendonorkan darahnya itu  menjadikan ia dan yang menerima donor itu sebagai mahramnya? Sebagaiman orang  yang menyusui? 
Jawabannya  tidak! karena darah bukanlah susu. Walaupun dikatakan bahwa susu itu juga  berasal dari darah, akan tetapi di sini telah terjadi proses Istihalah (perubahan  wujud) yang merubah wujud serta zat darah itu sendiri. Karena wujud dan zatnya  berubah, bahkan namanya pun berubah, maka hukumnya pun berbeda. Hukum susu  bukanlah hukum darah.  
Kemudian  yang mengutakn lagi bahwa darah tidak mengharamkan nasab seperti susu ialah  bahwa: [1] Darah itu najis, dan susu itu barang suci, [2] Darah bukan barang konsumsi,  tapi susu dikonsumsi. 
Lagi,  pengharaman nasab itu adalah perkara syar'i, dan perkara syar'i ini tidak bisa  berdiri kecuali dengan dasar dalil syariah. Susu punya dsar itu sedangkan darah  tidak. kalau darah dianalogikan dengan susu pun itu tidak bisa, karena keduanya  berbeda sebagaimana dijelaskan sebelumnya. 
Dan  Majma' Al-Fiqh Al-Islami (Komite Fiqih Islam) telah mengeluarkan  keputusan (Qarar) pada muktamar ke 11 yang diselenggarakan pada bulan  rajab tahun 1409 H / Februari 1989, yang menyatakan bahwa darah itu tidak  mengharamkan nasab sebagaimana susu.
Wallahu  a'lam  

.jpg) 
 
 
terimakasih artikelnya sobat Ahmad, sangat bermanfaat.
ReplyDelete